Follow Us @soratemplates

Jumat, 31 Juli 2020

IDUL ADHA ISTIMEWA DI TENGAH CORONA





Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillah Hilham
. Segenap rasa syukur ke hadirat Rabb Penguasa Alam. Jiwa-jiwa tabah dan berharap segenap hikmah, mencoba ridha atas ketentuan Rabb Yang Maha Penyayang. Insyaa Allah wabah ini semakin mengajarkan kita tentang urgensi suasana kondusif, aman, nyaman, tenteram, dan normal yang kadang luput kita syukuri. 

Sudah dua kali lebaran dilakukan di tengah pandemi. Pertama lebaran Idul Fitri, kedua lebaran Idul Adha ini. Tidak perlu bersedih atau berkecil hati. Semua sudah ketentuan Ilahi. Kita hanya menepati dan menjalani. Terus mengoptimalkan ikhtiar menjaga diri, keluarga, dan umat ini. Agar terhindar dari pandemi, dengan terus melalukan berbagai upaya secara manusiawi.

Perbesar rasa syukur, agar sejumput iman yang masih bertahan di tengah keadaan, makin menghunjam di hati terdalam. Sebab pandemi mengedukasi hati tentang arti kebesaran Ilahi. Kita makhluk lemah tidak berdaya, bisa tumbang seketika oleh makhluk tak kasat mata. Maka tiada daya dan upaya, melainkan kekuatan Allah Subhanahu Wata'ala.  

Idul Adha di tengah Wabah

Lebaran di tengah Corona amat istimewa. Hanya sejumput asa hendaknya makin gagah perkasa menghadapi suasana. Rasa optimis akan turunnya rahmat dan pertolongan Allah, tetap menggunung dalam jiwa. Minimal kita nihil stress atas suasana tak menentu. Ibarat berlayar belum bertemu pelabuhan. Soalnya sampai Lebaran Idul Adha 1441 H/ vaksin atasi Covid-19 belum juga ditemukan. Maka adaptasi kehidupan baru, mau tidak mau mesti dilakukan.

Idul Adha Tanpa Ibu Tercinta

Lebaran haji tahun ini. Di samping digerogoti Pandemi. Juga perbedaan signifikan di keluarga besar kami. Masih terasa suasana Idul Adha 1440 H,  tahun lalu. Ketika ibunda tercinta masih menyaksikan aku, suami, dan dua anakku pulang kampung. 

Aku masih bisa menikmati indahnya berkumpul dengan ibu dan ayah tercinta. Menghabiskan waktu lebaran, bercerita berbagai hal tentang kehidupan. Tentu saja cerita indah menjalani hari bersama anak-anak, dengan seabrek tingkah polanya. Berbagai fragmen kehidupan menambah khazanah kekayaan batin. Sesekali diselingi dengan tawa, canda dan senyum bahagia.

Kala itu,  kebersamaan, kekeluargaan, dan silaturahim masih menjadi primadona setiap jiwa. Kumpul keluarga menjadi kerinduan tiada bandingnya. Masih kuingat, hari itu ayah pulang ke rumah membawa daging qurban bersama satu kepala sapi, karena ayah tukang sembelih sapi-sapi korban. Daging itu kami masak dan dinikmati bersama. Meskipun hidup kekurangan, namun rasanya kita paling kaya sedunia. 

Waktu pun berlalu, meninggalkan kebersamaan itu. Tiga setelah bulan setelahnya, ibu berpulang ke haribaan Allah Subhanahu Wata'ala. Itulah saat terakhir kami lebaran Idul Adha bersama ibu tercinta. Rasanya baru kemarin, ternyata satu tahun berlalu tanpa terasa. 

Semenjak kepergian ibu tercinta. Semuanya berubah. Suasana indah dan kebersamaan menjadi barang langka, ibarat mencari permata dalam palung lautan paling dalam. Suasana gelap mencekam ibarat malam amat temaram. Hanya segunung do'a yang selalu kumohonkan, semoga ibu senantiasa disayangi, dilindungi, dicintai Allah Subhanahu Wata'ala, aamiin. 

Shalat Idul Adha di Tempat Unik


Mungkin sebagian orang memilih shalat Idul Adha di tempat bonafit. Di lapangan luas, tidak sempit. Tempat berkumpul orang elit dan  berduit.  Namun kami memilih di lapangan  kecil, letaknya agak di dalam,  kampungnya hijau masih asri. Kami sekeluarga (aku suami dan anak bungsuku) dan orang-orang di sana melaksanakan shalat Idul Adha di  Lapangan Volly Tepian Bayua, Balai Labuah Ateh, Batusangkar. Diperkirakan mungkin 200-an orang. Istimewanya, jorongnya kecil semangat berkorban masyarakatnya luar biasa. 21 ekor Sapi dan 10 ekor kambing. Infak dan sadaqah menjelang shalat Idul Adha, terkumpul sampai 5 jutaan. Bahkan donatur besedekah 200 bungkus sate Padang bakda shalat Idul Adha pada jamaah. Perlu diacungkan jempol semangat berkurban masyarakat di sana. Semoga Lillah dan diterima Allah Subhanahu Wata'ala, aamiin.

Sementara itu, anak sulung kami lebaran di Ponpes. Dia tidak pulang, karena libur hanya satu hari. Lagi pula, rawan jika bolak balik Bukittinggi-Batusangkar. Segunung do'a tetap kumohonkan kepada Allah Subhanahu Wata'ala, semoga anakku sehat wal'afiat, aman, nyaman, kondusif, dan terhindar dari semua gangguan penyakit, termasuk virus Corona, aamiin Ya Rabb.

Imam Shalat Idul Adha, Seorang Qori Internasional

Sebelum shalat dimulai, panitia membangkitkan ghirah jamaah shalat Idul Adha, untuk berinfak dan sedekah meneladani pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail 'Alaihi Salam. Kemudian dilanjutkan dengan mengingatkan niat, bacaan antara takbir, dan lainnya. 

Shalat dimulai jam 07.15 WIB. Rakaat pertama dan kedua rasanya sangat khusyu'. Betapa tidak, bacaan imamnya sangat menyentuh, iramanya bagus. Seandainya  semua jamaah paham arti bacaan shalat, mungkin akan lebih khusyu. Semua itu, mengingatkanku, akan pertemuan abadi dengan Sang Maha Cinta.

Bacaan imam menggugah kesadaranku. Betapa diri ini hanya sebutir debu di antara milyaran pasir dan benda-benda di jagat raya. Tiada arti dan tiada berguna, jika semua itu menjadikan hidupku sia-sia, apalagi banyak maksiatnya.

Maksiat tidak hanya melakukan kemungkaran, namun meninggalkan kewajiban, melanggar hukum syarak, sering tergoda perbuatan makhruh. Kadang tanpa sengaja tidak berhijab di depan lelaki bukan mahrom, sering ikhtilath (campur baur dengan lelaki bukan mahrom) tanpa alasan syar'i, kadang berdandan ala artis mau shoting, padahal itu termasuk tabarruj (berhias) ala kaum jahiliyah. Ya Rabb, aku hanya butiran debu. Ampuni dosaku.

Inti Idul Adha adalah Pengorbanan Hakiki


Meresapi segenap ikhtiar untuk Dien Islam ini. Aku tiada apa-apa dan belum berarti. Jiwa ini belum sepenuhnya tunduk pada aturan Ilahi Rabbi. Masih banyak alasan untuk mengerjakan ibadah secara totalitas. Masih tergoda dengan pernak-pernik duniawi. Seakan semua itu akan dibawa mati. Padahal Rasulullah bersabda.

"Apabila mati anak cucu Adam, maka terputus semua amalannya, kecuali tiga perkara: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo'akan kedua orang tuanya." 

Seharusnya aku harus berkorban demi bahagia di akhirat sana. Hidup dan rezekiku  di dunia sudah dijamin Allah Subhanahu Wata'ala. Sementara bahagia akhiratku tidak ada garansi pasti, kecuali amalan yang kupaksakan, atau tidak dari hati.  Lalu aku berharap surga tertinggi. Rasanya malu dengan pengorbanan Nabi Ibrahim 'Alaihi Salam dan Ismail 'Alaihi Salam. 

Ketermanguan diri membuat hatiku makin merintih. Umur berlalu sementara pahala sulit kuraih. Berbuat baik pada orang lain kadang terkontaminasi pamrih. Banyak tidak tulusnya, jika enggan membantu aku sering berdalih. Banyak tugas, terlalu sibuk dan berteman pilah dan pilih. Jika menguntungkan secara duniawi baru aku terima, namun jika tidak maka aku cuek tidak peduli. Ketika semua urusanku selesai, rasanya aku tidak perlu peduli. Jarang kontak, kecuali ada kepentingan diri.  Ya Rabb senaif itulah diri ini.

Tanpa terasa air mata ini membasahi kedua bola mata, tanpa bisa dibendung akhirnya jatuh di pipi.  Aku laksana debu dari milyaran makhluk di jagat raya. Aku seakan mendengar pesan Terakhir Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam ketika Haji Wada'. 

"Wahai manusia, sesungguhnya darah dan harta kalian adalah suci bagi kalian. Seperti sucinya hari ini, juga bulan ini, sampai datang masa kalian menghadap Allah Subhanahu Wata'ala. Saat itu kalian akan diminta pertanggungjawaban, atas segala perbuatan kalian."

"Ingatlah baik-baik, janganlah kalian sekali-kali kembali kepada kekafiran atau kesesatan sepeninggalku, sehingga menjadikan kalian saling berkelahi satu sama lain."

"Ingatlah baik-baik orang yang hadir pada saat ini. Menyampaikan nasehat ini kepada yang tidak hadir. Boleh jadi sebagian dari mereka mendengar dari mulut orang kedua, lebih dapat memahami dari pada orang yang mendengar secara langsung."

Pesan cinta Rasulullah pada Haji Wada' kembali teringat setiap lebaran haji. Mencoba bermuhasabah diri. Akankah darah dan sejumput harta yang kumiliki suci. Sementara aku terlibat perbuatan ribawi. Meminjam ke bank konvensional atau bank syariah demi gengsi. Suami di kantor menyepelekan waktu, datang terlambat, pulang cepat, istirahat sebelum waktu istirahat, tidak ke kantor lagi setelah istirahat siang. Apakah pantas harta kami suci, jika uslubnya menyalahi aturan dan ketentuan Ilahi. 

Belum lagi, sikapku menganggap remeh orang lain.  Seakan aku yang lebih hebat, pintar, dan berhasil.  Kadang aku cueks, tidak peduli, disapa pun kadang aku tidak menyahuti. Beranggapan orang lain tidak selevel dengan harga diriku yang terlalu tinggi. Padahal aku tahu Ya Rabb..."Tidak ada yang mulia di sisi-Mu, kecuali orang-orang yang bertaqwa." Ya Rabb ampuni kesombonganku. Aku tahu sombong itu selendangmu. Tidak pantas dipakai oleh manusia. 

Lalu aku teringat dengan kisah Nabi Ibrahim 'Alaihi Salam dan Ismail 'Alaihi Salam. Kisah nyata mereka menjadi simbol pengorbanan hakiki. Sang Ayah dengan sepenuh keimanan kepada Allah Subhanahu Wata'ala, mampu dan tidak tergoda bujuk rayu syaitan lakhnatullah mengorbankan buah hati, belaian jiwa demi Allah semata.

Allah Subhanahu Wata'ala tidak meminta seperti beratnya pengorbanan Ibrahim dan Ismail 'Alaihi Salam. Sebagai manusia akhir zaman, aku hanya dituntut untuk menyembelih ambisi-ambisi dunia demi taat kepada Allah. Belajar untuk mengorbankan waktu, berlatih ikhlas dan sabar menanggung segala beban berat dan siap dengan reziko, bahkan mengorbankan apa saja, demi mencintai Allah Subhanahu Wata'ala. 

Momentum lebaran haji, ibadah haji, perjalanan kisah sejati Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail 'Alaihi Salam benar-benar  menginspirasi, tentang pengorbanan hakiki, demi meraih cinta Ilahi. Cinta pada Allah perlu bukti, bukan kata manis di bibir saja, kemudian kering bersama angin lalu. Jika begitu cintaku palsu. Manusia saja enggan menerima cinta palsu, apalagi Rabb Penguasa Alam Semesta.  

Segudang Hikmah Kutbah Idul Adha 

Khutbah khatib Idul Adha kali ini sangat istimewa. Tidak mengulang kisah Nabi Ibrahim dan Ismail 'Alaihi Salam. Mungkin Khatib beranggapan jamaah sudah hafal kisahnya, meskipun belum meresapi dan mengamalkan isinya. Namun khatib membahas fakta-fakta menyedihkan  di zaman ini. 

Fakta pertama

Fenomena menyedihkan di zaman ini, ada lelaki muslim, ber katepe Islam, namun tidak pernah datang ke masjid. Enggan ke masjid, meskipun pada hari  raya Idul Fitri atau Idul Adha. Dia ke masjid ketika sudah meninggal dunia, itupun jika dishalatkan di masjid. Jika tidak, maka seumur hidup dia tidak pernah ke masjid. 

Fenomena Kedua

Seorang muslimah (perempuan Islam) tidak pernah dan malas memakai hijab sampai meninggal. Ketika meninggal dikafani, itulah pertama dan terakhir kali dia memakai hijab. Mungkin dia beranggapan memakai hijab itu tidak wajib. Definisi wajib menurut hukum syarak adalah jika dikerjakan berpahala, jika ditinggalkan berdosa. Maka berdosalah muslimah itu sepanjang hidupnya, karena tidak berhijab. Belum lagi dosa lain. 

Fenomena Ketiga

Seorang muslim atau muslimah jarang atau tidak pernah bersedekah seumur hidup. Kawatir jika bersedekah hartanya habis, minimal berkurang. Padahal menurut Islam harta jika disedekahkan akan bertambah, jika pelit kuburannya sempit. 

Fenomena Keempat

Ada muslim atau muslimah shalat terlambat, tidak menyesal ketinggalan shalat. Mendengar suara azan hatinya dongkol "Kog azan lagi, azan lagi, tanggung nih." Sebenarnya tanpa sadar dia sedang merejec Allah Subhanahu Wata'ala dalam hatinya. 
Aku juga merenung kita sering terburu-buru melakukan pekerjaan dunia. Takut terlambat datang ke kantor. Takut telat masuk kelas belajar. Kita segera ke bandara, takut ketinggalan pesawat. Segera ke stasiun kereta api, takut ketinggalan kereta. 

Sementara kita masih lalai mengerjakan shalat. Jarang menjawab panggilan azan. Padahal panggilan ibadah paling mesra di seluruh dunia adalah suara azan. Bagusnya kita sahuti meskipun dalam hati, minimal diam ketika dengar suara azan.

Masih ada di antara kita lalai dalam shalat. Mungkin kita berasumsi tidak mengapa meninggalkan shalat. Tidak masalah sekehendak hati mengerjakan shalat, ketika mood shalat, ketika tidak mood tidak shalat. Urusan paling penting di dunia itu menyembah atau beribadah kepada Allah, salah satunya adalah Shalat. Jika urusan paling penting saja kita remehkan, lalu apa yang lebih penting dalam hidup kita?. Cari uang, kuliah, gelar, Entahlah...

Waktu adalah Ibadah


Saya tidak menggunakan motto "Times is money" tapi waktu adalah ibadah. Setiap detik waktu kita adalah perjalanan menuju pintu kematian. Jangan terkecoh dengan usia muda, sebab meninggal tidak tergantung tua. Jangan tertipu dengan sehat, sebab wafat tidak tergantung sakit. Isilah setiap detik waktu kita dengan ibadah. Jika tidak kita akan jadi orang merugi. Merugi .mungkin tidak nampak jelas di dunia. Namun nanti di akhirat kita kurang bekal memasuki surga Allah. 

Lalu siapakah orang yang tidak merugi? Adalah orang yang meletakkan iman di dadanya, beribadah dengan semua anggota tubuhnya, dan berpikir terus untuk shalih/shalihah dan menshalihkan orang lain. 

Idul Adha di tengah Pandemi. Membuat aku dan kita makin teruji. Apakah kita siap berkorban dalam makna hakiki, atas sekadar menghiasi hari, dengan perbuatan tidak berarti. Kembali kepada Allah itu pasti. Namun sudah sudah siapkah aku untuk kembali? Tidak sekadar siap, namun kembali dalam kondisi Husnul khatimah. 

Aku terus merenungkan, Allah terus menguji atau memberi cobaan dengan wabah Corona. Pola kehidupan kita berubah, rencana banyak diganti. Semoga semua ini jadi pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa kita butuh Sang Pencipta. Di sinilah letak Idul Adha Istimewa di tengah Corona.

Wallahu A'lam Bisshawab.
Salam ukhuwah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar