“Tiada iman pada seseorang yang tidak
menunaikan amanah, dan tiada agama pada seseorang yang tidak menunaikan janji." (HR.Ahmad dan Ibnu Hibban)
Amanah itu berat, seberat apa yang diamanahka, dititipkan
atau dipercayakan. Jika dipercayakan uang sepuluh ribu, maka amanah itu beratnya
sepuluh ribu. Jika dimanahkan itu jabatan, maka berat amanah itu seberat
jabatan. Apalagi jika diamanahkan menjaga umat, dan mengajaknya kepada kebaikan
dan meninggalkan kemungkaran. Maka amanah ini luar biasa berat. Bukan berat
ringannya yang jadi persoalan, namun akuntabilitas kepada manusia yang
mengamanahkan, Bahkan lebih berat lagi mempertanggungjawabkan amanah tersebut
kepada Allah Subhanahu Wata’ala di Yaumul Hisab nanti.
Amanah bagiku amat berat, mengemban amanah
ilahiyah dan nubuwah itu amat sangat berat. Meskipun demikian amanah ini harus
kuemban. Secara alamiah perjalanan hati, akal, dan amalanku sudah mengehnadaki
agar aku mengambil amanah ini. Sudah empat tahun berlalu, aku mengenal bahwa
hidup bukan hanya sekadar hidup. Namun hidup adalah menjawab pertanyaan besar
hidup ini. Itu sudah kudapati melalui tholibul ‘ilmi.
September 2016 lalu, aku mengenal risalah
nubuwah lewat sahabat taat. Kini hampir September 2020. Berarti hampir empat
tahun aku mendalami keyakinan, arah, dan visi hidupku. Sudah tiga panduan besar
kuselesaikan, itupun harus mengulang satu panduan agar pemahamanku mantap. Selama
tiga pertemuan setiap pagi Rabu berturut-turut, semenjak
22, 29 Juli, 05 dan 12 Agustus mengkaji dan memahami lembaran-lembaran cinta. Tepatnya
Hari Rabu 12 Agustus 2020 jam 10.30 aku dan seorang temanku menerima dan
mengambil amanah terberat ini. Bismillah...mudahkan hamba Ya Rabb. Hari ini aku
ambil amanah terberat ini. Jika nanti di jalan ini aku harus kembali, mudahkan
jalanku menuju-Mu Ya Rabb.
Sepekan sebelumnya sudah disugesti, agar aku beristigfar, memohon
ampun, mohon petunjuk, shalat istikharah, menguatkan hati untuk mengambil
tanggung jawab ini. Hari ini aku diingatkan kembali, dengan segala beban,
amanah, dan tanggung jawab yang harus kutunaikan. Ya Rabb, meskipun akalku
berbisik gamang, namun ini pilihan terbaik dan terpenting sepanjang hidupku. Di
lembaran ini aku mencoba mentarbiyah diri, agar mampu menunaikan amanah berat
ini. Cara berikut mungkin meringankan bebanku memikul amanah ini.
Cara Mengemban Amanah
1.
Niatkan
menerima amanah karena Allah Subhanahu Wata’ala
Hidup tidak lepas dari amanah, sebab “Setiap orang dari kalian akan dimintai
pertanggungjawaban." (HR Muslim). Setiap kita adalah pemimpin bagi diri kita
sendiri. Dan setiap apa yang kita pimpim akan diminta pertanggungjawabkan di
hadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Dengan demikian amanah itu banyak. Menjadi
muslim, mukmin, muttaqin, muhlisin adalah amanah. Menjadi istri, suami, ibu,
ayah, anak adalah amanah. Menjadi karyawan, atasan, dan jadi apapun kita adalah
amanah. Maka terima setiap amanah karena Allah, bagi Allah, untuk Allah. Bukan untuk
orang yang mengamanahkan.
Boleh saja orang yang mengamanahi lengah. Tidak meminta apa-apa,
tidak ada akuntabilitas. Tidak minta laporan pertanggungjawaban. Kecuali
komitmen hati, dan janji pribadi masing-masing. Hal itu tidak lantas
menjalankan amanah sesuka hati. Yakinlah meskipun manusia lengah, Allah Subhanahu
Wata’ala tidak pernah lalai, lupa, dan melupakan. Sekecil apapun perbuatan,
perkataan, gerak langkah, bahkan bisikan hati, selalu dalam pantauan-Nya. Suatu
saat akan dimintai pertanggungan jawab.
2.
Yakinkan
diri, menjaga amanah adalah jalan ke surga Firdaus
Amanah itu berat. Saking beratnya tidak semua orang mau
menerima amanah. Banyak yang enggan terlibat dalam proyek besar kehidupan. Menikmati
zona nyaman. Hidup mapan. Aku harus yakin dibalik beratnya amanah, pasti Allah
memberikan besarnya imbalan. Melipatgandakan kekuatan. Bukan semata karena
imbalan amanah ditunaikan, namun karena rasa malu diri ini terhadap Rabb yang
menciptakan.
Maka
orang-orang yang menunaikan amanah dirindukan surga Firdaus. Allah Subhanahu
Wata’ala berfirman, artinya: Orang-orang
yang menunaikan amanah dan menepati janji...mereka itulah yang mewarisi, yakni
mewarisi Surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya (QS
al-Mu'minun [23]: 8-11).
Demikian juga sebaliknya. Bagi orang yang
mengkhianati amanah mendapatkan konsekuensi yang bersangatan. Allah Subhanahu
Wata’ala mengharamkan sikap mengkhianati amanah, sebagaimana firman-Nya, yang
artinya: Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.
Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian. Padahal kalian tahu (QS al-Anfal
[8]: 27).
Menurut Ibnu Abbas ra. ayat di atas bermakna,
"Janganlah kalian mengkhianati Allah SWT dengan meninggalkan kewajiban-kewajiban-Nya.
Janganlah kalian mengkhianati Rasul saw. dengan meninggalkan sunnah-sunnahnya.
Janganlah kalian bermaksiat kepada keduanya." (Al-Qinuji, Fath
al-Bayan, 1/162).
3.
Mencontoh
para sahabat dan shalafus shaleh
Orang
yng diberi amanah bukan hanya kita, namun orang-orang terdahulu semenjak Nabi
Adam ‘Alaihi Salam juga diberi amanah. Para Nabi dan Rasul juga diberi amanah. Bahkan
para sahabat, salafush-shalih juga diberi amanah. Mereka orang-orang yang layak
kita contoh.
Umar bin al-Khaththab Radhiallahu ‘Anhu ketika menjadi
khalifah, beliau pernah dihadiahi minyak wangi kesturi dari penguasa Bahrain.
Beliau lalu menawarkan kepada para sahabat, siapa yang bersedia untuk menimbang
sekaligus membagi-bagikan minyak wangi kesturi itu kepada kaum Muslim. Saat
itu, istri beliau, Atikah radhialla ‘anha., yang pertama kali menawarkan diri.
Namun, beliau dengan lembut menolaknya. Sampai tiga kali istri beliau
menawarkan diri, beliau tetap menolak keinginan istrinya. Beliau kemudian,
berkata, "Atikah, aku hanya tidak suka jika engkau meletakkan
tanganmu di atas timbangan, lalu engkau menyapu-nyapukan tanganmu yang berbau
kesturi itu ke tubuhmu. Sebab dengan demikian berarti aku mendapatkan lebih
dari yang menjadi hakku yang halal." (Al-Kandahlawi, Fadha-il
A'mal, hlm. 590).
Pada riwayat lain juga pernah kita baca bahwa Khalifah Umar bin
al-Khathab Radhiallahu ‘Anhu, pernah menjodohkan salah satu putranya,
Ashim, dengan seorang gadis, anak penjual susu yang amanah. Kisahnya bermula
saat sang Khalifah, sebagaimana kebiasaannya, berkeliling malam hari untuk
memantau keadaan rakyatnya. Tak sengaja beliau mendengar percakapan dua orang
wanita. Ibu dan putrinya, di sebuah gubuk kecil. Ibunya, merintahkan putrinya
untuk mencampur susu dengan air. Kata ibunya, "Toh Amirul
Mukminin tidak akan tahu." Namun, putrinya berkata, "Amirul
Mukminin memang tidak akan tahu perbuatan curang tersebut. Namun, Tuhannya Amirul Mukminin, Allah Subhanahu Wata’ala
pasti tahu."
Khalifah Umar bin al-Khaththab Radhiallahu ‘Anhu, yang
secara diam-diam mendengar percakapan itu pun bergegas pulang. Beliau lalu
meminta putranya, `Ashim, untuk segera menikahi putri penjual susu tersebut
karena ia gadis yang shalihah (Abdullah bin Abdul Hakam, Sirah `Umar
bin `Abdil `Aziz, hlm. 23).
Hendaknya kita meneladani sifat amanah para sahabat dan salafush-shalih. Tidak
ada tokoh lain di dunia ini, yang layak dijadikan referensi sifat amanah. Kita
meneladani mereka karena keimanan, ketaqwaan, keistiqamahan, dan ketaatan mereka,
bukan yang lain.
4.
Selalu
berdo’a mohon dikuatkan Allah Subhanahu Wata’ala
Azamku kuat sudah tak bertepi, apalagi berbelah. Kuatkan
Hamba Ya Rabb...di pundak rapuh ini diletakkan amanah terberat ini. Azamku semakin
kuat dan semoga menjadi penguat. Memilih berada di barisan perjuangan, adalah
nikmat terbesar yang selalu kuingat dan kucatat.
Inilah pilihan terbaik, di antara pilihan penting dalam
hidupku. Di umur yang tidak lagi muda, hanya tinggal sisa hidup untuk menghadap
Pencipta dan Pengatur Kehidupan. Jika aku belum jua berada di barisan ini, lalu
kapan aku akan berbenah. Meskipun ajal rahasia Allah Yang Maha Kuasa.
Ikhtiar menjadi bagian dari pejuangan kebenaran adalan
pilihan. Tidak ada jaminan, jika aku berpangku tangan. Agama ini tetap eksis di
sisi Allah. Baik ada kita atau tanpa kita. Hidup adalah pilihan, mau mengambil
peran perjuangan atau tidak. Jika kita tidak mengambil peran, pasti ada yang
lain akan menggantikan. Bukan agama yang memerlukan kita, namun kita yang
memerlukan agama. Betapa banyak orang biasa sepertiku disibukkan oleh urusan
remeh temeh duniawi. Menghabiskan waktu, tenaga, harta dan energi. Apakah ada
jaminan Allah untuk bahagia di akhirat sana?, Wallahu a’lam.
Aku selalu berdo’a, semoga langkahku memilih amanah ini
menjadi langkah penting untuk meraih surga, menggapai kemenangan hakiki, menjemut
bisyarah Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi Wasallam. Aku tidak pernah menyesal
dengan pilihan hidupku. Kadang nafsuku berkata, dan mengajakku untuk menggapai
berbagai obsesi duniawi. Otak kecilku kadang dijejali penilaian kanan kiri. Sebagai insan lemah yang memiliki naluri,
kadang berpikir untuk menuruti. Agar bisa hidup memukau dengan kekayaan
berkilau. Kadang orang memandang apa yang kumiliki. Mengapa aku memilih hidup
bersahaja, semua tidak punya, yang ada hanya selembar jiwa berlumur dosa. Hanya
dengan memilih amanah terbesar ini, menjadi wasilahku untuk bahagia di sana. Sebagaimana
Firman Allah pernah kubaca:
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat,
akan Kami tambah keuntungan itu baginy, dan barang siapa yang menghendaki
keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia, dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di
akhirat.” (QS. Asy-Syura[42]: 20).
Ini jalan yang sengaja, ikhlas, dan direncanakan dipilih.
Memilih dengan penuh kesadaran dan kehangatan iman. Aku tidak akan sesali
pilihan penting ini. Sebab di ujung sana ada pintu kebahagiaan sejati. Meskipun
di mata manusia aku tidak punya apa-apa. Tidak mendapatkan apa-apa. Aku hanya
bercermin pada pejuang sebelumnya, mereka nyaris tidak memiliki apa-apa, demi
menggengam ridha Ilahi. Bahkan mereka mengorbankan semua yang dimiliki. Baik
waktu, jiwa, harta, bahkan nyawa di jalan ini. Kadang aku menangis belum mampu
setegar itu.
“Suatu hari Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dia diutus oleh Allah untuk menanyakan keadaan
Abu Bakar Radhiallahu ‘Anha., yang kala
itu berada di sebelah sang Nabi. Ia mengenakan jubah yang tak layak disebut
jubah, karena hanya sehelai kain panjang yang dibelah dua lalu ia kenakan pada
tubuh kurusnya yang menjulang. Jibril bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, mengapa pakaian itu yang dikenakan oleh Abu Bakar?. Tentu
sebuah pertanyaan retoris, karena Allah telah tahu jawabannya. Sang Nabi
menjawab hal itu dilakukan Abu Bakar karena semua hartanya telah dihabiskan
sebelum penaklukkan Mekkah. Jibril lalu berkata, “Katakan padanya, duhai
Muhammad, Rabbmu menanyakan kepadanya ‘Apakah ia ridhlo kepada-Ku dengan
kefakirannya ataukah ia marah?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meneruskan perkataan Jibril kepada Abu Bakar.
“Duhai Abu Bakar, ini Jibril membacakan salam untukmu dari Allah Ta’ala, dan
Dia berkata, ‘Apakah engkau ridlo kepadaKu dalam kefakiranmu, ataukah engkau
marah?” Abu Bakar terhenyak mendengar ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam Sambil bercucuran air mata ia menjawab, “Apakah kepada Rabbku aku
marah? Aku ridho pada Rabbku, aku ridho pada Rabbku.”(Hilyatul Auliya, juz
&, hal 105, Maktabah asy-Syamilah).
Aku malu dengan kisah ini. Perjuanganku baru dimulai. Kadang
amalku pakai pretensi, minimal ingin dapat pahala, bahkan minta surga
tertinggi. Aku terlalu pede, dengan amal secuil, lalu aku berharap surga
Firdaus. Memang jalan perjuangan ini tidak mudah. Aku harus berupaya melatih kesabaranku.
Merenungkan hidupku, bahwa keadaanku jauh lebih mulia di sisi Rabbku jika
menolong agama ini. Semua kuserahkan pada-Nya. Hal terpenting aku harus
optimalkan do’a, ikhtiar, dan daya juangku. Apapun qadha-Nya harus aku terima. Aamiin...Bismillah.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar