Ungkapan di atas membuatku merenung tentang urgensi kegiatan literasi. Orang pandai saja jika tidak menulis, akan dilupakan sejarah, apalagi diriku yang jauh dari kata pandai. Aku bukan siapa-siapa, maka aku menulis. Imam Al-Ghazali pernah mengungkapkan “Jika kamu bukan anak raja, bukan pula anak ulama besar, maka menulislah.
Aku sadar, aku bukan anak raja berkedudukan tinggi, bukan pula anak ulama besar yang mumpuni. Tidak ada opsi untuk mengabadi dan mengabdi selain menulis tanpa henti. No Choice Bro...”Kamu kuatkan azam tuk menulis, kamu ikhtiarkan menulis setiap hari, istiqomah di jalan penulisan ini, sampai Pencipta menyuruhmu pulang!” Bisik batinku tiba-tiba.
Berbekal selembar semangat. Kulangkahkan kaki lambat-lambat. Mencari berbagai maklumat. Mengumpulkan sedikit demi sedikit makrifat. Kuanalisis dengan pikiran sehat, berbagai peristiwa, fakta, fenomena yang terlihat atau yang kuingat. Tentang keperihan hati, galau, stress, frustrasi yang amat sangat. Pengalaman berkesan, dramatis, fantastis, traumatis hebat. Mencoba menuliskan beberapa kiat atau nasehat. Asalkan bermanfaat, bermartabat, asalkan tidak berbau maksiat, kucoba tulis lambat-lambat. Maklum penulis pemula, pendatang baru, amatiran, penggembira, banyak salah, pemalu, tidak percaya diri, seakan menyatu, dan menjelma sebagai mental block atau penghambat. Tidak apa-apa, yang penting ada tekad, insyaa Allah tujuan kian mendekat. Lembaran semangat yang hampir lusuh itu terus kubawa melangkah. Kadang ia meronta untuk keluar dari kekangan berdiam diriku, tanpa menulis apa-apa.
Bisikan itu terus menghunjam di pikiran terdalam. Meskipun bisikan itu pelan, namun cukup lumayan menampar keasadaranku, sekadar menuliskan warna rasa, bentuk pikiran, sekelabat pengalaman, atau apa saja yang bermakna untuk ditulis. Akhirnya aku bangkit dan melangkah pelan-pelan. Menuntun secuil semangat itu berjalan di antara puing-puing rasa malas. Ya Rabb, betapa rapuhnya semangat yang kumiliki.
Aku punya wasilah untuk menulis, dari media sosial, seperti face book, instagram, twitter, sampai blog yang jarang kuisi. Apa salahnya aku isi, minimal refleksi atas kejadian dan peristiwa yang kualami. Jika hanya kuisi dengan status unfaedah, seperti narsis, foto selfi sana-sana, rasanya amat sangat rugi. Celakanya, jika semua foto yang sempat kuunggah ke medsos, berpotensi menjadi dosa investasi. Nauzubillah, tsumma nauzubillah.
Aku sempat bertemu dan berteman dengan orang hebat. Satu hal yang aku salut dari mereka, kemampuan untuk memanfaatkan waktu menulis setiap hari. Berkolaborasi dengan para penulis lain, baik kemampuan tinggi, sedang dan biasa. Mereka tidak bersikap seperti menganak kandung dan menganak tirikan orang lain dalam bekerjasama. Tujuan kolaborasi menulis hanya satu, yaitu kaderisasi bagi yang belum mumpuni. Jika aku diberi amanah oleh Rabb Yang Maha pengasih, akan kuco uslub ini.
Semenjak hijrah aku mengenal Fonder literasi aktif menulis di mana-mana. Beliau membina beberapa komunitas penulis pemula dan penulis banyak karya. Dari kelas anak-anak sampai kelas dewasa. Beliau seorang redaktur surat kabar nasional ternama. Rendah hati, dan rela berbagi kisah bermakna. Persahabatan itu membuat letupan semangatku menyala, membakar tungku jiwa yang hampir kehilangan makna ukhuwah. Di tengah arus peradaban pragmatisme, individualisme, materialisme, bahkan sekularisme, ternyata masih ada insan-insan penuh cinta. Ya Rabb, nikmat-Mu yang mana lagi yang kudustai.” Ratap hatiku lirih.
Setiap sapaan ramah para mastah di komunitas liteasi ideologi itu, sungguh amat sangat istimewa. Menjadi air penyejuk jiwa yang dahaga. Boleh jadi menurut orang lain tergolong sapaan biasa, namun bagi diriku, serasa air segar menyirami kerontang ukhuwah, hati yang tercabik-cabik oleh perilaku arogan, angkuh, dan jauh dari sikap mulia umat Nabi Muhammad Shallallahu “Alaihi Wasallam. Semoga silah ukhuwah yang terjalin erat di komunitas literasi itu menjadi wasilah bagiku untuk menjemput safa’at sahabat taat, penyelamat hingga akhirat, aamiin.
Banyak hal yang aku dapatkan bergabung di grup literasi sahabat taat itu. Dari motivasi setiap hari, kiriman puisi penggugah hati, ungkapan kata mutiara perekat ukhuwah, cerpen kisah persaudaraan yang amat sangat bermakna. Setiap hari ada aja ciletuk menggoda dari founder dan anggota, memotivasi semua anggota, minimal menyapa ramah, agar suasana kondusif ukhuwah tetap terjaga.
Aku jadikan komunitas itu bagai ajang pemanasan kemampuan menulisku. Laksana seorang atlit, meskipun tidak ikut lomba, perlu ikut berbagai turnamen sebagai ajang pemanasan. Seluruh rangkaian kegiatan ajang pemanasan dianggap penting, meskipun tidak masuk hitungan poin sebelum bertanding, di gelanggang sesungguhnya. Hal ini perlu untuk menjaga kebugaran fisik, mempertahankan stamina, dan performan keahlian dan skill.
Seorang penulis, butuh ajang pemanasan sebelum terjun menjadi penulis yang sesungguhnya. Berlatih melemaskan jemari dengan menulis status di beranda FB. Membuat quote singkat dalam gambar feed, atau stories di instagram. Mengemukakan pendapat tentang postingan sahabat di WA. Bagi yang terbiasa menulis catatan harian (diary), bisa mengisinya secara konsisten dan berkesinambungan dengan cerita dan kisah bervariasi.
“Tulis saja semua rasa yang membuat hari-harimu berbunga!, atau sepenggal rasa sedih ketika harapanmu tidak selaras dengan kenyataan. Seperti kemarin, engkau kecewa dengan dirimu sendiri. Betapa banyak targetmu gagal, karena kurang fokus, dan tidak bisa memprioritaskan sesuatu yang lebih prior. Kamu terlalu banyak alasan untuk menunda. Argumentasimu segudang, kamu lebih memilih berdiam diri, tidak menulis, lebih menikmati status sahabatmu di beranda FB. Lalu engkau berdecak kagum, betapa hebatnya tulisan mereka. Masih kuingat alasan klasikmu, bingung menulis apa?, mulai dari mana?, tetapi tulisanmu di beranda FB sampai lima belas paragraf. Kamu terlalu Esmeralda.” Tausiyah dua menit semangatku.
"Aku tdak mengajakmu membandingkan diri dengan sahabatmu. Aku hanya menyarankan, agar hidupmu berguna dan bermanfaat bagi sesama. Betapa banyak orang hebat, berilmu, kompeten di bidangnya. Ketika memilih tidak menulis, mereka tidak bisa menghentikan tulisan sesat dan menyesatkan di luar sana. Menulis itu dakwah tulisan juga, Bro...! Ketika engkau tidak bisa menyampaikan kebenaran secara lisan. Ketika berceramah di hadapan orang banyak ‘public speaking unciety’ kamu kambuh. Maka dakwah aksara jadi alternatif berguna.” Ceracau semangatku.
“Terima kasih untuk nasehatmu hari ini, samangatku. Jasamu padaku takkan terbalas dengan berbagai bentuk kebaikanku. Aku berjanji padamu, insyaa Allah akan menuliskan apa yang terlintas dipikiranku, terasa di hatiku, terlihat di mataku, peristiwa yang kualami atau yang terjadi, pendapat dan opiniku tentang sesuatu. Hingga kamu tidak nyinyir lagi menasihatiku.” Mohon terus nasehatiku!. Terlebih ketika flukstuasi mood menulisku tengganggu. Rasa malas menulis betengger di dahan anganku. I miss you semangatku!. Jangan bosan tausiyahi aku ya...Please.
Gabung Komunitas Menulis
Pada suatu pagi kami semua dinasehati pembina. Ayo siapa yang belum nulis, siapa yang belum setor PR, sebenarnya tidak masalah, namaun rugi aja. Rumus menulis hanya satu “Menulis ya Menulis Saja.” Formula efektif ini menjadi insigh baru bagiku. Mungkin ini magnet aksara para penulis mastah. Suatu formula menulis laksana percikan api pada busi kemampuan menulis, selanjutnya menggerakkan kemauan untuk melemaskan jemari dalam curah gagasan. Menulis saja, hindari banyak berpikir tentang kesulitan menulis, sebab banyak berpikir tentang kendala dan hambatan menulis menyeret kaki banyak calon penulis potensial, hingga terjatuh dalam jurang kemalasan, kesiaan-sian umur, dan kemiskinan dalam berkarya. Inilah bentuk mental blok menulis paling mengerikan.
Aku terus merefleksi diri. Masalah dominan diriku dalam menulis, ya ini. Sebelum menulis berpikirnya aneh-aneh. Kawatirnya banyak. Kadang aku jadi deep colector argumentasi basi agar tidak menulis. Terlalu banyak alasan untuk merangkai aksara. Dari mood yang kurang bersahabat, sampai waktu menulis yang sulit didapat. Prokrastinasi berbagai kegiatan menjadikan hidupku stagnan. Terlalu banyak menunda. “Menulis nanti saja, setelah semua pekerjaan rumah selesai. Selesai semua pekerjaan rumah, lihat ke belakang, adalagi tumpukan cucian. Belum lagi piring kotor setinggi setengah meter yang harus dibersihkan. Selama pandemi, membimbing anak dalam classroom meeting, membantu menyelesaikan seabrek tugas dan pekerjaan rumah anak. Praktek resep makanan yang disearching di google. Cookpad, dan masakan Nusantara. Banyak gagalnya, dari pada berhasilnya.
“Saratnya aktivitas rumah tidak perlu kamu jadikan alasan tidak menulis. Kamu kira semua penulis terkenal itu tidak sibuk? Malah mereka jauh lebih sibuk dari kamu. Sebenanrnya kamu saja yang belum bisa mengelola waktu. Semua orang di dunia ini, dari jaman nabi Adam ‘Alaihi Salam, sampai generasi X, Y, Z, Millenial, bahkan generasi Betha. Dianugerahkan Allah waktu 24 jam sehari semalam. Lalu mengapa mereka bisa menghasilkan karya monumental. Buku Best seller, memenangkan berbagai tantangan menulis, dan amal prestatif lainnya. Di Era Revlusi Industri 4.0 atau Era Society 5.0 ini, kamu sangat dimanjakan teknologi dalam berkarya. Google itu sama dengan palugada (apa yang kamu perlu semua ada). Meskipun tidak semuanya dia tahu, namun secara garis besar dapat membantumu menemukan berbagai data based. Sebenarnya kamu aja yang malas” Nasehat qalbu terdalamku secara panjang lebar.
“Kamu malah sudah menulis satu, dua paragraf di beranda facebook. Berbagai perangkat dapat kamu gunakan Bro. Dulu kamu punya buku diary, kamu isi setiap sedih dan bahagia. Sekarang banyak sekali platform media. Mulai dari facebook, instagram, line, twitter, email, telegram, google keep, email, line, dan sebagainya. Semua itu media potensial dan bermanfaat untuk mengasah dan mencurahkan isi hati dan kepalamu. Dari pada kamu gunakan sekadar tempat curhat, paling banter kamu gunakan untuk jualan online. Asalkan ada semangat. analisis mendalam dan akurat. Dapat menjadi wadah latihan agar menjadi penulis hebat. Ga’ percaya, coba aja, menulis aja, jangan kebanyakan mikir, Sob.”Ceramah hatiku padaku panjang kali lebar.
Dasar aku saja yang malas, meskipun aku dinasehati hatiku berkali-kali, disarankan para pakar dalam berbagai pelatihan dan seminar, atau webinar. Tetap saja enggan menulis.
Pagi itu, mentari memancarkan cahaya, menembus dedaunan. Kemarau telah lama ungsikan gerimis, hingga tanah kering kerontang dalam kesepian. Kubuka jendela, semerbak wangi bunga melati memaksa masuk melalui jendela. Ada sebongkah semangat memaksaku untuk cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan. Hingga sesegera mungkin duduk manis di depan layar laptop atau smartphoneku, menerima materi webinar Literasi, Sabtu, 11 Juli 2020 atau 19 Dzulqaidah 1441.
Webinar literasi kali ini luar biasa. Prolog acaranya saja sangat istimewa. Berbeda dengan beberapa webinar yang pernah kuikuti sebelumnya. Acaranya benar-benar dipersiapkan secara matang. Bahkan beberapa menit menjelang acara dimulai, sudah dicek semua perangkat, agar terhindar dari gangguan teknis. Begitupun aku, meskipun sebagai peserta, aku mencoba mengumpulkan semangat, energi, perhatian dan konsentrasi, agar materi luar biasa mampu kuserap secara baik. Tidak lupa, kupersiapkan alat tulis, secangkir air nabes, dan semangkok singkong rebus. Biar terkesan back to nature gitu sahabat.
Rangkaian demi rangkaian acara tersusun rapi, dari awal sampai akhir. Pembawa acara kreatif. Ada moderator cantik, cerdas, dan lincah. Pematerinya luar biasa semua. Segudang prestasi, menulis banyak buku, mendapatkan berbagai hibah dan beasiswa luar negeri. Benar-benar membuatku terkesima. Pemateri kedua yang tidak kalah menariknya, penulis poluler, selevel selebritis, mayoritas sudah kenal beliau, penulis best seller.
Pelajaran penting yang kudapatkan dari welcoming speech, adalah literasi Islami mampu membendung sampah-sampah media sosial. Ketika itu aku termenung. Kunapaktilasi pengalaman dunia media sosialku. Ternyata media sosial ibarat sungai. Aliran airnya tidak selamanya jernih, berisi, ikan dan udang, dan bermanfaat. Namun sampah-sampah tidak berguna juga sangat banyak. Sampah-sampah ini menyebabkan sungai kotor, tersumbat, banjir, bahkan banjir bandang yang memporak-porandakan pemukiman penduduk.
Sungai dianalogikan dengan media sosial. Arusnya sangat deras, setiap hari data mengalir sekian KB. Kontenya tidak seluruhnya positif, seperti dakwah, hikmah, nasehat, pelajaran, pengetahuan, keterampilan, aneka kiat dan tips dalam hidup. Banyak juga kontennya negatif, seperti gambar-gambar tidak senonoh, pornografi, video pornoaksi, visualisai kejahatan, penyimpangan, kemaksiatan, perseteruan, narkoba, dan segala perbuatan fujur ada di medsos. Makanya, orang bijak mengatakan “teknologi adalah alat, sarana, piranti teknologi, sama dengan alat lainnya, penggunaan alat tergantung manusia. Jika digunakan untuk kebaikan maka hasilnya baik. Namun jika digunakan untuk kejahatan, maka hasilnya negatif. Konten-konten negatif inilah sampah-sampah media sosial.
Dengan demikian, salah satu cara mengkonter sampah-sampah media sosial adalah dengan geliat literasi Islami. Baik geliat lterasi Iislami untuk negeri, umat, dan Islam, maupun geliat literasi untuk diri sendiri. Terutama untuk mengabdi dan mengabadi. Setinggi apapun ilmu kita jika tidak menulis, maka kita akan sirna dan dilupakan sejarah.
Matahari kian menanjak, sebotol air nabes dan semangkok singkong rebus hampir habis. Materinya semakin menggugah selera menulisku. Serasa aku mengumpulkan butiran mutiara mahal tanpa berenang dan menyelam. Hanya berbekal quota data, duduk diam, menyimak sepenuh hati, mencatat hal-hal inti, materinya dibaca lagi, dihayati, langsung dieksekusi. Maka hasilnya luar biasa sekali.
Semua uraiannya penuh esensi, urgensi, makna, dan sangat filosofi. Menulis berarti bereksistensi secara ruhani. Keinginan untuk beraktualisasi diri. Menggunakan semua modalitas yang diberi. Berinvestasi pahala dengan berekspresi melalui literasi.
Sifat Maha Baik Pencipta dalam asmaul husna adalah refleksi kerinduan eksistensialis untuk dikenali. Sama halnya dengan manusia, ada kerinduan untuk berkontribusi. Terus mentransformasi diri, dan ingin orang lain tertransformasi. Menulis menjadi motivasi diri mewujudkan modalitas yang diberikan Ilahi. Sebagai hamba Allah (‘abdun) sekaligus menjadi khalifah, bertanggung jawab mengejawantahkan sifat Allah Subhanahu Wata’ala di muka bumi.
Menulis adalah tradisi peradaban dunia. Semua ulama dalam sejarah mengukir kisah dengan berkarya. Begitu juga dengan pemimpin besar, semua mengabadikan tulisannya. Hal ini urgen, sealim-alimnya orang jika tidak menulis, tidak meninggalkan ‘harumnya’. Agar kisah kita menyejarah, gagasan dan konsep kita full faedah bagi sesama, maka menulis wasilahnya.
Usahakan tulisan kita menggerakkan. Semua yang berkecamuk dalam pikiran dan hati dituliskan. Konten berkualitas diutamakan. Eksplor dan ekspos diri kita secara bervariasi, dan baca beragam bahan bacaan.
Menulis ejalan dengan tujuan penciptaan manusia ke dunia ini. Yakni sebagai 'abdi ('abdun) atau hamba semata untuk beribadah terhadap Pencipta.
Di samping
mengabdi, manusia dinobatkan sebagai Khalifah atau pengganti Allah di bumi.
Untuk mengejawantahkan sifat-sifat terbaik dan terindah indah Allah Subhanahu
Wata'ala di bumi. Nah, literasi menjadi wahana totalitas pengabdian
seorang hamba kepada Allah Subhanahu
Wata'ala. Mengabdi bisa juga berarti menjadi abdi. Kata abdi sering kita
dengar, seperti 'abdi negara, abdi masyarakat, abdi dalam abdi lainnya. Pada
kamus besar bahasa Indonesia, kata mengabdi berasal dari kata dasar abdi (kata
kerja), berarti menghamba, menggambarkan diri, dan berjanji. Seperti ungkapan
Najwa Shihab kebanggaan profesi bukan karena materi, tetapi seberapa banyak
bisa mengabdi.
Terutama mengabdi dalam konteks berpartisipasi, bahu membahu memperbaiki negeri. Baik kini maupun esok hari. Bersama-sama mengabdi tanpa henti, tanpa tapi dan nanti. Mengabdi dalam konteks ini bermakna berkontribusi dan mendedikasikan diri semata untuk negeri, hingga gemah ripah loh jinawi bukan slogan basi.
Literasi menjadi wahana pengabdian seorang hamba pada Pencipta. Full makna. Full hikmah. Literasi untu mengabadi, berarti literasi untuk memantapkan posisi hakiki seseorang di hadapan Ilahi, sekaligus sebagai wahana pengabdian pada Ilahi.
Literasi untuk mengabadi. Fokus pada kata mengabadi. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata abadi berarti kekal, tidak berkesudahan, awet, baka, dan tetap. Kata mengabadi berarti menjadi abadi, melanggengkan, mengawetkan dan mengelakkan.
Literasi untuk mengabadi berarti menjadikan aktivitas literasi sebagai strategi meraih keberkahan hakiki. Berinvestasi pahala jariyah, ilman nafi'an, dan meraih surga melalui literasi. Kita boleh pergi dari dunia ini, namun karya dan nama tetap dibaca, dipahami, dan diamalkan oleh generasi kini dan nanti. Fisik bisa hancul dimakan cacing tanah dalam bumi. Namun keberkahan umur dan karya tetep terpampang dalam histori.
Literasi untuk mengabadi juga berarti bukan abadi secara biologi. Tapi abadi dari aspek nama, manfaat, nilai guna, hikmah dan ilmu bagi insani. Langgeng sepanjang masa, bahkan sampai ke akhirat nanti. Lewat literasi pahala aksara mengalir tiada henti. Selagi pembaca mengamalkan ilmu yang terdapat dalam buku atau karya Sang Penulis ini.
Kara kunci kegaiatan literasi ini, membuat aku berpikir seribu kali. Begitu besar manfaat literasi jika berazam sepenuh hati. Ditekuni, sungguh-sungguh dan konsisten berliterasi. Maka setiap nama penulis mengabadi. Suatu dimensi tertinggi dari eksistensi manusia diciptakan Ilahi.
Bagiku, setiap detik adalah langkah baru investasi pahala via aksara. Hanya saja kaki enggan melangkah. Jemari kaku luar biasa. Apalagi menjalani aktivitas menulis secara terpaksa. Tentu minim hikmah dan makna.
Meskipun demikian, aku mencoba berpartisipasi. Bergabung untuk lahirkan karya Antologi. Alhamdulillah, semoga Allah meridhoi. Meskipun aku bukan siapa-siapa di dunia ini. Namun sahabat sevisi dan semisi menjadi penguat dan penyemangat hati berliterasi. Sungguh kasih sayang Allah abadi, dan tak tertandingi.
Dunia literasi sungguh amat menarik hati. Dua kegiatan inti lierasi, yaitu membaca dan menulis. Lewat bacaan kita temukan berbagai pendapat menguatkan. Seperti pendapat Muhammadi Iqbal, seorang filosofis, reformis sekaligus sastrawan Pakistan, memberikan wejangan. Menulis adalah buah dari intelektualitas dapat diasah dengan empat jenis bacaan. Pertama bacaan tentang agamamu, kedua buku-buku sastra, ketiga bacaan berhubungan dengan pekerjaan, dan keempat bacaan yang sama sekali tidak kamu kuasai dan tidak disukai.
Pertama, membaca buku tentang agama kita. Sebagai muslimah agama kita Islam. Kitab Al-Qur'an sebagai Qalam. Nabi kita adalah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Islam bagi muslim adalah segalanya di alam. Pondasi utama kehidupan baik bagi ahli atau pun awam. Islam adalah konsep, ruh, inspirasi, nilai positif, filter, rambu- rambu sekaligus nutrisi bagi jiwa terdalam. Maka penulis muslim, Islam adalah ruh, karakter, prinsip, agar dakwah semakin menghunjam.
Kdua, membaca buku-buku sastra. Sastra berfungsi menajamkan rasa. Bacaan sastra melukiskan suasana batin dan perasaan. Lewat bahasa, rasa dan suasana jiwa diekspresikan. Terbiasa membaca buku-buku sastra, rasa kita akan tajam, sensitif, mudah tersentuh, kelembutan hati, dan proporsional dalam sikap dan tindakan. Bahkan lewat sastra semua rasa bisa terungkapkan. Lewat cerpen atau cerbung misalnya, kita mampu menjangkau pikiran dan perasaan pembaca, tanpa terkesan mengajarkan.
Ketiga membaca bacaan tentang bidang disukai, semua orang senang membaca bacaan yang dia suka. Dari pada membaca buku yang tidak disuka. Bacaan yang disukai biasanya berkaitan dengan manusia sebagai makhluk sosial, muamalah secara komprehensif, kisah orang ahli dan terkenal, baik sebagai pribadi yang cakep dan profesional, dan bersikap proporsional. Tanpa membedakan orang lain dengan berbagai alasan yang masuk akal, padahal tidak masuk akal.
Keempat membaca bacaan tentang bidang yang tidak kita sukai. Hal ini jarang dilakukan, alasannya karena tidak suka. Padahal informasi yang tidak disukai sebenarnya lebih nancap di alam sadar dan alam tidak sadar. Ia akan menjadi pelengkap puzzle pelengkap pengetahuan tidak utuh yang pernah kita dapatkan.
Dengan demikian, tiada kata, tiada karya yang bertahan selamanya, kecuali membaca dan menulis secara intensif dan berkala. Aku bukan siapa-siapa, bukan anak raja, bukan pula anak ulama ternama. Aku bukan tokoh, bukan pula selebritis idola. Satu-satunya cara untuk mengabdi dan mengabadi hanya lewat menulis, menulis, dan menulis tentang kebenaran, hikmah, dan makna. Benarkan niat Lillahi Ta’ala, semoga menjadi amal jariyah, pahalanya langgeng hingga ke surga, aamiin Ya Rabbana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar