Waktu berlalu meninggalkan setiap hamba Allah. Tanpa peduli dan tanpa kompromi, datang tahun baru Islam, 1 Muharram 1442 H.
Sementara diri ini masih seperti itu, seperti itu saja, tidak berubah, berbenah, apalagi hijrah.
.
Perkataan menohok diri ini, yang kadang enggan melakukan perubahan. Suatu hari, Ibnu Mas'ud menyesal, karena waktu berlalu, ajalnya berkurang, tetapi amal shalihnya tidak bertambah. Seorang shalih, dan bertaqwa sekaliber Ibnu Mas'ud, yang hari-harinya penuh dengan kebaikan masih menyesal, apatah lagi diri ini, manusia biasa penuh khilaf dan salah.
.
Ulama lain pun menyatakan, "Siapa yang melalui harinya bukan untuk kebenaran, atau fardhu yang ditunaikan, maka dia telah mendurhakai waktunya, dan mendzalimi dirinya." Aku semakin merenungi hidup ini. Betapa banyak hari kulewati yang menyelisihi kebenaran. Ghibah tanpa sadar dikerjakan. Maksiat kecil kadang dilakukan. Perbuatan fardhu atau wajib sering dilalaikan. Shalat wajib kadang di ujung waktu dilaksanakan. Shalat terburu-buru tanpa dzikir dan permohanan (do'a). Belum lagi dosa lain di luar pengetahuan.
.
Jika aku baca lagi pendapat Al-Hasan al-Bashri, seorang tabiin agung pernah berkata "Wahai Anak Adam, kalian adalah kumpulan hari. Jika sehari berlalu, maka sebagian dirimu telah hilang." Anak Adam atau cucu Adam 'Alaihi Salam semua insan termasuk diri ini.
.
Semenjak lahir ke dunia, aku adalah kumpulan hari. Jika sehari berlalu, maka sebagian diriku telah hilang. Artinya hilang kesempatan beramal shalih, hilang waktu memperbanyak taubat, dan berbuat maslahat.
Tanpa kusadari, tahun 1441 H telah berlalu. Aku hanya bisa mengenang dan memuhasabah diri. Baru secuil kebaikan yang kulakuka. Banyak keburukan yang ditorehkan. Amal shalih entah bagaimana? Infak dan pertolongan belum seberapa untuk agama Allah. Padahal di Yaumul Hisab nanti, semua cacatan amal dibuka, semua peristiwa akan diceritakan tanpa tabir. QS. Al-Zalzalah ayat 4, artinya "Pada Hari itu (Kiamat) dia akan menceritakan peristiwanya."
[Q.s. Az-Zalzalah 4]
Untuk itu, hari ini, Kamis, 1 Muharram 1442 H, saatnya aku membuat resolusi hijrah maknawiyah. Memaknai hijrah sebagai transformasi diri menuju Ridha Ilahi. Sebab puncak kebahagiaan seorang hamba adalah Ridha Allah Subhanahu Wata'ala.
.
1. Transformasi Pemikiran
Pemikiran ini masih banyak jahiliyahnya. Aku harus hijrah dari pemikiran bahwa hidup hanya sekadar lahir, bayi, anak-anak, remaja, dewasa, menikah, bekerja, lansia, dan wafat, ke pemikiran bahwa hidup adalah ibadah.
.
Hidup itu dari Allah, untuk Allah, dan untuk kembali kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Ini harus dijawab dengan aqidah Islam, suatu pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan, kaitan antara sebelum dan sesudah kehidupan ini. Hidup untuk beribadah bukan hanya retorika, sekadar pemanis pembicaraan. Namun benar-benar direncanakan, diniatkan secara matang, lengkap dengan strategi terbaik untuk merealisasikan visi abadi, "Bahagia di sisi-Nya"
.
2. Transformasi Standar Perbuatan
Sebagai manusia lemah, faqir iman dan ilmu, biasanya aku mengukur segala sesuatu dengan kenikmatan dan kepuasan. Makan untuk memuaskan nafsu makan. Berumah tangga sekadar memuaskan sexual instink. Bekerja untuk memuaskan ego atau survival instink. Maka hijrah adalah momentum strategis bagiku untuk mengubah standar makanan dengan ukuran halal atau haram. Rezeki yang halal saja yang dimakan, dan yang haram harus dihindari segenap kemampuan.
Hijrah menjadi kesempatan emas, mengubah standar perbuatan dengan sunnah, wajib, mubah, makhruh, dan haram. Optimalkan perbuatan Sunnah dan wajib, dan hindarkan seoptimal mungkin perbuatan haram dan makruh. Sementara mubah boleh dilakukan atau ditinggalkan.
.
Dengan cara mengubah standar hidup, aku bisa menyelamatkan diri ini. Memaksimalkan catatan pahala, meminimalisir catatan dosa. Dengan cara ini pula, aku mempersiapkan hujjah (arguemtasi, atau alasan) di pengadilan Allah, di Yaumul Hisab nanti. Ketika semua amalku diperiksa, diadili, divonis, ditimbang, dan diberi kitab amal, semoga diri ini, salah satu dari ashabul Yamin. Aamiin.
.
3. Transformasi Ikatan Kemanusiaan
Selama ini, pola interaksi dengan manusia berdasarkan kepentingan dan asas manfaat. Terjebak dengan pemikiran pragmatis, individualis, materialis dan hedonis. Jika merasa suatu interaksi, pertemanan sesama manusia tidak memberi manfaat atau menguntungkan, ditinggalkan.
.
Akhirnya aku sadar, ternyata ikatan paling agung adalah ikatan aqidah. Ikatan aqidah paling kokoh sampai akhirat, full manfaat. Sabahat dalam taat kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Memberi syafaat bahkan penyelamat dari api neraka (ada tulisanku tentang ini, suatu saat insyaa Allah diposting).
Sesama muslim bersaudara, ibarat satu tubuh. Ummatan wahidah. Tidak terikat nasab, suku, asal daerah, sekampung, dan lainnya. Seperti yang dicontohkan oleh Kaum Muhajirin (Dari Mekkah) dan kaum Anshar (di Habasyah/Madinah). Kisah ini sering dibicarakan ustads dalam ceramah, peringatan 1 Muharram.
4. Transformasi Pemahaman tentang Ukuran Kebehagiaan
Dulu menurutku bahagia adalah jika semua keinginan dan nafsu terpenuhi. Aku tidak peduli cara mendapatkannya bagaimana, yang penting aku puas. Namun ternyata aku keliru. Bahagia parameternya Ridha Allah Subhanahu Wata'ala.
.
Tidak masalah kita kaya asalkan Allah Ridha. Tidak masalah kita tidak memiliki apa-apa asalkan Allah ridha. Sebab bahagia terletak di hati yang qana'ah. Bahagia terletak dalam hati (internal) bukan di luar hati atau di luar diri (eksternal).
.
Jika berkaca pada para sahabat Nabi, seperti Salman Al Farizi, seorang miskin tapi ia merasa bahagia. Abdurrahman bin Auf sahabat terkaya kemudian uangnya diinfaqqan semua di jalan Allah. Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menghabiskan uangnya di jalan Islam. Belum lagi Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Seorang saudagar perempuan, kaya raya, keturunan bangsawan, semua kekayaannya habis membiayai dakwah Rasulullah, toh mereka semua bahagia. Tidak sekadar bahagia di dunia, namun Allah sendiri yang menyampaikan salam kepada mereka dan memberi kabar gembira atas imbalan surga untuk pengorbanan mereka.
Aku semakin paham bahwa status paling mulia di sisi Allah adalah taqwa. Kesejahteraan hakiki adalah ketika selamat dari sirath, dan masuk surga. Kerinduan sejati seorang mukmin atau mukminah adalah melihat wajah Allah Subhanahu Wata'ala dalam posisi paling dekat.
.
Minimal empat bentuk transformasi diri yang harus kulakukan, sebagai hasil memaknai kembali tentang hijrah. Kadang aku malu dengan diriku ketika membaca pendapat seorang ahli strategi perang Israel, Moshes Dayan (1915-1981) yang menyatakan bahwa kelemahan utama umat Islam adalah malas baca sehingga literasinya jeblok, anjlok, dan rendah. Seandainya pun membaca, ia tidak mengerti. Jika ia mengerti, tetapi tidak bertindak. Inilah yang makin memperburuk citra Islam.
.
Maka tidak ada yang dapat kulakukan, selain melakukan transformasi diri, yaitu HIJRAH. Agar eksistensi penciptaanku sebagai hamba ('abdun) benar-benar terealisasi. Aamiin.
.
Selamat Tahun Baru Islam
1 Muharram 1442 H
Mohon maaf atas semua kesalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar