Pikiran sedang menghibur diri. Sering kita dengar" ini hanya caraku untuk menghibur diri." Ketika luka di hati berdarah. Mengenang di ruang batin. Pikiran kadang berdusta pada perasaan. Menghadirkan alasan-alasan, kelihatannya masuk akal. Namun sebenarnya tidak realistis.
Aku sendiri juga seperti itu. Banyak kejadian, perlakuan orang lain, membuatku sedih. Hingga membuatku berhenti. Tak mau melangkah. Tak mau pulang. Tanya itu, selalu berputar dari itu ke itu saja. Aku terus bertanya apa yang salah pada diriku? Ada apa denganku? Kenapa tak ada yang menyukaiku. Mengapa mereka begitu tega padaku. Aku sama dengan mereka, aku ingin didengar. Aku juga ingin berbagi tentang keluh kesahku.
Saat aku berbicara semua salah. Orang-orang tidak suka. Kadang mereka memotong pembicaraanku. Pura-pura tak mendengar. Menutup telinganya rapat-rapat. Aku merasa sangat hina, tak berharga, tak berarti, tak diharapkan. Bahkan ketika aku jauh, tak satupun sudi menghubungiku. Kecuali orang-orang terdekat.
Anehnya. Ketika ditanya. Mereka bilang tidak apa-apa. Mungkin bagi mereka tidak apa-apa. Namun bagiku sangat bermasalah. Ada juga yang berkata, "Aku tidak peka, aku tidak peduli aku cuek. Atau alasan apapun namanya. Bagiku hanya alasan yang sengaja dibuat, agar mereka menjauh. Kata mereka aku egois. Padahal aku sudah mengalah, berkali-kali. Namun mereka tak tau, atau tak mau tau.
Aku terus bertanya dimana salahku, apa yang harus kulakukan agar aku bisa diterima. Meniru-niru orang lain. Melelahkan, karena itu bukan aku.
Aku terus mencari. Bertanya. Dimana tempat aku bisa diterima? Selain oleh kedua orangtuaku. Tak ada. Tak pernah benar-benar ada. Aku akan selalu sendiri. Tak ada yang mengerti.
Pada satu titik aku menyerah. Di saat mereka mulai menunjuk-nunjuk wajahku. Melempar segala kesalahan itu padaku. Pada saat itu aku mengerti, kesalahan itu bukan pada mereka, tapi pada diriku.Mungkin beberapa cara dapat kulakukan, minimal menenangkan diriku sendiri:
Latihan di Depan Cermin
Meskipun semua orang mengatakan dan salah, namun tidak mau menunjuki apa salahku. Aku hanya divonis bersalah. Bagi mereka semua yang kulakukan salah, bahkan cara melihatku saja salah. Aku ingin membela diri, namun aku tidak cukup kuat. Aku coba berkali-kali latihan di depan cermin. Belajar bagaimana caranya melihat. Belajar bagaimana cara mendengar. Bahkan belajar untuk membunuh kemampuan asertifku. Suatu prinsip yang diajarkan nenekku "Jangan pernah mengaku salah, jika kamu tidak bersalah, justru pengakuan salah, atas sesuatu yang tidak kamu lakukan, berarti kamu merendahkan amanah Rabb untuk membela kebenaran."
Berbagai kesalahan terus di lempar padaku. Sementara mereka semua mencuci tangan, seolah manusia paling suci dibandingkan malaikat. Apakah keinginan mereka menjadikan aku kecil, secuil dan hampir menghilang. Aku mungkin dikira orang parno (paranoid). Takut keramaian. Takut pada orang-orang. Dan kurasa aku mengidap rasa enggan untuk bergabung di keramaian, lebih menikmati kesendirian. Kesendirian mengajarkanku banyak hal, terutama arti Kebersamaan bersama Rabbku Yang Maha Penyayang.
Berdiri dan Menatap Cahaya
Jika aku terus disibukkan oleh rasa bersalah, atas ketidakbersalahan. Akan menguras habis energiku. Lebih baik aku bangkit, berdiri, berjalan, jika perlu berlari menatap cahaya. Tidak perlu berlama-lama menatap wajah-wajah ramah namun menyimpan sejuta kebencian. Mendingan manfaatkan waktu tuk hijrah, dan berbenah. Masih ada di ujung sana para sahabat shalihah, membentangkan tangan dalam ukhuwah dan dekapan dakwah. Mencintai karena iman semata, demi berharap pertemuan abadi selayak sahabat di surga nanti.
Belajar Tersenyum
Aku tidak perlu sibuk menjelaskan apa dan bagaimana diriku pada mereka. Sebab mereka tidak perlu dan tidak peduli penjelasaanku. Peduli apa mereka tentang aku, sekian lama kepergianku, lalu siapa yang bertanya hanya adik, kakak, ayah ibu, dan saudara senasib dan saudara seaqidah. Bukan munafik, namun aku selalu belajar tersenyum di tengah kepedihan. Kuusahakan sunggingan senyumku karena Rabb semata. Bukankah Dia menyukai diam dalam kesabaran dan selalu tersenyum menghadapi saudara seaqidah. Alasan aqidah ini yang membuatku selalu berbuat baik.
Bagaimana pun, penilaian orang tidak bisa dipaksakan. Bagaimanapun baiknya orang setelah hijrah, yang jadi pegangan adalah diri kita di masa lalu. Aku tidak perlu pengakuan atas perubahan dan hijrah hatiku. Sebab urusan dienku terlalu besar dari pada membujuk sekeping luka yang berdarah. Umat butuh pencerahan atas idealan kondisi. Jika aku berkutat dengan segelintir orang, maka akan menghalangi untuk berbuat baik pada banyak orang.
Fokus Pada Orang-orang yang Mencintai Kita
Aku akan membuang tenaga jika aku berteriak. Mengatakan pada dunia, bahwa aku tak bersalah. Mengungkapkan seluruh rasa sakitku. Cukuplah Allah Subhanahu Wata'ala yang Maha Tahu sikon hatiku. Dia Maha Melihat, Maha Mengetahui, dan Maha Memberi Pembalasan. Aku serahkan semu urusan padanya. Aku tidak dihisab atas penderitaan batinku, namun aku akan dihisab atas sikap dan tanggapanku pada mereka. Satu yang pasti, aku lebih bahagia dan lebih produktif berpihak pada orang yang mencintaiku, menghargaiku, dan peduli padaku.Hal itu lebih produktif dan kreatif.
Meski aku terluka. Luka yang tak bisa disembuhkan. Aku tidak mau fokus pada luka itu, dan tidak mau tahu dengan mereka yang membuatku terluka. Aku konsentrasi menerima cinta dan kepedulian kedua orangtua, suamiku, anak-anakku, adikku, kakakku, dan sahabat taatmu dalam hijrah. Bagi mereka aku segalanya. Berkat mereka aku memutuskan mencintai diriku.
Ya, hanya cinta yang bisa menyembuhkan luka. Kau tak bisa memaksa orang-orang memahami dirimu. Karena yang cinta ga butuh alasan dan yang benci ga akan peduli.
Maka kuputuskan melawan keinginan itu. Bertahan dengan apapun pendapat mereka. Mendengarnya. Menikmatinya. Menerimanya. Aku akan mengunyah rasa pahit itu, untuk kutelan jadi obat.
Selalu Memaafkan
Aku tak kuasa mengubah pendapat orang atau mereka tentangku. Tapi aku bisa mengubah diriku seperti apa menyikapi mereka. Aku tidak perlu ousing, perilaku dzalim apalagi yang akan mereka lakukan padaku. Aku hanya bisa ikhtiarkan bahwa kupastikan bahwa ruang hatiku selalu terbuka untuk memaafkan.
Karena ku tau, setiap manusia punya masalahnya. Stres yang menimpa diri. Bullying oleh teman-teman. Kegagalan. Diabaikan dan ditinggalkan. Di dunia ini, bukan hanya aku satu-satunya yang terluka. Jadi, aku tak perlu merasa heboh paling terluka.
Mereka yang melukai, bisa jadi karena terluka. Bisa saja itu cara mereka mengekpresikan hidupnya. Jika dipikir-pikir siapa yang tidak stres dengan sistem rusak ini?
Beri Penghargaan untuk Diri Sendiri
Namun saat seseorang itu memilih untuk bangkit. Tidak lari dari masalah. Berani bertanggungjawab. Tak ada masalah kecuali membuat dia lebih dewasa.
Aku belajar mencintai diriku. "Memberi penghargaan untuk dirimu sendiri. Sudah lah orang-orang menjatuhkanmu, kenapa kau tambah jatuhkan lagi?" Bisik batinku.
Percayalah bahwa kau tidak pernah sendiri. Bahkan di saat kau benar-benar sendiri, di sanalah waktu terbaik itu. Ada Allah yang akan selalu mendengar kesahmu.
Islam itu berarti menerima, ikhlas dan ridho. Menerima qadha dan qadarnya dengan lapang dada. Apapun itu, Allah tak pernah menzalimi hamba-Nya. Hanya dengan begitu kau bisa menikmati hidup, dan menikmati indahnya kasih sayang-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar