Follow Us @soratemplates

Rabu, 12 Agustus 2020

REZEKI HAKIKI, BUKAN HANYA MATERI


Kembali merefleksi hakikat rezeki, bukan diukur dengan banyaknya materi. Bukan pula ditakar dengan  banyaknya harta dan besarnya tabungan pribadi. Rezeki sesungguhnya adalah semua nikmat, rahmat, hidayah, inayah, dan istiqamahnya insan memegang dan memperjuangkan kebenaran Ilahi.


Persoalan rezeki bukan persoalan iman, namun persoalan takaran taqdir yang ditetapkan Allah Subhanahu Wata'ala pada setiap insan.Lima puluh ribu tahun sebelum bumi diciptakan. Jumlah, bentuk, jenis, cara sampai pada setiap insan memiliki perbedaan. 


Jika rezeki diukur dengan aqidah dan taqwa. Maka para Rasul dan Nabi, ulama besar, dan orang paling shalih, tentu kaya semua. Namun banyak di antara mereka hidup susah, sederhana, bersahaja, dan jauh dari harta dan kemilau dunia.


Sebaliknya banyak orang-orang non Islam, tidak muslim, tidak beriman, bahkan atheis, bahkan banyak yang  milyader. Memiliki banyak aset, kekayaan pantastis membuat kita ngiler. Kemana saja pakai jet pribadi, punya pulau, villa mewah, dan semua urusan mereka serba super. Apakah pertanda bahwa Allah Subhanahu Wata'ala cinta dan sayang pada mereka secara bener?


Tiada nikmat yang pantas disyukuri. Selain hidayah, hijrah, dan terus berbenah. Mulai dari berbenah fikrah, thariqah,  aqliyah, nafsiyah, sampai syakhsiyah. Bertemu sahabat taat dalam hijrah, menyatu dalam ukhuwah. Aqidah dan tsaqafah Islam menjadi rabithah, penguat silah ukhuwah. Memang bukan karena ukhuwah kita hijrah, namun tanpa ukhuwah hijrah bisa  goyah, jika tidak Lillah. Bukan karena ukhuwah kita berbenah, namun tanpa ukhuwah, berbenah kurang menggugah. 


Sungguh, fikrah, thariqah Rasulullah, perpaduan antara antara keduanya, menentukan manusia berubah, menuju taat dan berbuat tuk kemajuan ummah. Tanpa fikrah dan thariqah yang valid, maka hijrah sekadar merubah arah. Awalnya  awam, akhirnya paham makna syahadah. Namun dalam kehidupan menganggap sepele pelanggaran hukum syariah. Meskipun setiap pagi dan sore dilafalkan doa' rabithah di akhir almathsurah.


Banyak organisasi yang dimasuki, dari sekuler sampai taat menurut kacamata insani, hingga sedikit hafal tabiat beberapa organisasi. Dari sekadar kumpul-kumpul berdiskusi. Sampai kegiatan bermanfaat secara manusiawi. Dari hanya sekadar mencari sensasi, gengsi, partisipasi, sampai memperjuangkan nasib di legislasi. Hanya satu yang demikian nyantol di Hati. 


Sampai pada suatu massa. Muncul persepsi, ibadah sunnah yang dilakukan, seperti shalat Dhuha, shalat Nafilah, Tahajjud, dan sedekah adalah ibadah luar biasa, untuk menjemput dan membuka rezeki dari Allah Subhanahu Wata'ala. Kala itu menduga rezeki hanya berwujud harta. Banyak uang, orderan berlimpah,  banyak usaha, lancar bekerja.  Setiap bulan tabungan bertambah nominalnya. Ada aset di mana-mana. Kala itu, berpikir rezeki hanya harta, kaya, jika kaya bisa bahagia. 


Kemudian berusaha menguatkan aqidah, menambah tsaqafah Islamiyyah, akhirnya persepsi tentang rezeki diperbaiki. Memang diakui,  harta termasuk uang memang rezeki. Namun harta dan uang adalah rezeki yang paling rendah dan hina di sisi Ilahi. Makanya nabi mengatakan celaka pada hamba materi. "Celaka hamba Dinar, celaka hamba dirham, celaka hamba busana, celakalah hamba perut bila terpenuhi dia merasa tenang, bila tidak, ia tidak merasa tenang" (H.R. Bukhari).


Logikanya, Nabi tidak memuji  hamba harta. Nabi yang kuat imannya, maksum dari dosa, dan istimewa di hadapan Allah Subhanahu Wata'ala, menganggap celaka hamba harta.  Tentu kita sebagai umatnya harus sami'na wa'atha'na pada Rasulullah. Kita hanya manusia biasa, gampang tergoda, dan mudah terkesima. Tentu harus ekstra hati-hati terhadap harta. Bukan tidak boleh berharta, namun jangan jadi hamba harta. 


Beranjak dari fakta ini, baru disadari, bahwa rezeki itu luas sekali. Semua yang ada dalam diri, dan di luar diri asalkan maslahah  menurut Allah Subhanahu Wata'ala adalah rezeki. Ketika lahir dengan potensi fitrah, punya akal, hati,  dapat anugerah dan mampu memenuhi kebutuhan jasmani adalah rezeki. 


Ketika  memiliki kemampuan mengelola gharizah beragama, gharizah melangsungkan keturunan, dan gharizah mempertahan diri, selaras dengan ketentuan Allah Subhanahu Wata'ala adalah rezeki. 


Ketika kita mampu mengelola dan  memberdayakan akal dan nafs kita agar sesuai dengan ketentuan syarak yang terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits Nabi adalah rezeki.


Ketika kita diberi Allah kesehatan, kesempatan, kemauan, dan kekuatan untuk merealisasikan belajar Islam adalah fardhu 'ain (wajib bagi setiap individu) adalah rezeki.


Ketika kita diberi  Allah kesempatan, kesehatan, dan kemudahan untuk mengamalkan ilmu yang kita pelajari, menyesuaikan semua amalan dengan aturan Ilahi, dilindungi dari berbuat bit'ah, kurafat, dan tahayul adalah Rezeki. Sehingga kita beraqidah benar, beribadah shahih, bermuamalah benar adalah rezeki. 


Ketika Allah memudahkan kita untuk beramal shalih kemudian berjuang untuk menshalihkan orang lain secara intensif,  kontinue, konsisten dan istiqamah adalah rezeki. 


Ketika kita dikelilingi oleh orang-orang baik, orang shalih, sahabat taat dan shalihah, bertaqwa, mengingatkan kita tentang eksistensi hidup di dunia,   pentingnya aqidah dan taat pada adalah rezeki.  


Ketika masih memiliki kedua orang tua, meskipun sering marah-marah dan berulah, lalu kita lelah, kurang tabah menghadapinya adalah rezeki. Bakti pada orang tua merupakan ladang pahala, mengumpulkan banyak berkah.  Do'a orang tua diijabah, terutama ibu pembuka pintu surga. Berbakti sepenuh cinta, sebagaimana dulu ketika kecil orang tua menyayangi kita, maka pantaslah kita memohon do'a mohon perlindungan dan cinta Allah Subhanahu Wata'ala, dianugerahkan pada ortu kita.


Ketika kita memiliki sekeping hati, sebongkah otak,  secantik dan sekuat raga. Bersih dan suci hati terhadap sesama, jauh dari penyakit hati yang menyiksa,  dicondongkan untuk mencintai Allah dan Rasulullah. Itu adalah rezeki. 


Ketika semua harapan tidak menjadi kenyataan.  Cita-cita yang sulit dicapai, dihadapkan pada situasi sulit, banyak penderitaan, dan penuh keterbatasan, itu adalah rezeki. Sebab jika diringankan dan dimudahkan oleh Allah. Mana tahu kita akan kehilangan arah. Akhirnya berulah, dan jauh dari kata shalih dan shalihah. 


Tubuh yang sehat atau sakit keduanya adalah rezeki. Sehat dan sakit boleh jadi ujian, bisa jadi juga musibah dari Allah Subhanahu Wata'ala. Ujian untuk menaikan level keimanan, sedang musibah adalah cara Allah menggugurkan dosa hamba-Nya. Keduanya adalah baik di sisi Allah.  


Buya Hamka pernah menjelaskan pada anaknya, "Rezeki bukan bermakna kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan,  namun juga termasuk apa yang Allah anugerahkan padamu."


"Kamu belajar tentang shirah, Maryam binti Imran tidak menikah, tapi dapat anak. Itulah rezeki. Aisyah binti Abu Bakar menikah dengan Baginda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, namun tidak punya anak. Itupun rezeki."


"Allah Subhanahu Wata'ala mendatangkan Nabi Musa 'Alaihi Salam ke rumah Fir'aun sebagai anak angkat untuk membawanya ke syurga. Namun Fir'aun tetap menjadi manusia celaka dengan memilih masuk neraka."


"Allah juga mengantarkan Nabi Nuh 'Alaihi Salam untuk menyelamatkan kaumnya,  tetapi anak isterinya sendiri durhaka dan enggan menerima dakwahnya."


"Pelajarilah sesuatu dari kisah-kisah seperti itu. Sungguh kamu akan paham bahwa rezeki setiap orang tidak sama."


"Setiap orang yang punya suami atau punya isteri, ada anak, dan ada tanggung jawab. Mudah dapat pahala. Tapi juga mudah dapat dosa."


Bagi yang tidak bertemu jodoh, yang tidak dikaruniai anak pun suatu rezeki juga.  Terlepas dari tanggung jawab dan resiko mau menjawab apa di hadapan Allah Subhanahu Wata'ala nanti."


Sebagai insan berpikir, bagusnya kita pahami konsep rezeki. Sebelum mengeluh atau galau  hati. Tidak ada yang semestinya untung dan tidak ada semestinya rugi.  Setiap kita mendapatkan apa yang kita kehendaki. Ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan berarti kita tidak berhak mendapatkan rezeki. Qadha Allah itu sifatnya misteri. Ketika menerima setiap qadha apakah kita meneteskan air mata Ridha dan ikhlas, tabah dan tawakkal yang akan menghanyutkan kita ke Surga Allah Rabbul 'Izzati. Justru rezeki itu bukan bermakna kamu mendapatkan apa yang kamu kehendaki. Tetapi kamu Ridha dan ikhlas menerima apa yang Allah beri. Sebab kebahagiaan paling hakiki bukan terletak pada qadar rezeki yang Allah beri, tetapi sejauhmana manusia ridha menjalani setiap perjuangan, dan berupaya dalam setiap amalan mencapai taraf Ridha Ilahi.


Wallahu A'lam Bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar