Follow Us @soratemplates

Selasa, 18 Agustus 2020

MENGEMBAN DAN MENUNAIKAN AMANAH

 

Tiada iman pada seseorang yang tidak menunaikan amanah, dan tiada agama pada seseorang yang tidak menunaikan janji." (HR.Ahmad dan Ibnu Hibban)

Amanah itu berat, seberat apa yang diamanahka, dititipkan atau dipercayakan. Jika dipercayakan uang sepuluh ribu, maka amanah itu beratnya sepuluh ribu. Jika dimanahkan itu jabatan, maka berat amanah itu seberat jabatan. Apalagi jika diamanahkan menjaga umat, dan mengajaknya kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran. Maka amanah ini luar biasa berat. Bukan berat ringannya yang jadi persoalan, namun akuntabilitas kepada manusia yang mengamanahkan, Bahkan lebih berat lagi mempertanggungjawabkan amanah tersebut kepada Allah Subhanahu Wata’ala di Yaumul Hisab nanti.

Amanah bagiku amat berat, mengemban amanah ilahiyah dan nubuwah itu amat sangat berat. Meskipun demikian amanah ini harus kuemban. Secara alamiah perjalanan hati, akal, dan amalanku sudah mengehnadaki agar aku mengambil amanah ini. Sudah empat tahun berlalu, aku mengenal bahwa hidup bukan hanya sekadar hidup. Namun hidup adalah menjawab pertanyaan besar hidup ini. Itu sudah kudapati melalui tholibul ‘ilmi.

September 2016 lalu, aku mengenal risalah nubuwah lewat sahabat taat. Kini hampir September 2020. Berarti hampir empat tahun aku mendalami keyakinan, arah, dan visi hidupku. Sudah tiga panduan besar kuselesaikan, itupun harus mengulang satu panduan agar pemahamanku mantap. Selama tiga pertemuan setiap pagi Rabu berturut-turut, semenjak 22, 29 Juli, 05 dan 12 Agustus mengkaji dan memahami lembaran-lembaran cinta. Tepatnya Hari Rabu 12 Agustus 2020 jam 10.30 aku dan seorang temanku menerima dan mengambil amanah terberat ini. Bismillah...mudahkan hamba Ya Rabb. Hari ini aku ambil amanah terberat ini. Jika nanti di jalan ini aku harus kembali, mudahkan jalanku menuju-Mu Ya Rabb.

Sepekan sebelumnya sudah disugesti, agar aku beristigfar, memohon ampun, mohon petunjuk, shalat istikharah, menguatkan hati untuk mengambil tanggung jawab ini. Hari ini aku diingatkan kembali, dengan segala beban, amanah, dan tanggung jawab yang harus kutunaikan. Ya Rabb, meskipun akalku berbisik gamang, namun ini pilihan terbaik dan terpenting sepanjang hidupku. Di lembaran ini aku mencoba mentarbiyah diri, agar mampu menunaikan amanah berat ini. Cara berikut mungkin meringankan bebanku memikul amanah ini.

Cara Mengemban Amanah

1.    Niatkan menerima amanah karena Allah Subhanahu Wata’ala

Hidup tidak lepas dari amanah, sebab “Setiap orang dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban." (HR Muslim). Setiap kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Dan setiap apa yang kita pimpim akan diminta pertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Dengan demikian amanah itu banyak. Menjadi muslim, mukmin, muttaqin, muhlisin adalah amanah. Menjadi istri, suami, ibu, ayah, anak adalah amanah. Menjadi karyawan, atasan, dan jadi apapun kita adalah amanah. Maka terima setiap amanah karena Allah, bagi Allah, untuk Allah. Bukan untuk orang yang mengamanahkan.

Boleh saja orang yang mengamanahi lengah. Tidak meminta apa-apa, tidak ada akuntabilitas. Tidak minta laporan pertanggungjawaban. Kecuali komitmen hati, dan janji pribadi masing-masing. Hal itu tidak lantas menjalankan amanah sesuka hati. Yakinlah meskipun manusia lengah, Allah Subhanahu Wata’ala tidak pernah lalai, lupa, dan melupakan. Sekecil apapun perbuatan, perkataan, gerak langkah, bahkan bisikan hati, selalu dalam pantauan-Nya. Suatu saat akan dimintai pertanggungan jawab.

2.    Yakinkan diri, menjaga amanah adalah jalan ke surga Firdaus

Amanah itu berat. Saking beratnya tidak semua orang mau menerima amanah. Banyak yang enggan terlibat dalam proyek besar kehidupan. Menikmati zona nyaman. Hidup mapan. Aku harus yakin dibalik beratnya amanah, pasti Allah memberikan besarnya imbalan. Melipatgandakan kekuatan. Bukan semata karena imbalan amanah ditunaikan, namun karena rasa malu diri ini terhadap Rabb yang menciptakan.

Maka orang-orang yang menunaikan amanah dirindukan surga Firdaus. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman, artinya: Orang-orang yang menunaikan amanah dan menepati janji...mereka itulah yang mewarisi, yakni mewarisi Surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya (QS al-Mu'minun [23]: 8-11).

Demikian juga sebaliknya. Bagi orang yang mengkhianati amanah mendapatkan konsekuensi yang bersangatan. Allah Subhanahu Wata’ala mengharamkan sikap mengkhianati amanah, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian. Padahal kalian tahu (QS al-Anfal [8]: 27).

Menurut Ibnu Abbas ra. ayat di atas bermakna, "Janganlah kalian mengkhianati Allah SWT dengan meninggalkan kewajiban-kewajiban-Nya. Janganlah kalian mengkhianati Rasul saw. dengan meninggalkan sunnah-sunnahnya. Janganlah kalian bermaksiat kepada keduanya." (Al-Qinuji, Fath al-Bayan, 1/162).

3.    Mencontoh para sahabat dan shalafus shaleh

Orang yng diberi amanah bukan hanya kita, namun orang-orang terdahulu semenjak Nabi Adam ‘Alaihi Salam juga diberi amanah. Para Nabi dan Rasul juga diberi amanah. Bahkan para sahabat, salafush-shalih juga diberi amanah. Mereka orang-orang yang layak kita contoh.

Umar bin al-Khaththab Radhiallahu ‘Anhu ketika menjadi khalifah, beliau pernah dihadiahi minyak wangi kesturi dari penguasa Bahrain. Beliau lalu menawarkan kepada para sahabat, siapa yang bersedia untuk menimbang sekaligus membagi-bagikan minyak wangi kesturi itu kepada kaum Muslim. Saat itu, istri beliau, Atikah radhialla ‘anha., yang pertama kali menawarkan diri. Namun, beliau dengan lembut menolaknya. Sampai tiga kali istri beliau menawarkan diri, beliau tetap menolak keinginan istrinya. Beliau kemudian, berkata, "Atikah, aku hanya tidak suka jika engkau meletakkan tanganmu di atas timbangan, lalu engkau menyapu-nyapukan tanganmu yang berbau kesturi itu ke tubuhmu. Sebab dengan demikian berarti aku mendapatkan lebih dari yang menjadi hakku yang halal." (Al-Kandahlawi, Fadha-il A'mal, hlm. 590).

Pada riwayat lain juga pernah kita baca bahwa Khalifah Umar bin al-Khathab Radhiallahu ‘Anhu, pernah menjodohkan salah satu putranya, Ashim, dengan seorang gadis, anak penjual susu yang amanah. Kisahnya bermula saat sang Khalifah, sebagaimana kebiasaannya, berkeliling malam hari untuk memantau keadaan rakyatnya. Tak sengaja beliau mendengar percakapan dua orang wanita. Ibu dan putrinya, di sebuah gubuk kecil. Ibunya, merintahkan putrinya untuk mencampur susu dengan air. Kata ibunya, "Toh Amirul Mukminin tidak akan tahu." Namun, putrinya berkata, "Amirul Mukminin memang tidak akan tahu perbuatan curang tersebut. Namun, Tuhannya  Amirul Mukminin, Allah Subhanahu Wata’ala pasti tahu."

Khalifah Umar bin al-Khaththab Radhiallahu ‘Anhu, yang secara diam-diam mendengar percakapan itu pun bergegas pulang. Beliau lalu meminta putranya, `Ashim, untuk segera menikahi putri penjual susu tersebut karena ia gadis yang shalihah (Abdullah bin Abdul Hakam, Sirah `Umar bin `Abdil `Aziz, hlm. 23).

Hendaknya kita meneladani sifat amanah para sahabat dan salafush-shalih. Tidak ada tokoh lain di dunia ini, yang layak dijadikan referensi sifat amanah. Kita meneladani mereka karena keimanan, ketaqwaan, keistiqamahan, dan ketaatan mereka, bukan yang lain.

4.    Selalu berdo’a mohon dikuatkan Allah Subhanahu Wata’ala

Azamku kuat sudah tak bertepi, apalagi berbelah. Kuatkan Hamba Ya Rabb...di pundak rapuh ini diletakkan amanah terberat ini. Azamku semakin kuat dan semoga menjadi penguat. Memilih berada di barisan perjuangan, adalah nikmat terbesar yang selalu kuingat dan kucatat.

Inilah pilihan terbaik, di antara pilihan penting dalam hidupku. Di umur yang tidak lagi muda, hanya tinggal sisa hidup untuk menghadap Pencipta dan Pengatur Kehidupan. Jika aku belum jua berada di barisan ini, lalu kapan aku akan berbenah. Meskipun ajal rahasia Allah Yang Maha Kuasa.

Ikhtiar menjadi bagian dari pejuangan kebenaran adalan pilihan. Tidak ada jaminan, jika aku berpangku tangan. Agama ini tetap eksis di sisi Allah. Baik ada kita atau tanpa kita. Hidup adalah pilihan, mau mengambil peran perjuangan atau tidak. Jika kita tidak mengambil peran, pasti ada yang lain akan menggantikan. Bukan agama yang memerlukan kita, namun kita yang memerlukan agama. Betapa banyak orang biasa sepertiku disibukkan oleh urusan remeh temeh duniawi. Menghabiskan waktu, tenaga, harta dan energi. Apakah ada jaminan Allah untuk bahagia di akhirat sana?, Wallahu a’lam.

Aku selalu berdo’a, semoga langkahku memilih amanah ini menjadi langkah penting untuk meraih surga, menggapai kemenangan hakiki, menjemut bisyarah Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi Wasallam. Aku tidak pernah menyesal dengan pilihan hidupku. Kadang nafsuku berkata, dan mengajakku untuk menggapai berbagai obsesi duniawi. Otak kecilku kadang dijejali  penilaian kanan kiri.  Sebagai insan lemah yang memiliki naluri, kadang berpikir untuk menuruti. Agar bisa hidup memukau dengan kekayaan berkilau. Kadang orang memandang apa yang kumiliki. Mengapa aku memilih hidup bersahaja, semua tidak punya, yang ada hanya selembar jiwa berlumur dosa. Hanya dengan memilih amanah terbesar ini, menjadi wasilahku untuk bahagia di sana. Sebagaimana Firman Allah pernah kubaca:

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginy, dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia,  dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat.” (QS. Asy-Syura[42]: 20).

Ini jalan yang sengaja, ikhlas, dan direncanakan dipilih. Memilih dengan penuh kesadaran dan kehangatan iman. Aku tidak akan sesali pilihan penting ini. Sebab di ujung sana ada pintu kebahagiaan sejati. Meskipun di mata manusia aku tidak punya apa-apa. Tidak mendapatkan apa-apa. Aku hanya bercermin pada pejuang sebelumnya, mereka nyaris tidak memiliki apa-apa, demi menggengam ridha Ilahi. Bahkan mereka mengorbankan semua yang dimiliki. Baik waktu, jiwa, harta, bahkan nyawa di jalan ini. Kadang aku menangis belum mampu setegar itu.

“Suatu hari Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dia diutus oleh Allah untuk menanyakan keadaan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anha.,  yang kala itu berada di sebelah sang Nabi. Ia mengenakan jubah yang tak layak disebut jubah, karena hanya sehelai kain panjang yang dibelah dua lalu ia kenakan pada tubuh kurusnya yang menjulang. Jibril bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mengapa pakaian itu yang dikenakan oleh Abu Bakar?. Tentu sebuah pertanyaan retoris, karena Allah telah tahu jawabannya. Sang Nabi menjawab hal itu dilakukan Abu Bakar karena semua hartanya telah dihabiskan sebelum penaklukkan Mekkah. Jibril lalu berkata, “Katakan padanya, duhai Muhammad, Rabbmu menanyakan kepadanya ‘Apakah ia ridhlo kepada-Ku dengan kefakirannya ataukah ia marah?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  meneruskan perkataan Jibril kepada Abu Bakar. “Duhai Abu Bakar, ini Jibril membacakan salam untukmu dari Allah Ta’ala, dan Dia berkata, ‘Apakah engkau ridlo kepadaKu dalam kefakiranmu, ataukah engkau marah?” Abu Bakar terhenyak mendengar ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Sambil bercucuran air mata ia menjawab, “Apakah kepada Rabbku aku marah? Aku ridho pada Rabbku, aku ridho pada Rabbku.”(Hilyatul Auliya, juz &, hal 105, Maktabah asy-Syamilah).

Aku malu dengan kisah ini. Perjuanganku baru dimulai. Kadang amalku pakai pretensi, minimal ingin dapat pahala, bahkan minta surga tertinggi. Aku terlalu pede, dengan amal secuil, lalu aku berharap surga Firdaus. Memang jalan perjuangan ini tidak mudah. Aku harus berupaya melatih kesabaranku. Merenungkan hidupku, bahwa keadaanku jauh lebih mulia di sisi Rabbku jika menolong agama ini. Semua kuserahkan pada-Nya. Hal terpenting aku harus optimalkan do’a, ikhtiar, dan daya juangku. Apapun qadha-Nya harus aku terima.  Aamiin...Bismillah.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar