Follow Us @soratemplates

Selasa, 23 Maret 2021

KETIKA 'AAMIIN' HANYA HITUNGAN JARI

Selasa, Maret 23, 2021 0 Comments


Notifikasi smartphone berbunyi. Nida tersadar dari lamunannya. Jari jemarinya membuka layar, lalu matanya tertuju pada sebuah pesan singkat dari nomor yang tak dikenal. Kalimat itu menusuk pelan: “Kasihan, sudah banyak posting doa, mengaminkan hanya hitungan jari.”

Ia menarik napas panjang. Tidak buru-buru menjawab, tidak pula tergesa menanggapi. Ia memilih menaruh pesan itu dalam hati, membiarkannya larut bersama udara yang masih pagi. Sebab, tidak setiap kata harus segera diberi balasan, dan tidak setiap pesan pantas langsung diberi perhatian.

Nida melangkah keluar rumah. Halaman kecil dengan mawar yang merekah menyambutnya. Aroma semerbak bunga membuat dadanya lapang. Ia tahu, kadang yang sederhana—menatap bunga, mendengar kicau burung, atau merasakan embun lebih bermanfaat bagi jiwa dibandingkan memikirkan kata-kata kosong yang menambah resah. Dari dapur, terdengar suara anak sulungnya: “Bu, ikannya diungkap dulu atau langsung digoreng?”

Nida tersenyum. Kehidupan memang sering berputar sederhana: dari urusan pesan di layar ke urusan ikan di dapur. Ia pun menjawab lembut: “Bersihkan, beri perasan jeruk nipis dan sedikit garam, lalu diamkan sebentar. Itu cukup membuat ikan tetap manis.”

Begitulah hidup, pikir Nida. Ada yang perlu dibersihkan, ada yang cukup diberi sedikit rempah, lalu biarkan waktu yang mematangkan segalanya. Bahkan hati manusia pun demikian: jika ia kotor, cukup disucikan dengan dzikir dan doa; lalu diam sejenak, memberi waktu agar kembali tenang, hingga ia siap kembali menghadap kehidupan.

Ia kembali menikmati bunga mawar dan tetesan embun di daun keladi. Dalam hatinya, ia berdoa agar waktu selalu pagi. Sebab pagi baginya adalah simbol harapan. Saat embun menitik, doa-doa terasa lebih ringan untuk terbang ke langit. Saat mentari terbit, semangat baru menyala, seakan seluruh ciptaan sedang bersujud dalam harmoni.

Setelah puas dengan keindahan halaman, ia kembali menatap layar laptop. Pesan itu sekali lagi terbaca. Namun kali ini hatinya berbisik lirih: “Ya Rabb, doa-doaku semoga tidak ternodai oleh motif duniawi. Semoga setiap kata yang kutulis adalah jalan untuk mendekat kepada-Mu, bukan sekadar tontonan bagi sesama makhluk-Mu.”

Sejak beberapa bulan lalu, Nida memang sengaja menulis doa setiap pagi. Bukan hanya untuk memenuhi tugas menulis dari mentornya, tetapi juga untuk melatih diri agar senantiasa membiasakan kebaikan. Ia percaya, doa yang tulus dari hati, ketika dibaca dan diaminkan banyak orang, lebih cepat mengetuk pintu langit.

Kesadarannya begitu dalam: ia hanyalah hamba yang lemah. Segala daya dan upaya hanyalah fatamorgana tanpa pertolongan Allah. La haula wa la quwwata illa billah. Karena itu, doa baginya bukan sekadar rutinitas, melainkan senjata. Senjata mukmin yang tak pernah berkarat, meski dunia berubah.

Ia terharu setiap kali masih ada sahabat yang menekan tombol suka, atau sekadar menulis “aamiin” di kolom komentar. Bagi sebagian orang, itu mungkin hanya jari yang bergerak sebentar. Tetapi bagi Nida, itu adalah ladang pahala. Sebab setiap “aamiin” yang tulus, sesungguhnya adalah doa yang ikut terbang ke Arasy.

Suaminya kemudian menghampiri, menatapnya penuh perhatian. “Ada apa sayang? Dari tadi lihat ponsel terus.” Nida tersenyum kecil, lalu menunjukkan pesan itu. Lelaki itu pun berkata bijak: “Jangan hiraukan siapa yang mengirim, tapi hiraukanlah apa yang dikirim. Intinya, manusia memang lebih mudah mengagungkan postingan orang terkenal, dan melupakan doa orang biasa. Begitulah fenomena akhir zaman.”

Nida tersenyum. “Aku hanya berharap doa-doa ini sampai kepada Allah, bang. Jika ada yang suka dan mengaminkan, alhamdulillah. Jika tidak, tetap alhamdulillah. Sebab ridha Allah lebih kuharap daripada jempol dan komentar manusia.” Suaminya menatapnya penuh cinta: “Itu sikap terbaik. Beramal tanpa terikat pada riya dan pamrih.”

Diskusi pun berlanjut. Mereka saling mengingatkan bahwa mengaminkan doa sesama saudara adalah sunnah yang dijanjikan pahala. Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah berkumpul suatu kaum Muslimin, sebagian berdoa dan sebagian lainnya mengucap ‘aamiin’, kecuali Allah pasti mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabrani dan al-Hakim).

Nida membatin dalam hatinya: Betapa sering kita tahu dalil, hafal ayat, paham hadits, tapi lalai mengamalkan. Ilmu kadang hanya jadi hiasan lidah, padahal sejatinya ia adalah amanah. Maka doa yang ia tulis bukan hanya untuk sahabat, tetapi juga untuk dirinya sendiri: agar Allah menjauhkan dari ilmu tanpa amal, dan amal tanpa ikhlas.

Akhirnya ia tersenyum pada suaminya. “Bang, sesungguhnya orang baik memberi kita kebahagiaan. Orang buruk memberi kita pengalaman. Dan orang jahat memberi kita pelajaran. Maka siapa pun yang Allah hadirkan, sejatinya adalah guru. Begitulah caranya Allah mendidik kita.” Suaminya mengangguk, lalu berucap pelan: “Aamiin, Allahumma aamiin.”

 Selesai.

🤍🤍🤍

Rabu, 10 Maret 2021

KIAT MENJADI RAJA DI ISTANA PERNIKAHAN

Rabu, Maret 10, 2021 0 Comments


Sahabatku…

Seorang bapak pernah curhat, dengan wajah muram dan hati yang resah. Katanya: “Aku kira menikah itu nikmat, ternyata derita yang kudapat. Aku berharap diperlakukan sebagai raja, tetapi justru diposisikan laksana hamba sahaya. Sakitnya… ah, sungguh sakitnya itu di sini.” Sahabat, kalimat itu seperti jeritan jiwa yang kehilangan arah. Bukan sekadar keluh, tapi tanda ada yang tidak seimbang antara harapan dan kenyataan.

Sahabatku…

Suatu ketika aku singgah di warung kecil, mendengar bisik-bisik bapak-bapak. Mereka tertawa getir, menyembunyikan luka dengan candaan. Katanya: “Jangan serahkan ATM pada istri, nanti kita tak bisa beli rokok, kopi, atau paket data. Masa kita harus bayar pakai daun, nanti diusir Tek Minah.” Aku tersenyum pahit. Itu bukan sekadar gurauan, tetapi suara hati para lelaki yang salah paham tentang cinta. Bukan istri yang menjadi masalah, melainkan kesulitan mereka mencipta harmoni.

Sahabatku…

Menikah bukan sekadar menyatukan dua tubuh, melainkan dua jiwa, dua pandangan, dan dua jalan hidup. Bila tidak satu visi, tidak satu misi, bagaimana mungkin bahtera berlayar tanpa diterpa badai? Suami lupa, bahwa ia adalah imam. Lupa bahwa ia adalah qawwam. Lupa bahwa kepemimpinan bukan untuk berkuasa, tetapi untuk menjaga, melindungi, dan menuntun dengan kasih.

Sahabatku…

Rumusnya sesungguhnya sederhana: Jika suami ingin diperlakukan sebagai raja, perlakukanlah istri sebagai ratu. Jika suami ingin melihat istri bagai bidadari, ciptakanlah rumah yang bernuansa surga. Sebab bidadari memang hidup di surga, bukan di warung kopi, bukan di dapur yang penuh keluh, dan bukan di hati yang penuh luka.

Sahabatku…

Bagaimana caranya memperlakukan istri sebagai ratu? Izinkan aku bagi rahasia ini. Prakteklah seperti obat, tiga kali sehari. Jika sakit masih berlanjut, jangan buru-buru ke pengadilan. Datanglah dulu pada konselor keluarga, atau duduklah bersama dengan hati jernih.

 

 

 

Pertama: Hindari Menyalahkan

Istri tidak mau diposisikan sebagai tersangka dalam rumah tangga. Bila ada masalah, katakan dengan rendah hati: “Abang salah, maafkan Abang.” Ajaibnya, sering kali istri justru menjawab: “Bukan, sayalah yang salah.” Kerendahan hati suami adalah obat penenang hati istri.

Kedua: Istri Ingin Dihargai

Seorang ratu ingin didengar ucapannya, diperhatikan tatapannya, dipenuhi panggilan jiwanya.
Jangan sampai saat istri bicara, suami sibuk menatap layar smartphone, menjelajah dunia maya, tetapi lupa ada dunia nyata yang sedang memanggil. Ketika engkau memberi sisa-sisa perhatian, jangan heran bila istrimu menjadi sensitif. Sebab hati seorang ratu bukan untuk dipinggirkan, melainkan untuk dimuliakan.

Ketiga: Mendahulukan Istri

Nabi pernah bersabda kepada seorang sahabat yang memiliki satu dinar: “Belanjakanlah untuk istrimu.” Sungguh, mendahulukan istri adalah tanda kebesaran jiwa. Bukan karena suami lemah, tetapi karena suami paham: cinta sejati diukur dari siapa yang ia dulukan dalam belanjanya, alam perhatiannya, dalam pengorbanannya.

Sahabatku…

Sering kali masalah bermula dari sini: suami lebih mendahulukan orang tua, kerabat, atau irinya sendiri, sementara istri dibiarkan dengan kebutuhan yang tak terpenuhi. Belanja tak kunjung bertambah, padahal harga-harga terus naik. Bagaimana mungkin seorang istri akan merasa bagai ratu, bila handbody-nya habis, kerudungnya tak pernah baru, sementara suaminya masih sibuk belanja untuk dunia di luar rumah?

Keempat: Hindari Membandingkan

Wahai suami, jangan pernah membandingkan istrimu dengan wanita lain. Itu luka paling pedih bagi seorang ratu. Bila engkau berkata: “Lihatlah, dia pandai mengatur rumah tangga.” Maka istrimu akan menjawab: “Bukankah engkau yang selalu meninggalkan handuk sembarangan, lupa mematikan lampu, atau lalai dengan urusan rumah?” Lidahmu yang membandingkan bisa membuka pintu pertengkaran, seluas-luasnya.

Sahabatku…

Istri bukanlah bayangan wanita lain. Ia adalah takdir Allah untukmu. Maka jangan ukurkan ia dengan perempuan yang bukan bagian dari perjalananmu. Menuntut istri menjadi orang lain sama saja dengan menolak anugerah Allah yang telah ditetapkan bagimu.


Sahabatku…

Lebih celaka lagi bila suami tak mampu menjaga pandangan. Istrinya digandeng, tetapi matanya menatap perempuan lain. Ketika ditegur, hatinya luka, cintanya terkikis. Bukankah Allah telah berfirman: “Katakanlah kepada orang-orang mukmin agar mereka menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka.”

Sahabatku…

Pernikahan bukan sekadar berbagi atap dan tempat tidur. Pernikahan adalah jalan sufistik: jalan untuk melatih ego, menundukkan nafsu, dan mengasah kesabaran. Suami bukan tuan, istri bukan budak. Keduanya adalah hamba yang saling menolong menuju Allah.

Sahabatku…

Maka bila engkau ingin menjadi raja, jadilah raja yang arif. Raja yang menundukkan egonya, bukan menindas pasangannya. Raja yang menciptakan surga kecil di rumahnya, bukan neraka yang menyala setiap hari.

Sahabatku…

Jangan menunggu istri menjadi bidadari bila rumahmu belum seperti surga. Jangan berharap istri berlaku sebagai ratu bila engkau belum benar-benar memuliakannya. Cinta adalah amanah. Pernikahan adalah mihrab. Dan rumah tangga adalah jalan menuju Allah. Maka jadilah imam yang sejati. Jadilah qawwam yang penuh kasih. Dan jadikanlah rumahmu ladang ibadah, bukan medan peperangan.

Semoga bermanfaat

Salam ukhuwah

Darimis

BELAJAR UNTUK SETIA

Rabu, Maret 10, 2021 0 Comments


Subhanallah...begitu amat beritanya. Seolah pernikahan tidak lepas dari selingkuh dan selingkuh. Selingkuh terus."

"Emangnya kamu baca apa?, tanya suamiku heran. 

"Baca macam-macam Uda. Mutar-mutar dari tadi, media massa online, Ig, efbi, tiktok, dan YouTube, semua memberitakan itu."


"Subhanallah, emangnya berita apa? 


"Uda pura-pura tidak tahu, padahal yang dilihat juga berita itu?


"Uda lihat bentar aja, ngapain dipikirkan cerita orang lain. Mendingan pikirkan cerita kita sendiri." 


"Bagus itu Uda, jawabku bersemangat. 


"Aku hanya ingin setia Uda, setia pada imanku, setia pada ibadahku, setia pada agamaku, setia pada Allah dan Rasulullah. Dan setia pada imamku, alias Uda Malin. Selebihnya tidak menjadi pikiran apalagi menjadi keponya aku. Wkwk."


"Pinter...kata suamiku."


"Jazakallah khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu) Uda."


"Waiyyaki (dan untukmu juga) sayang."


"Aishah tahu arti SETIA? Tanya Uda Malin


" Tahu dong...SETIA kan, menurut Aish setia itu artinya setia."


"Semua orang juga tahu, setia itu artinya setia, maksud Uda maksudnya? atau akronim juga boleh"


"Akronim SETIA, menurut Aish (Sungguh-sungguh, Empati, Taat, Ikhlas, dan Akur). 


"Ajib..bagus itu sayang. Menurut Uda nich ya. SETIA itu akronim:  Sayang...!, Empati itu, Tanpa Ikhlas, Tiada Arti"


"Ihh... Uda bisa aja buat akronim  unyu-unyu."


"Bisa aja kan? Tidak ada aturannya harus ikut prosedur ilmiah, suka-suka kita dong, diri kita, keluarga kita, selamat, dan masuk surga kita yang rencanain. Bukan profesor pelopor teori setia he he."


"Boleh Aishah tanya gak Da? 


"Boleh sekali, kalau dua kali harus bayar...wk wk.


"Bayar lagi, kemarin Uda ngomong ke Aish, Janji adalah utang, jika tidak ditepati dibayar dengan uang." Pertanyaan mendasarnya adalah Uda setiakah pada Aishah? 


"Kenapa pertanyaaan begitu?


"Ya iyalah Uda, sekarang lagi viral kisah suami tidak setia. Kawatirnya Uda terpapar virusnya..


"Insyaa Allah ke depannya Uda akan setia............


"Jadi, selama ini Uda gak setia sama Aishah."


"Kalimatnya belum selesai, sayang. Maksud Uda, selama ini semampu Uda, Uda sudah setia, Insyaa Allah ke depannya Uda akan terus belajar untuk setia." 


"Yang bener?...demi Allah.


"Benar, Tallahi...Wallahi....Kenapa jadi ragu Aishah dengan kesetiaan Uda. Uda paham sekarang, pasti gegara berita viral itu lagi kan?


"Benar Uda, Aishah kawatir mana tahu Uda terinspirasi lelaki itu."


"Insyaa Allah tidak sayang, untuk mendapatkan bidadari berhijab sepertimu, Uda perlu mendaki gunung tinggi, menyeberangi lautan luas, menaklukkan angkasa, terlalu berat perjuangan Uda memperjuangan pernikahan  kita." 


"Ihh gombalnya berserakkan..."


"Benar Sayang...biarlah itu menjadi kenangan indah Uda. Aishah hanya perlu fasilitasi Uda untuk selalu belajar setia."


Aishah: 🥰🥰🥰🥰🥰 

----------

"Teruslah setia pada pasangan halalmu, sampai keluargamu menginjakkan kaki di surga Allah Subhanahu Wata'ala."


Darimis

ISTIMEWANYA MENJAGA PANDANGAN

Rabu, Maret 10, 2021 0 Comments


Perasaan suka bermula dari mata, diteruskan ke otak, ditafsirkan dengan informasi yang tersimpan. Muncul kekaguman, simpati, ingatan, hayalan dan kerinduan. 


Bermula dari mata, bisa  bisa mengundang petaka. Prahara rumah tangga bisa melanda semua keluarga. Tidak peduli keluarga artis, selebritis, ustadz, ustadzah, ulama, dokter, atau pengusaha. 


Bermula dari tidak bisa menundukkan pandangan. Akhirnya tidak mensyukuri kelebihan, keistimewaan, kesejatian pasangan. Sirna berbagai kebaikan, yang terlihat semua kekurangan dan kelemahan pasangan. Tidak berarti semua kenangan indah di di awal dan sepanjang pernikahan. 


Jika beranggapan pasangan cerdas, brilian, hebat dan membanggakan. Ternyata fakta tidak demikian. Betapa banyak pasangan orang hebat berakhir di pengadilan.


Jika beranggapan pasangan yang memiliki keindahan fisik menyenangkan dan asyik. Ternyata tidak sedikit keluarga publik figur rumah tangganya mudah terusik, tercabik, hingga berakhir secara tidak baik-baik. 


Jika beranggapan wanita mandiri secara finansial mampu menyenangkan hati. Nafkah tercukupi kadang berlebih secara materi. Toh nyatanya masih ada pasangan mengeluh dan selingkuh, karena pasangan tidak peduli. Sibuk di luar sana mengumpulkan pundi-pundi.


Jika beranggapan pasangan peduli, berempati, terlihat mencintai sepenuh hati, dan berbakti tanpa pretensi. Ternyata di luar sana masih ada kisah nelangsa pasutri. Sulit wujudkan baiti jannati.  Terus merasa pasangan kurang hingga perlu mencari yang lebih baik lagi.


Kita bertanya sebenernya apa yang terjadi hingga pernikahan kacau begini? Salah satu aspek yang berkontribusi, pasutri tidak bisa menahan, menundukkan, atau menjaga pandangan mata dan hati. Terutama para lelaki. 


Pernah suatu hari seorang lelaki mengadu kepada seorang Syaikh. "Ketika aku mengagumi calon istriku, seolah-olah Allah tidak menciptakan perempuan yang lebih cantik dari dirinya di dunia ini. Ketika aku sudah meminangnya, seolah-olah aku melihat banyak wanita seperti dirinya. Ketika aku sudah menikahinya, ternyata banyak perempuan yang jauh lebih cantik dari dirinya.  Ketika berlalu beberapa tahun pernikahan kami, aku melihat seluruh perempuan lebih manis dari istriku."


Syaikh balik bertanya: "Apakah engkau mau tahu, ada yang lebih parah dari pada yang kau alami saat ini? 


Syaik itu melanjutkan: "Masalah sesungguhnya bukan terletak pada istrimu, tetapi terletak pada hati rakusmu dan mata keranjangmu. Mata manusia tidak akan pernah puas, kecuali sudah tertutup tanah kuburan."


"Jadi, masalah yang kamu hadapi sebenarnya adalah kamu tidak menundukkan pandanganmu dari apa yang diharamkan Allah."


Barangkali terlalu sulit untuk melaksanaka  perintah Ilahi. Padahal perintah menundukkan pandangan sudah jelas sekali. "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS. An-Nur ayat 30)


Menundukkan pandangan juga diperintahkan Allah pada wanita. "Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS. An-Nur ayat 31).


Bercermin pada kisah pemuda dan Syaikh di atas,  dapat dipahami bahwa penyebab utama persoalan terletak pada pandangan. Mata keranjang, dan hati rakus penyebab utama retaknya sendi-sendi pernikahan, perselingkuhan, dan perceraian. 


Salah satu cara agar kenikmatan bertambah. Keluarga bisa sakinah mawadah warahmah. Pasutri bisa sehidup sesurga adalah dengan menundukkanlah pandangan, hingga kenikmatan iman dan kenikmatan pernikahan bertambah, dan terus bertambah. 


Semoga bermanfaat

Salam ukhuwah

Darimis