ADA SAMA DENGAN TIADA
Wahai diri…
Di tengah temaram engkau melangkah, tertatih, sempoyongan, oleng ke kiri dan ke kanan. Jalan panjang terasa kian gelap, sementara asa yang engkau kejar makin samar, redup, seakan kehilangan wujudnya. Padahal engkau sudah mengerahkan ikhtiar yang terbaik, sekuat tenaga, meski momentum demi momentum yang dulu dirajut dengan susah payah kini retak satu per satu. Ijazah doktoral yang seperti tak terpakai, akun riset yang terus terblokir, jadwal mengajar yang tidak manusiawi. Semua seakan bersekongkol menjatuhkanmu dalam jurang putus asa. Maka engkau pun bertanya pada dirimu sendiri: haruskah aku terus merajut asa dari sisa-sisa harapan yang rapuh ini?
Wahai diri…
Pernah ada percikan semangat yang lahir dari percakapan dengan guru besar, sekadar obrolan akademik di ruang sidang skripsi mahasiswa, yang membuat jiwamu kembali hidup, meski sekejap. Namun percikan itu padam lagi, saat engkau kembali berhadapan dengan jalan buntu: jadwal kuliah yang menumpuk sembilan sks dalam satu hari, penempatan di ruang kelas yang tak kondusif, keputusan-keputusan yang tidak pernah mempertimbangkan nuranimu. Engkau pun tersungkur, bukan karena lemah, melainkan karena terlalu sering ditabrak oleh sistem yang kaku, dingin, dan tak peduli.
Wahai diri…
Engkau sadar, di mata sebagian kolega, eksistensimu tak lebih dari “wujuduhu ka‘adamihi” ada sama dengan tiada. Adamu hanya sekadar fatamorgana: tampak dari kejauhan, hilang saat didekati. Engkau tahu dirimu penuh arti, penuh dedikasi, dan kehadiranmu berarti bagi mereka yang engkau bimbing dengan tulus; tetapi di hadapan orang-orang yang hatinya tertutup, keberadaanmu hanyalah bayang yang tidak pernah dianggap. Bahkan lebih pahit lagi, ketidakhadiranmu justru dirayakan oleh para pendengki. Mereka berbahagia ketika engkau tiada, mereka bersorak dalam diam ketika engkau tergelincir.
Wahai diri…
Bukankah engkau sudah terlalu lama mengalah? Dari tahun ke tahun, engkau dijadikan korban demi ambisi orang lain. Mulai dari jadwal mengajar yang dilempar ke hari Sabtu hanya karena engkau dosen baru; namamu yang dihapus dari daftar hanya karena alasan fungsional; tak pernah diikutsertakan dalam kegiatan, tulisan, dan penelitian hanya karena alasan "sudah cukup"; hingga jadwal mengajar hari Jumat yang dipaksakan tanpa ruang dialog. Pertanyaannya: haruskah engkau terus mengalah, membiarkan penindasan berulang, seolah-olah dirimu memang pantas menjadi tumbal kepentingan orang lain?
Wahai diri…
Jangan biarkan kelembutanmu menjadi jalan bagi orang lain menindasmu. Jangan biarkan kerendahan hatimu disalahartikan sebagai kelemahan. Mulai detik ini, belajarlah asertif. Beranilah berkata tidak pada setiap pemaksaan yang dibungkus dengan kedok kebaikan. Beranilah menolak ketika sesuatu bertentangan dengan nurani dan prinsip hidupmu. Bahkan jika perlu, beranilah mati dalam membela kebenaran. Sebab ridha Allah tidak akan pernah hadir dalam kebohongan yang dipoles manis, dan rahmat-Nya tidak akan pernah lahir dari kezhaliman yang dibiarkan.
Wahai diri…
Namun ingatlah, meski dunia menganggapmu tiada, sesungguhnya engkau tetap ada. Ada di hati mereka yang engkau tolong dengan tulus, ada di jiwa mereka yang engkau sentuh dengan kata sederhana, ada dalam doa orang-orang yang engkau bantu di tengah kesulitan, ada dalam rindu sahabat yang menanti canda tawamu untuk menghapus lelah. Engkau tetap ada bagi mereka yang menyebut namamu dalam doa di sepertiga malam.
Dan renungkanlah ini, wahai diri: ada sama dengan tiada bila engkau berpaling dari Pencipta. Ada sama dengan tiada bila imanmu luruh, bila aqidahmu goyah, bila doa dan zikir tak lagi menjadi penopang langkahmu. Manusia sering tertipu oleh “ada” dunia: oleh cinta yang fana, harta yang sirna, tahta yang cepat berganti. Namun bagi Allah, satu-satunya “ada” yang sejati adalah amal yang ikhlas, amal yang menjadi cahaya abadi di hari perhitungan.
Wahai diri…
Jangan lupa, engkau datang dari ketiadaan. Engkau lahir sebagai musafir yang singgah sebentar di dunia, memungut serpihan pahala untuk bekal perjalanan panjang. Dan engkau akan kembali menuju tiada, bukan sebagai kehilangan, melainkan sebagai pertemuan dengan asal mula kehidupan. Maka jangan terpesona oleh “ada” yang menipu, jangan bersedih bila manusia menganggapmu “tiada.” Sebab hakikat ada dan tiada hanyalah dua sisi dari satu kenyataan: tunduk pada Sang Pengatur Kehidupan.
Dan pada akhirnya, camkanlah: hanya Allah Al-Ḥayyul Qayyūm, Yang Maha Ada. Dia ada tanpa permulaan, Dia ada tanpa penghabisan. Dia ada yang tak pernah menjadi tiada. Dan ketika engkau melebur dalam-Nya, maka meski dunia menganggapmu tiada, sesungguhnya engkau sedang bersemayam dalam Ada yang abadi.
Ruang Hampa, Rabu 27 Agustus 2025
