Follow Us @soratemplates

Selasa, 02 September 2025

MEMAKNAI RASA SAKIT

Selasa, September 02, 2025 0 Comments

Ada kalanya hidup menumpahkan kekecewaan, bagai kaca yang jatuh berderai, berkeping-keping di lantai kesepian. Pecahannya berhamburan, menancap di sudut-sudut ruang gelap jiwa. Saat itu, rasa sakit datang seperti tamu tak diundang, menorehkan luka di sanubari, melemparkan asa ke padang gersang, dan mengusir optimismu yang sulit sekali dicari kembali.

Namun, jangan tergesa menilai pecahan itu sebagai bencana. Sebab di balik serpihannya tersimpan mutiara yang berkilau, menunggu dirangkai menjadi makna. Dari retakan itulah cahaya menembus masuk ke relung hati, membimbing perjalanan menuju cinta Ilahi. Setiap cahaya yang muncul adalah tanda, bahwa kefanaan harus pecah agar rahasia Ilahi berani menyingkapkan diri.

Kekecewaan bukan musibah semata, melainkan undangan suci. Ia mengajakmu menundukkan pandangan dari fatamorgana dunia, menundukkan ego yang selama ini berkuasa, lalu mengantarkanmu menatap Cahaya yang tak pernah pudar. Cahaya itu abadi, tidak terpenjara ruang dan waktu, dan hanya dengan Nur itu seorang hamba bisa merasakan keabadian ukhrawi.

Namun sayang, nurani yang buta sering gagal membaca pesan indah dari kekecewaan. Banyak yang menilainya musibah, padahal ia adalah hadiah tersembunyi. Allah menitipkan kecewa untuk menghancurkan keterikatan pada semu, agar jalan menuju hakikat kembali terbuka. Meski pahit saat ditelan, ia menyembuhkan hati dengan izin Sang Pemilik Keadaan.

Demikian pula ketika manusia meremehkanmu. Mereka menilai kecil, remeh, tak berarti. Mereka bahkan menganggapmu tak layak dipandang. Tetapi sesungguhnya di sanalah kebebasanmu dimulai, sebab rantai penghambaan kepada makhluk sedang dipatahkan oleh tangan-Nya.

Apa gunanya dipandang mulia oleh dunia, bila hatimu masih terikat pada riuhnya sanjungan? Diremehkan adalah obat pahit yang menyembuhkan. Ia melepaskanmu dari penjara penilaian manusia, dan mengembalikanmu pada ikrar sejati: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.”

Maka saat kau diremehkan, jadikan ia momentum syukur. Sebab di saat dunia merendahkanmu, Allah sedang meninggikanmu di sisi-Nya. Hinaan manusia hanyalah debu, tetapi di langit ia menjelma mahkota yang bercahaya. Bukankah para Nabi juga dihina, direndahkan, diusir, bahkan dianggap gila? Namun semua itu adalah tanda pengangkatan derajat mereka di hadapan Pencipta.

Ada pula saat ditinggalkan. Rasanya begitu perih, seakan jantung diremukkan oleh sepi, darah berhenti mengalir, langkah menjadi sempoyongan. Namun renungkanlah: setiap rasa sakit yang datang bukanlah musuh. Ia hadir karena engkau sendiri memberi izin untuk menguasai hati. Padahal ditinggalkan hanyalah ruang kosong yang disiapkan Sang Kekasih, agar engkau sadar bahwa Dialah yang tak pernah pergi.

Ingatlah, mereka yang meninggalkanmu hanyalah perahu rapuh yang memang harus karam. Sebab bila engkau terus bergantung padanya, engkau tak akan pernah berenang ke samudera Ilahi. Ditinggalkan manusia adalah undangan lembut untuk menemukan Allah kembali.

Kadang kesepian yang lahir dari perpisahan justru adalah khalwat yang agung. Kesendirian itu bukan kegelapan, melainkan cahaya. Dalam sunyi, engkau bersanding dengan dirimu sendiri, menakar kesiapan menghadap Ilahi. Bila engkau terus terjebak dalam keramaian, bisa jadi jalan pulang semakin terlupa, dan lehermu dicekik perlahan oleh manisnya tipu daya dunia.

Maka janganlah bersedih saat mereka pergi. Jangan ratapi langkah yang menjauh. Sebab yang hilang hanyalah bayangan semu. Yang sejati tetap ada: Dia, yang selalu menunggu tangismu di sepertiga malam, memanggil dengan mesra, “Wahai hamba-Ku, Aku merindukanmu.”

Dan ketika penghinaan menimpa, biarkanlah. Jangan melawan dengan amarah, sebab penghinaan bukanlah racun. Ia adalah pisau cahaya yang lembut, mengupas lapisan ego yang membungkus jiwa. Ego yang sombong adalah dinding besar yang menghalangi perjumpaan dengan-Nya. Maka pisau penghinaan itu bekerja, mengiris halus, membuka jalan, hingga yang palsu luruh, dan yang tersisa hanyalah Dia.

Begitulah rahasia Ilahi: kekecewaan, hinaan, kesepian, dan kerendahan, semuanya bukan musibah. Mereka adalah sahabat yang menyamar, wajah keras kehidupan yang membawa pesan lembut dari Kekasih Sejati.

Siapa yang mampu membaca pesan itu, ia akan menemukan keindahan di balik luka. Ia akan tahu bahwa setiap retakan adalah cermin, setiap kehilangan adalah jalan pulang, setiap penghinaan adalah pembersihan, dan setiap kekecewaan adalah pintu menuju Allah.

Maka jangan takut pada luka. Jangan gentar pada kehinaan. Jangan berlari dari sepi. Sebab semua itu hanyalah jalan yang menuntunmu pulang, pulang kepada Dia, satu-satunya yang abadi, satu-satunya yang layak dicintai, satu-satunya tempatmu kembali.