KETIKA 'AAMIIN' HANYA HITUNGAN JARI
Notifikasi smartphone berbunyi. Nida tersadar dari
lamunannya. Jari jemarinya membuka layar, lalu matanya tertuju pada sebuah
pesan singkat dari nomor yang tak dikenal. Kalimat itu menusuk pelan: “Kasihan,
sudah banyak posting doa, mengaminkan hanya hitungan jari.”
Ia menarik napas panjang. Tidak buru-buru menjawab, tidak
pula tergesa menanggapi. Ia memilih menaruh pesan itu dalam hati, membiarkannya
larut bersama udara yang masih pagi. Sebab, tidak setiap kata harus segera
diberi balasan, dan tidak setiap pesan pantas langsung diberi perhatian.
Nida melangkah keluar rumah. Halaman kecil dengan mawar yang
merekah menyambutnya. Aroma semerbak bunga membuat dadanya lapang. Ia tahu,
kadang yang sederhana—menatap bunga, mendengar kicau burung, atau merasakan
embun lebih bermanfaat bagi jiwa dibandingkan memikirkan kata-kata kosong yang
menambah resah. Dari dapur, terdengar suara anak sulungnya: “Bu, ikannya
diungkap dulu atau langsung digoreng?”
Nida tersenyum. Kehidupan memang sering berputar sederhana:
dari urusan pesan di layar ke urusan ikan di dapur. Ia pun menjawab lembut: “Bersihkan,
beri perasan jeruk nipis dan sedikit garam, lalu diamkan sebentar. Itu cukup
membuat ikan tetap manis.”
Begitulah hidup, pikir Nida. Ada yang perlu dibersihkan, ada
yang cukup diberi sedikit rempah, lalu biarkan waktu yang mematangkan
segalanya. Bahkan hati manusia pun demikian: jika ia kotor, cukup disucikan
dengan dzikir dan doa; lalu diam sejenak, memberi waktu agar kembali tenang,
hingga ia siap kembali menghadap kehidupan.
Ia kembali menikmati bunga mawar dan tetesan embun di daun
keladi. Dalam hatinya, ia berdoa agar waktu selalu pagi. Sebab pagi baginya
adalah simbol harapan. Saat embun menitik, doa-doa terasa lebih ringan untuk
terbang ke langit. Saat mentari terbit, semangat baru menyala, seakan seluruh
ciptaan sedang bersujud dalam harmoni.
Setelah puas dengan keindahan halaman, ia kembali menatap
layar laptop. Pesan itu sekali lagi terbaca. Namun kali ini hatinya berbisik
lirih: “Ya Rabb, doa-doaku semoga tidak ternodai oleh motif duniawi. Semoga
setiap kata yang kutulis adalah jalan untuk mendekat kepada-Mu, bukan sekadar
tontonan bagi sesama makhluk-Mu.”
Sejak beberapa bulan lalu, Nida memang sengaja menulis doa
setiap pagi. Bukan hanya untuk memenuhi tugas menulis dari mentornya, tetapi
juga untuk melatih diri agar senantiasa membiasakan kebaikan. Ia percaya, doa
yang tulus dari hati, ketika dibaca dan diaminkan banyak orang, lebih cepat
mengetuk pintu langit.
Kesadarannya begitu dalam: ia hanyalah hamba yang lemah.
Segala daya dan upaya hanyalah fatamorgana tanpa pertolongan Allah. La haula
wa la quwwata illa billah. Karena itu, doa baginya bukan sekadar rutinitas,
melainkan senjata. Senjata mukmin yang tak pernah berkarat, meski dunia
berubah.
Ia terharu setiap kali masih ada sahabat yang menekan tombol
suka, atau sekadar menulis “aamiin” di kolom komentar. Bagi sebagian
orang, itu mungkin hanya jari yang bergerak sebentar. Tetapi bagi Nida, itu
adalah ladang pahala. Sebab setiap “aamiin” yang tulus, sesungguhnya adalah doa
yang ikut terbang ke Arasy.
Suaminya kemudian menghampiri, menatapnya penuh perhatian. “Ada
apa sayang? Dari tadi lihat ponsel terus.” Nida tersenyum kecil, lalu
menunjukkan pesan itu. Lelaki itu pun berkata bijak: “Jangan hiraukan siapa
yang mengirim, tapi hiraukanlah apa yang dikirim. Intinya, manusia memang lebih
mudah mengagungkan postingan orang terkenal, dan melupakan doa orang biasa.
Begitulah fenomena akhir zaman.”
Nida tersenyum. “Aku hanya berharap doa-doa ini sampai
kepada Allah, bang. Jika ada yang suka dan mengaminkan, alhamdulillah. Jika
tidak, tetap alhamdulillah. Sebab ridha Allah lebih kuharap daripada jempol dan
komentar manusia.” Suaminya menatapnya penuh cinta: “Itu sikap terbaik.
Beramal tanpa terikat pada riya dan pamrih.”
Diskusi pun berlanjut. Mereka saling mengingatkan bahwa
mengaminkan doa sesama saudara adalah sunnah yang dijanjikan pahala. Rasulullah
ﷺ bersabda: “Tidaklah berkumpul suatu kaum Muslimin, sebagian berdoa dan
sebagian lainnya mengucap ‘aamiin’, kecuali Allah pasti mengabulkan doa
mereka.” (HR. al-Thabrani dan al-Hakim).
Nida membatin dalam hatinya: Betapa sering kita tahu
dalil, hafal ayat, paham hadits, tapi lalai mengamalkan. Ilmu kadang hanya
jadi hiasan lidah, padahal sejatinya ia adalah amanah. Maka doa yang ia tulis
bukan hanya untuk sahabat, tetapi juga untuk dirinya sendiri: agar Allah
menjauhkan dari ilmu tanpa amal, dan amal tanpa ikhlas.
Akhirnya ia tersenyum pada suaminya. “Bang, sesungguhnya
orang baik memberi kita kebahagiaan. Orang buruk memberi kita pengalaman. Dan
orang jahat memberi kita pelajaran. Maka siapa pun yang Allah hadirkan,
sejatinya adalah guru. Begitulah caranya Allah mendidik kita.” Suaminya
mengangguk, lalu berucap pelan: “Aamiin, Allahumma aamiin.”
🤍🤍🤍




