Follow Us @soratemplates

Jumat, 31 Juli 2020

IDUL ADHA ISTIMEWA DI TENGAH CORONA

Jumat, Juli 31, 2020 0 Comments




Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillah Hilham
. Segenap rasa syukur ke hadirat Rabb Penguasa Alam. Jiwa-jiwa tabah dan berharap segenap hikmah, mencoba ridha atas ketentuan Rabb Yang Maha Penyayang. Insyaa Allah wabah ini semakin mengajarkan kita tentang urgensi suasana kondusif, aman, nyaman, tenteram, dan normal yang kadang luput kita syukuri. 

Sudah dua kali lebaran dilakukan di tengah pandemi. Pertama lebaran Idul Fitri, kedua lebaran Idul Adha ini. Tidak perlu bersedih atau berkecil hati. Semua sudah ketentuan Ilahi. Kita hanya menepati dan menjalani. Terus mengoptimalkan ikhtiar menjaga diri, keluarga, dan umat ini. Agar terhindar dari pandemi, dengan terus melalukan berbagai upaya secara manusiawi.

Perbesar rasa syukur, agar sejumput iman yang masih bertahan di tengah keadaan, makin menghunjam di hati terdalam. Sebab pandemi mengedukasi hati tentang arti kebesaran Ilahi. Kita makhluk lemah tidak berdaya, bisa tumbang seketika oleh makhluk tak kasat mata. Maka tiada daya dan upaya, melainkan kekuatan Allah Subhanahu Wata'ala.  

Idul Adha di tengah Wabah

Lebaran di tengah Corona amat istimewa. Hanya sejumput asa hendaknya makin gagah perkasa menghadapi suasana. Rasa optimis akan turunnya rahmat dan pertolongan Allah, tetap menggunung dalam jiwa. Minimal kita nihil stress atas suasana tak menentu. Ibarat berlayar belum bertemu pelabuhan. Soalnya sampai Lebaran Idul Adha 1441 H/ vaksin atasi Covid-19 belum juga ditemukan. Maka adaptasi kehidupan baru, mau tidak mau mesti dilakukan.

Idul Adha Tanpa Ibu Tercinta

Lebaran haji tahun ini. Di samping digerogoti Pandemi. Juga perbedaan signifikan di keluarga besar kami. Masih terasa suasana Idul Adha 1440 H,  tahun lalu. Ketika ibunda tercinta masih menyaksikan aku, suami, dan dua anakku pulang kampung. 

Aku masih bisa menikmati indahnya berkumpul dengan ibu dan ayah tercinta. Menghabiskan waktu lebaran, bercerita berbagai hal tentang kehidupan. Tentu saja cerita indah menjalani hari bersama anak-anak, dengan seabrek tingkah polanya. Berbagai fragmen kehidupan menambah khazanah kekayaan batin. Sesekali diselingi dengan tawa, canda dan senyum bahagia.

Kala itu,  kebersamaan, kekeluargaan, dan silaturahim masih menjadi primadona setiap jiwa. Kumpul keluarga menjadi kerinduan tiada bandingnya. Masih kuingat, hari itu ayah pulang ke rumah membawa daging qurban bersama satu kepala sapi, karena ayah tukang sembelih sapi-sapi korban. Daging itu kami masak dan dinikmati bersama. Meskipun hidup kekurangan, namun rasanya kita paling kaya sedunia. 

Waktu pun berlalu, meninggalkan kebersamaan itu. Tiga setelah bulan setelahnya, ibu berpulang ke haribaan Allah Subhanahu Wata'ala. Itulah saat terakhir kami lebaran Idul Adha bersama ibu tercinta. Rasanya baru kemarin, ternyata satu tahun berlalu tanpa terasa. 

Semenjak kepergian ibu tercinta. Semuanya berubah. Suasana indah dan kebersamaan menjadi barang langka, ibarat mencari permata dalam palung lautan paling dalam. Suasana gelap mencekam ibarat malam amat temaram. Hanya segunung do'a yang selalu kumohonkan, semoga ibu senantiasa disayangi, dilindungi, dicintai Allah Subhanahu Wata'ala, aamiin. 

Shalat Idul Adha di Tempat Unik


Mungkin sebagian orang memilih shalat Idul Adha di tempat bonafit. Di lapangan luas, tidak sempit. Tempat berkumpul orang elit dan  berduit.  Namun kami memilih di lapangan  kecil, letaknya agak di dalam,  kampungnya hijau masih asri. Kami sekeluarga (aku suami dan anak bungsuku) dan orang-orang di sana melaksanakan shalat Idul Adha di  Lapangan Volly Tepian Bayua, Balai Labuah Ateh, Batusangkar. Diperkirakan mungkin 200-an orang. Istimewanya, jorongnya kecil semangat berkorban masyarakatnya luar biasa. 21 ekor Sapi dan 10 ekor kambing. Infak dan sadaqah menjelang shalat Idul Adha, terkumpul sampai 5 jutaan. Bahkan donatur besedekah 200 bungkus sate Padang bakda shalat Idul Adha pada jamaah. Perlu diacungkan jempol semangat berkurban masyarakat di sana. Semoga Lillah dan diterima Allah Subhanahu Wata'ala, aamiin.

Sementara itu, anak sulung kami lebaran di Ponpes. Dia tidak pulang, karena libur hanya satu hari. Lagi pula, rawan jika bolak balik Bukittinggi-Batusangkar. Segunung do'a tetap kumohonkan kepada Allah Subhanahu Wata'ala, semoga anakku sehat wal'afiat, aman, nyaman, kondusif, dan terhindar dari semua gangguan penyakit, termasuk virus Corona, aamiin Ya Rabb.

Imam Shalat Idul Adha, Seorang Qori Internasional

Sebelum shalat dimulai, panitia membangkitkan ghirah jamaah shalat Idul Adha, untuk berinfak dan sedekah meneladani pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail 'Alaihi Salam. Kemudian dilanjutkan dengan mengingatkan niat, bacaan antara takbir, dan lainnya. 

Shalat dimulai jam 07.15 WIB. Rakaat pertama dan kedua rasanya sangat khusyu'. Betapa tidak, bacaan imamnya sangat menyentuh, iramanya bagus. Seandainya  semua jamaah paham arti bacaan shalat, mungkin akan lebih khusyu. Semua itu, mengingatkanku, akan pertemuan abadi dengan Sang Maha Cinta.

Bacaan imam menggugah kesadaranku. Betapa diri ini hanya sebutir debu di antara milyaran pasir dan benda-benda di jagat raya. Tiada arti dan tiada berguna, jika semua itu menjadikan hidupku sia-sia, apalagi banyak maksiatnya.

Maksiat tidak hanya melakukan kemungkaran, namun meninggalkan kewajiban, melanggar hukum syarak, sering tergoda perbuatan makhruh. Kadang tanpa sengaja tidak berhijab di depan lelaki bukan mahrom, sering ikhtilath (campur baur dengan lelaki bukan mahrom) tanpa alasan syar'i, kadang berdandan ala artis mau shoting, padahal itu termasuk tabarruj (berhias) ala kaum jahiliyah. Ya Rabb, aku hanya butiran debu. Ampuni dosaku.

Inti Idul Adha adalah Pengorbanan Hakiki


Meresapi segenap ikhtiar untuk Dien Islam ini. Aku tiada apa-apa dan belum berarti. Jiwa ini belum sepenuhnya tunduk pada aturan Ilahi Rabbi. Masih banyak alasan untuk mengerjakan ibadah secara totalitas. Masih tergoda dengan pernak-pernik duniawi. Seakan semua itu akan dibawa mati. Padahal Rasulullah bersabda.

"Apabila mati anak cucu Adam, maka terputus semua amalannya, kecuali tiga perkara: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo'akan kedua orang tuanya." 

Seharusnya aku harus berkorban demi bahagia di akhirat sana. Hidup dan rezekiku  di dunia sudah dijamin Allah Subhanahu Wata'ala. Sementara bahagia akhiratku tidak ada garansi pasti, kecuali amalan yang kupaksakan, atau tidak dari hati.  Lalu aku berharap surga tertinggi. Rasanya malu dengan pengorbanan Nabi Ibrahim 'Alaihi Salam dan Ismail 'Alaihi Salam. 

Ketermanguan diri membuat hatiku makin merintih. Umur berlalu sementara pahala sulit kuraih. Berbuat baik pada orang lain kadang terkontaminasi pamrih. Banyak tidak tulusnya, jika enggan membantu aku sering berdalih. Banyak tugas, terlalu sibuk dan berteman pilah dan pilih. Jika menguntungkan secara duniawi baru aku terima, namun jika tidak maka aku cuek tidak peduli. Ketika semua urusanku selesai, rasanya aku tidak perlu peduli. Jarang kontak, kecuali ada kepentingan diri.  Ya Rabb senaif itulah diri ini.

Tanpa terasa air mata ini membasahi kedua bola mata, tanpa bisa dibendung akhirnya jatuh di pipi.  Aku laksana debu dari milyaran makhluk di jagat raya. Aku seakan mendengar pesan Terakhir Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam ketika Haji Wada'. 

"Wahai manusia, sesungguhnya darah dan harta kalian adalah suci bagi kalian. Seperti sucinya hari ini, juga bulan ini, sampai datang masa kalian menghadap Allah Subhanahu Wata'ala. Saat itu kalian akan diminta pertanggungjawaban, atas segala perbuatan kalian."

"Ingatlah baik-baik, janganlah kalian sekali-kali kembali kepada kekafiran atau kesesatan sepeninggalku, sehingga menjadikan kalian saling berkelahi satu sama lain."

"Ingatlah baik-baik orang yang hadir pada saat ini. Menyampaikan nasehat ini kepada yang tidak hadir. Boleh jadi sebagian dari mereka mendengar dari mulut orang kedua, lebih dapat memahami dari pada orang yang mendengar secara langsung."

Pesan cinta Rasulullah pada Haji Wada' kembali teringat setiap lebaran haji. Mencoba bermuhasabah diri. Akankah darah dan sejumput harta yang kumiliki suci. Sementara aku terlibat perbuatan ribawi. Meminjam ke bank konvensional atau bank syariah demi gengsi. Suami di kantor menyepelekan waktu, datang terlambat, pulang cepat, istirahat sebelum waktu istirahat, tidak ke kantor lagi setelah istirahat siang. Apakah pantas harta kami suci, jika uslubnya menyalahi aturan dan ketentuan Ilahi. 

Belum lagi, sikapku menganggap remeh orang lain.  Seakan aku yang lebih hebat, pintar, dan berhasil.  Kadang aku cueks, tidak peduli, disapa pun kadang aku tidak menyahuti. Beranggapan orang lain tidak selevel dengan harga diriku yang terlalu tinggi. Padahal aku tahu Ya Rabb..."Tidak ada yang mulia di sisi-Mu, kecuali orang-orang yang bertaqwa." Ya Rabb ampuni kesombonganku. Aku tahu sombong itu selendangmu. Tidak pantas dipakai oleh manusia. 

Lalu aku teringat dengan kisah Nabi Ibrahim 'Alaihi Salam dan Ismail 'Alaihi Salam. Kisah nyata mereka menjadi simbol pengorbanan hakiki. Sang Ayah dengan sepenuh keimanan kepada Allah Subhanahu Wata'ala, mampu dan tidak tergoda bujuk rayu syaitan lakhnatullah mengorbankan buah hati, belaian jiwa demi Allah semata.

Allah Subhanahu Wata'ala tidak meminta seperti beratnya pengorbanan Ibrahim dan Ismail 'Alaihi Salam. Sebagai manusia akhir zaman, aku hanya dituntut untuk menyembelih ambisi-ambisi dunia demi taat kepada Allah. Belajar untuk mengorbankan waktu, berlatih ikhlas dan sabar menanggung segala beban berat dan siap dengan reziko, bahkan mengorbankan apa saja, demi mencintai Allah Subhanahu Wata'ala. 

Momentum lebaran haji, ibadah haji, perjalanan kisah sejati Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail 'Alaihi Salam benar-benar  menginspirasi, tentang pengorbanan hakiki, demi meraih cinta Ilahi. Cinta pada Allah perlu bukti, bukan kata manis di bibir saja, kemudian kering bersama angin lalu. Jika begitu cintaku palsu. Manusia saja enggan menerima cinta palsu, apalagi Rabb Penguasa Alam Semesta.  

Segudang Hikmah Kutbah Idul Adha 

Khutbah khatib Idul Adha kali ini sangat istimewa. Tidak mengulang kisah Nabi Ibrahim dan Ismail 'Alaihi Salam. Mungkin Khatib beranggapan jamaah sudah hafal kisahnya, meskipun belum meresapi dan mengamalkan isinya. Namun khatib membahas fakta-fakta menyedihkan  di zaman ini. 

Fakta pertama

Fenomena menyedihkan di zaman ini, ada lelaki muslim, ber katepe Islam, namun tidak pernah datang ke masjid. Enggan ke masjid, meskipun pada hari  raya Idul Fitri atau Idul Adha. Dia ke masjid ketika sudah meninggal dunia, itupun jika dishalatkan di masjid. Jika tidak, maka seumur hidup dia tidak pernah ke masjid. 

Fenomena Kedua

Seorang muslimah (perempuan Islam) tidak pernah dan malas memakai hijab sampai meninggal. Ketika meninggal dikafani, itulah pertama dan terakhir kali dia memakai hijab. Mungkin dia beranggapan memakai hijab itu tidak wajib. Definisi wajib menurut hukum syarak adalah jika dikerjakan berpahala, jika ditinggalkan berdosa. Maka berdosalah muslimah itu sepanjang hidupnya, karena tidak berhijab. Belum lagi dosa lain. 

Fenomena Ketiga

Seorang muslim atau muslimah jarang atau tidak pernah bersedekah seumur hidup. Kawatir jika bersedekah hartanya habis, minimal berkurang. Padahal menurut Islam harta jika disedekahkan akan bertambah, jika pelit kuburannya sempit. 

Fenomena Keempat

Ada muslim atau muslimah shalat terlambat, tidak menyesal ketinggalan shalat. Mendengar suara azan hatinya dongkol "Kog azan lagi, azan lagi, tanggung nih." Sebenarnya tanpa sadar dia sedang merejec Allah Subhanahu Wata'ala dalam hatinya. 
Aku juga merenung kita sering terburu-buru melakukan pekerjaan dunia. Takut terlambat datang ke kantor. Takut telat masuk kelas belajar. Kita segera ke bandara, takut ketinggalan pesawat. Segera ke stasiun kereta api, takut ketinggalan kereta. 

Sementara kita masih lalai mengerjakan shalat. Jarang menjawab panggilan azan. Padahal panggilan ibadah paling mesra di seluruh dunia adalah suara azan. Bagusnya kita sahuti meskipun dalam hati, minimal diam ketika dengar suara azan.

Masih ada di antara kita lalai dalam shalat. Mungkin kita berasumsi tidak mengapa meninggalkan shalat. Tidak masalah sekehendak hati mengerjakan shalat, ketika mood shalat, ketika tidak mood tidak shalat. Urusan paling penting di dunia itu menyembah atau beribadah kepada Allah, salah satunya adalah Shalat. Jika urusan paling penting saja kita remehkan, lalu apa yang lebih penting dalam hidup kita?. Cari uang, kuliah, gelar, Entahlah...

Waktu adalah Ibadah


Saya tidak menggunakan motto "Times is money" tapi waktu adalah ibadah. Setiap detik waktu kita adalah perjalanan menuju pintu kematian. Jangan terkecoh dengan usia muda, sebab meninggal tidak tergantung tua. Jangan tertipu dengan sehat, sebab wafat tidak tergantung sakit. Isilah setiap detik waktu kita dengan ibadah. Jika tidak kita akan jadi orang merugi. Merugi .mungkin tidak nampak jelas di dunia. Namun nanti di akhirat kita kurang bekal memasuki surga Allah. 

Lalu siapakah orang yang tidak merugi? Adalah orang yang meletakkan iman di dadanya, beribadah dengan semua anggota tubuhnya, dan berpikir terus untuk shalih/shalihah dan menshalihkan orang lain. 

Idul Adha di tengah Pandemi. Membuat aku dan kita makin teruji. Apakah kita siap berkorban dalam makna hakiki, atas sekadar menghiasi hari, dengan perbuatan tidak berarti. Kembali kepada Allah itu pasti. Namun sudah sudah siapkah aku untuk kembali? Tidak sekadar siap, namun kembali dalam kondisi Husnul khatimah. 

Aku terus merenungkan, Allah terus menguji atau memberi cobaan dengan wabah Corona. Pola kehidupan kita berubah, rencana banyak diganti. Semoga semua ini jadi pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa kita butuh Sang Pencipta. Di sinilah letak Idul Adha Istimewa di tengah Corona.

Wallahu A'lam Bisshawab.
Salam ukhuwah



Kamis, 30 Juli 2020

MENCINTAI DIRI SENDIRI

Kamis, Juli 30, 2020 0 Comments


Rasa tak pernah dusta. Seperti pikiran kadang membohongi diri. Rasionalisasi menjadi tameng terbaik pikiran untuk mengelak luka. Pikiran menghibur dibalik rasa sakit. Kita pernah berkata pada diri sendiri. "Semua akan berjalan  baik-baik saja." Padahal tidak sedang baik. 

Pikiran sedang menghibur diri. Sering kita dengar" ini hanya caraku untuk menghibur diri." Ketika luka di hati berdarah. Mengenang di ruang batin. Pikiran kadang berdusta pada perasaan. Menghadirkan alasan-alasan, kelihatannya masuk akal. Namun sebenarnya tidak realistis. 

Aku sendiri juga seperti itu. Banyak kejadian, perlakuan orang lain, membuatku sedih. Hingga membuatku berhenti. Tak mau melangkah. Tak mau pulang. Tanya itu, selalu berputar dari itu ke itu saja. Aku terus bertanya apa yang salah pada diriku? Ada apa denganku? Kenapa tak ada yang menyukaiku. Mengapa mereka begitu tega padaku. Aku sama dengan mereka, aku ingin didengar. Aku juga ingin berbagi tentang keluh kesahku. 

Saat aku berbicara semua salah. Orang-orang tidak suka. Kadang mereka memotong pembicaraanku. Pura-pura tak mendengar. Menutup telinganya rapat-rapat. Aku merasa sangat hina, tak berharga, tak berarti, tak diharapkan. Bahkan ketika aku jauh, tak satupun sudi menghubungiku. Kecuali orang-orang terdekat. 

Anehnya. Ketika ditanya. Mereka bilang tidak apa-apa. Mungkin bagi mereka  tidak apa-apa. Namun bagiku sangat bermasalah. Ada juga yang berkata,  "Aku tidak peka, aku tidak peduli aku cuek. Atau alasan apapun namanya. Bagiku hanya alasan yang sengaja dibuat, agar mereka menjauh. Kata mereka aku egois. Padahal aku sudah mengalah, berkali-kali. Namun mereka tak tau, atau tak mau tau.

Aku terus bertanya dimana salahku, apa yang harus kulakukan agar aku bisa diterima. Meniru-niru orang lain. Melelahkan, karena itu bukan aku. 

Aku terus mencari. Bertanya. Dimana tempat aku bisa diterima? Selain oleh kedua orangtuaku. Tak ada. Tak pernah benar-benar ada. Aku akan selalu sendiri. Tak ada yang mengerti.

Pada satu titik aku menyerah. Di saat mereka mulai menunjuk-nunjuk wajahku. Melempar segala kesalahan itu padaku. Pada saat itu aku mengerti, kesalahan itu bukan pada mereka, tapi pada diriku.Mungkin beberapa cara dapat kulakukan, minimal menenangkan diriku sendiri:

Latihan di Depan Cermin

Meskipun semua orang mengatakan dan salah, namun tidak mau menunjuki apa salahku. Aku hanya divonis bersalah. Bagi mereka semua yang kulakukan salah, bahkan cara melihatku saja salah. Aku ingin membela diri, namun aku tidak cukup kuat. Aku coba berkali-kali latihan di depan cermin. Belajar bagaimana caranya melihat. Belajar bagaimana cara mendengar. Bahkan belajar untuk membunuh kemampuan asertifku. Suatu prinsip yang diajarkan nenekku "Jangan pernah mengaku salah, jika kamu tidak bersalah, justru pengakuan salah, atas sesuatu yang tidak kamu lakukan, berarti kamu merendahkan amanah Rabb untuk membela kebenaran."

Berbagai kesalahan terus di lempar padaku. Sementara mereka semua mencuci tangan, seolah manusia paling suci dibandingkan malaikat. Apakah keinginan mereka menjadikan aku kecil, secuil dan hampir menghilang. Aku mungkin dikira orang parno (paranoid). Takut keramaian. Takut pada orang-orang. Dan kurasa aku mengidap rasa enggan untuk bergabung di keramaian, lebih menikmati kesendirian. Kesendirian mengajarkanku banyak hal, terutama arti Kebersamaan bersama Rabbku Yang Maha Penyayang. 

Berdiri dan Menatap Cahaya

Jika aku terus disibukkan oleh rasa bersalah, atas ketidakbersalahan. Akan menguras habis energiku. Lebih baik aku bangkit, berdiri, berjalan, jika perlu berlari menatap cahaya. Tidak perlu berlama-lama menatap wajah-wajah ramah namun menyimpan sejuta kebencian. Mendingan manfaatkan waktu tuk hijrah, dan berbenah. Masih ada di ujung sana para sahabat shalihah, membentangkan tangan dalam ukhuwah dan dekapan dakwah. Mencintai karena iman semata, demi berharap pertemuan abadi selayak sahabat di surga nanti. 

Belajar Tersenyum

Aku tidak perlu sibuk menjelaskan apa dan bagaimana diriku pada mereka. Sebab mereka tidak perlu dan tidak peduli penjelasaanku. Peduli apa mereka tentang aku, sekian lama kepergianku, lalu siapa yang bertanya hanya adik, kakak, ayah ibu, dan saudara senasib dan saudara seaqidah. Bukan munafik, namun aku selalu belajar tersenyum di tengah kepedihan. Kuusahakan sunggingan senyumku karena Rabb semata. Bukankah Dia menyukai diam dalam kesabaran dan selalu tersenyum menghadapi saudara seaqidah. Alasan aqidah ini yang membuatku selalu berbuat baik.  

Bagaimana pun, penilaian orang tidak bisa dipaksakan. Bagaimanapun baiknya orang setelah hijrah, yang jadi pegangan adalah diri kita di masa lalu. Aku tidak perlu pengakuan atas perubahan dan hijrah hatiku. Sebab urusan dienku terlalu besar dari pada membujuk sekeping luka yang berdarah. Umat butuh pencerahan atas idealan kondisi. Jika aku berkutat dengan segelintir orang, maka akan menghalangi untuk berbuat baik pada banyak orang. 

Fokus Pada Orang-orang yang Mencintai Kita

Aku akan membuang tenaga jika aku berteriak. Mengatakan pada dunia, bahwa aku tak bersalah. Mengungkapkan seluruh rasa sakitku. Cukuplah Allah Subhanahu Wata'ala yang Maha Tahu sikon hatiku. Dia Maha Melihat, Maha Mengetahui, dan Maha Memberi Pembalasan. Aku serahkan semu urusan padanya. Aku tidak dihisab atas penderitaan batinku, namun aku akan dihisab atas sikap dan tanggapanku pada mereka. Satu yang pasti, aku lebih bahagia dan lebih produktif berpihak pada orang yang mencintaiku, menghargaiku, dan peduli padaku.Hal itu lebih produktif dan kreatif.

Meski aku terluka. Luka yang tak bisa disembuhkan. Aku tidak mau fokus pada luka itu, dan tidak mau tahu dengan mereka yang membuatku terluka. Aku konsentrasi menerima cinta dan kepedulian kedua orangtua, suamiku, anak-anakku, adikku, kakakku, dan sahabat taatmu dalam hijrah. Bagi mereka aku segalanya. Berkat mereka aku memutuskan mencintai diriku.

Ya, hanya cinta yang bisa menyembuhkan luka. Kau tak bisa memaksa orang-orang memahami dirimu. Karena yang cinta ga butuh alasan dan yang benci ga akan peduli.

Maka kuputuskan melawan keinginan itu. Bertahan dengan apapun pendapat mereka. Mendengarnya. Menikmatinya. Menerimanya. Aku akan mengunyah rasa pahit itu, untuk kutelan jadi obat. 

Selalu Memaafkan

Aku tak kuasa mengubah pendapat orang atau mereka tentangku. Tapi aku bisa mengubah diriku seperti apa menyikapi mereka. Aku tidak perlu ousing, perilaku dzalim apalagi yang akan mereka lakukan padaku. Aku hanya bisa ikhtiarkan bahwa kupastikan bahwa ruang hatiku selalu terbuka untuk memaafkan. 

Karena ku tau, setiap manusia punya masalahnya. Stres yang menimpa diri. Bullying oleh teman-teman. Kegagalan. Diabaikan dan ditinggalkan. Di dunia ini, bukan hanya aku satu-satunya yang terluka. Jadi, aku tak perlu merasa heboh paling terluka. 

Mereka yang melukai, bisa jadi karena terluka. Bisa saja itu cara mereka mengekpresikan hidupnya. Jika dipikir-pikir siapa yang tidak stres dengan sistem rusak ini? 

Beri Penghargaan untuk Diri Sendiri


Namun saat seseorang itu memilih untuk bangkit. Tidak lari dari masalah. Berani bertanggungjawab. Tak ada masalah kecuali membuat dia lebih dewasa.

Aku belajar mencintai diriku. "Memberi penghargaan untuk dirimu sendiri. Sudah lah orang-orang menjatuhkanmu, kenapa kau tambah jatuhkan lagi?" Bisik batinku.

Percayalah bahwa kau tidak pernah sendiri. Bahkan di saat kau benar-benar sendiri, di sanalah waktu terbaik itu. Ada Allah yang akan selalu mendengar kesahmu.

Islam itu berarti menerima, ikhlas dan ridho. Menerima qadha dan qadarnya dengan lapang dada. Apapun itu, Allah tak pernah menzalimi hamba-Nya. Hanya dengan begitu kau bisa menikmati hidup, dan menikmati indahnya kasih sayang-Nya. 

BELAJAR ISTIQAMAH DARI ASIYAH BINTI MUZAHIM

Kamis, Juli 30, 2020 0 Comments

Asiyah binti Muzahim, perempuan super hebat, cantik, taat, sangat sopan, santun, dan istiqamah. Keteguhan mempertahankan keimanan dan kebenaran, di tengah godaan harta dan kekuasaan imperium terbesar sejagat raya ketika itu.

Siapa yang tidak kenal dengan Fir'aun, seorang raja diraja, ternama. Mengendalikan kerajaan dengan kecanggihan teknologi di zamannya. Kira-kira perempuan mana yang tidak senang dan sejahtera bersuamikan seorang raja. Lengkap dengan kemilau kemewahan, kekayaan, gemerlap kehidupan kaum borjouis. 
.
Sebagai permaisuri raja diraja, Aisyah mampu menjaga iman, aqidah, dan ketaatannya pada Sang Pencipta. Ia tetap  sabar mendampingi suaminya, menjalankan kewajibannya sebagai istri, meskipun sang suami bertangan besi, dan mengklaim dirinya Tuhan, yang harus disembah seluruh rakyat.
.
Tidak tanggung-tanggung, ketaatannya Asiyah pada Allah Subhanahu Wata'ala. Ia besarkan seorang nabi di istana (Nabi Musa 'Alaihi Salam), meskipun harus menghadapi sikap paranoid suaminya. Membunuh setiap anak lelaki yang lahir, yang dikawatirkan kelak menghabisi hegemoni kekuasaannya sebagai Fir'aun.
.
Saking hebatnya Asiyah menghadapi sang suami yang dipanggil rakyat dengan “Yang Maha Mulia Tuhan Firaun.” Ia mampu memberikan argumentasi kuat dan meyakinkan sang raja, agar kehidupan Musa tetap berlanjut. Risalah tauhid tetap eksis di muka bumi. 

Dialah salah satu dari empat perempuan mulia dan terhebat sepanjang sejarah. Selain Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid, dan Fatimah binti Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Berharap cinta Allah semata. Tak ada yang lain.

Refleksi diriku, tidak terbayangkan, berada dalam posisi Asiyah. Hidup dalam gelimang kemewahan dan kekayaan, dan dikelilingi dayang-dayang. Semua keinginan  pasti terpenuhi. Bahkan berlibur ke negara lain mungkin jadi agenda rutin sang permaisuri. Belum lagi menikmati setiap pakaian, dan perhiasan mewah, demi prestise. Itu mungkin pemikiran wanita biasa seperti diriku.
.
Berbeda dengan Asiyah. Ia tetap mampu mempertahankan dan menjaga aqidah dan ketaatanya pada Allah Subhanahu Wata'ala. Meskipun dipaksa oleh Firaun, suaminya sendiri untuk mengakui Tuhan Fir'aun, dan menyembahnya sebagai Tuhan.

Mungkin bagi istri sepertiku, sangat dilematis. Terlalu sulit menentukan keberpihakkan, ikut suami sekaligus memyembahnya sebagai Tuhan, atau mengimani Allah sebagai Rabbnya dan mendukung ajaran Musa. Mendukung ajaran Tauhid yang diamanahkan Allah Subhanahu Wata'ala kepada Musa. Sungguh suatu pilihan yang sulit. Wanita lemah seperti aku, mungkin akan memilih suami, kekuasaan dan kemewahan dunia. 

"Ngapain capek-capek cari kekayaan dan kesenangan. Lagi pula raja diraja seperti Fir'aun, hanya satu-satunya sejagat raya ketika itu." 

Berbeda dengan Asiyah, ia tetap istiqamah, walaupun disiksa, diikat dengan besi kedua tangan dan kakinya, namun ia tetap mempertahankan aqidah yang diajarkan Musa  Alaihi Salam. 

Fir'aun tak henti-henti menganiaya dan menyiksa Asiyah karena aqidah atau keimanannya. Asiyah tetap sabar dan tabah. Dia tidak minta dilepaskan dan tunduk menyembah Fir’aun. Asiyah berdo’a pada Allah Subhanahu Wataala “ Ya Rabbku, bangunkan untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam syurga dan selamatkan aku dari Firaun dan perbuatannya, dan selamatkan aku dari kaum yang dzalim (QS. Surat At-Tahrim [66] ayat 11).
.
Asiyah tidak berpikiran pragmatis dan materialis seperti aku. Demi sedikit kesenangan kadang rela melepaskan prinsip kebenaran. Demi kenikmatan dunia yang setetes, aku rela meninggalkan aturan Allah Subhana Wata'ala. 
.
Kadang aku malu, banyak pengetahuanku, namun belum bisa sedikit mencontoh keistiqamahan Asiyah. Kadang aku gampang tergoda untuk melanggar hukum syariat demi meraih keinginanku. Aku kadang malas keluar dari zona nyaman,  mempertahan kuantitas dan kualitas ketaatanku yang apa adanya. Dengan argumentasi basi.

"Kelapa muda kupas-kupasin, kelapa tua tinggal batoknya. Ketika muda puas-puasin ketika tua tinggal taubatnya." 

Betapa bodohnya aku. Waktu berlalu, umurku hampir mendekati senja. Sedangkan aku masih menganggap remeh keberadaan iman, dan memandang remeh dosa.

Kadang, aqidah bagiku hanya orasi ilmiah di mimbar-mimbar keagamaan.
Padahal Aqidah itu sangat berharga dari dunia dan segala isinya. Iman itu mahal dari berlian dan permata. Istiqamah dalam iman, aqidah, dan ketaatan pada Pencipta itu adalah perjuangan penuh darah dan air mata.

Aku tidak mau keluar dari zona nyaman. Enggan sedikit berkorban untuk belajar Islam secara intensif, minimal dua jam seminggu. Mana tahu hatiku semakin tunduk dan khusyuk kepada Sang Khaliq.  

Aku sudah puas, jika aku sudah shalat, puasa, zakat, dan haji. Bahkan ibadah-ibadah itu aku cukupkan, dan anehnya aku sering lakukan secara terpaksa. Fatalnya, aku ingin setiap ibadah itu, aku siarkan ke semua orang. Agar orang di dunia ini tahu bahwa aku sudah melaksanakan ibadah. Bahkan aku merasa sudah sempurna menjalankan aturan Rabbku. 
.
Aku sering tidak peduli, Islam mengatur semua sisi kehidupan. Mulai dari urusan paling sepele sampai urusan paling kompleks dan fundamental dalam hidup.

Aku sering beranggapan orang berpakaian syar'i dan istiqamah dalam Islam, itu teroris, fundamentalis, ekstrimis, dan radikalis. Sebagaimana yang dipropagandakan orang lain kepadaku. 

Aku memiliki segudang impian semu. Aku ingin populer, top, terkenal, wanita karir, pangkat tinggi, memiliki seabrek gelar akademik, aktif di berbagai kegiatan, sehingga mendatangkan decak kagum orang lain. Aku sangat puas jika hal itu aku dapatkan.
.
Aku sedang belajar tentang pribadi Asiyah. Sosok perempuan agung tidak tergoda oleh kemewahan kerajaan Firaun. Ia tidak menjual aqidahnya dengan harga murah, dan menukar imannya dengan kesenangan kerajaan, dan tidak gentar membela kebenaran di hadapan Tirani Firaun yang dzalim. 

Inilah kisah wanita agung yang dijamin syurga oleh Allah. Darinya aku belajar istiqamah dengan aqidah dan iman, apapun yang terjadi. Darinya aku belajar bahwa raja bukan Tuhan, menentang kezaliman raja bukan berarti teroris, radikalis, fundamentalis, atau ekstrimis. Jika hal itu salah, Allah tidak akan  menjelaskannya dalam al-Qur'an. Terlalu besar instink survival dan insting mempertahankann diriku, di hadapan hawa nafsu.

Ya Rabb mudahkan aku mencontoh keistiqamahan Asiyah binti Muzahim. Hingga cara hidupku berubah dari hidup sekadar hidup lalu mati. Namun bagaimana hidupku mulia, dan matiku Husnul khatimah, aamiin. 

Ahad/ 5 Dzulhijjah 1441 H

Salam ukhuwah

STRATEGI PEMBENTUKKAN KEPRIBADIAN ISLAMI

Kamis, Juli 30, 2020 0 Comments
Setiap orang mengenal kata kepribadian. Namun tidak semua orang memahami hakikat kepribadian. Kepribadian bukan dinilai dengan ukuran-ukuran kenyataan. Seperti cantik, manis, ganteng, tampan, gagah, dan memikat. Tidak juga dilihat dari kelas ekonomi, status sosial, dan keturunan.
.
Kepribadian merupakan kompleksitas perwujudan cara berpikir ('aqliyah) dan cara bertindak (nafsiyah). Integrasi antara 'aqliyah dan nafsiyah tersebut dinamakan kepribadian (syakhsiyah). 
.
Cara berpikir, pola pikir, atau mindset merupakan cara pandang, perspektif, atau pemikiran seseorang  dalam menanggapi, merespon atau menyikapi berbagai fakta  yang ada di sekelilingnya. Cara ini ditentukan oleh mabda' atau ideologi yang diyakininya. 

Contoh, individu A berpikir manusia bebas, merdeka, tidak perlu terikat dengan berbagai aturan, jika ideologi yang diyakininya membolehkan kebebasan. Individu B beranggapan tidak masalah makan makanan haram, jika ideologi yang diyakininya membolehkan memakan makanan haram. Begitu juga individu C sah-sah saja pacaran sebelum nikah, jika ideologi yang diyakini membolehkan pacaran. Bahkan individu D, berpendapat muslimah tidak harus berhijab,  jika ideologi yang diyakininya membolehkan buka-bukaan.

Pola pikir menentukan kepribadian. Kepribadian sangat terkait dengan nilai dasar keyakinan, atau ideologi yang mengarahkan seseorang. Ideologi kapitalis membentuk kepribadian kapitalis. Ideologi sosialis komunis membentuk kepribadian sosialis-komunis. Ideologi Islam akan membentuk kepribadian Islami (syakhsiyah Islamiyyah).

Kepribadian Islami sangat ditentukan oleh pola pikir Islami  ('aqliyah Islamiyyah), dan pola sikap Islami (nafsiyah Islamiyyah). Pola pikir Islami dibentuk oleh aqidah Islam dan ilmu-ilmu keislaman yang memadai dalam membangun gagasan, ide, konsep, dan pandangan seseorang.

Sementara pola sikap Islami menjadi kuat, jika menjadikan aturan Islam sebagai cara dalam memenuhi kebutuhan biologis (makan, minum, berpakaian) dan kebutuhan naluri (beribadah, bergaul, berketurunan, dan bermuamalah). Setiap muslim berpotensi berkepribadian Islami, jika  kokoh aqidahnya, tinggi tingkat berpikirnya, dan kuat ketaatannya. 

Strategi Pembentukan Kepribadian Islami

Secara umum strategi Pembentukan kepribadian Islami adalah mengelola dan  meningkatkan aqliyyah dan nafsiyah individu. Strateginya adalah:

1. Menambah ilmu-ilmu Islam Syakhsiyah Islamiyyah). 


Menuntut atau menambah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat bukan sekadar perintah biasa. Namun perintah istimewa agar manusia memiliki tsaqafah Islamiyyah.  Tsaqafah Islamiyyah yang memadai membantu individu untuk beraqidah benar,  beriman, bertaqwa, beribadah sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, mengerti fiqih dan paham Akhlakul Karimah. 

2. Melatih Diri Berbuat Taat


Pembentukan kepribadian Islami dalam bentuk nafsiyah Islamiyyah, dapat dilakukan dengan selalu melatih diri berbuat taat. Terikat dengan semua aturan Islam dalam semua aspek kehidupan.  

Berbuat Taat juga termasuk melaksanakan semua ibadah, baik ibadah wajib dan ibadah sunnah. Selalu meninggalkan yang subhat apalagi haram.

3. Membiasakan Diri Berakhlak Mulia


Akhlak mulia tidak berdiri sendiri sebagai akhlak, terlepas dari aqidah dan syarak. Namun akhlak mulia bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dengan aqidah dan syarak. Logikanya perilaku jujur lahir dari keimanan yang kuat pada Allah, mengamalkan aturan Allah tentang perilaku jujur, maka  akhlak sehari-hari terbentuk perilaku jujur.

Dengan cara di atas, kepribadian Islami akan semakin kuat dan meningkat. Pemikiran Islami semakin cemerlang. Jiwa Islami semakin mantap. Istiqamah dalam ketaatan, dan semakin dekat dengan Allah Subhanahu Wata'ala.
.
Tiada cara lain agar berkepribadian Islami, selain mengelola sedemikan rupa pola pikir dan pola sikap dalam memenuhi kebutuhan fsikis, mengelola Gharizah, menuntut ilmu, selalu bergaul dengan orang shalih, memahami dan mampu menjawab  pertanyaan besar dalam hidup. Dalam konteks itu, kepribadian Islami bisa dibentuk. 
.
Wallahu A'lam Bisshawab.

Bumi Allah, 29 Juli 2020