Follow Us @soratemplates

Sabtu, 29 Agustus 2020

HIKMAH SAHABAT TAAT

Sabtu, Agustus 29, 2020 0 Comments


Sahabat taat, indah didengar, sejuk dipikirkan, senang dilihat, dan menyelamatkan di dunia, dan memberi syafaat hingga akhirat.

Perspektif Sahabat Taat

Mungkin ada di antara kita berpendapat, "Ah Teori" mana ada zaman now sahabat seperti itu. Jangankan memberi syafaat di akhirat, ketulusan persahabatan di dunia aja susah didapat. Sering berselisih, bahkan konflik jadi romantika harian.  


Mungkin ada yang meyakini, jangankan sahabat taat, yang peduli dan empati dari hati sulit dicari. Senyum saja pakai pretensi. Tersenyum jika ada mau, maksud, ada udang di balik bakwan...eh batu. Hari ini sangat langka persahabatan tanpa pamrih.


Namun tahukah kita...mengapa kita langka bertemu sahabat taat? Dan kita belum menemukan sahabat taat. Barangkali hidup kita masih dicekoki pemikiran  trend kekinian, bernuansa kapitalis, liberalis, materialistis, dan hedonis. Bersikap baik kepada orang lain, jika orang lain itu juga baik dan bermanfaat. 


Semua diukur dengan manfaat. Kita seakan menjadi orang pragmatis berpikir praktis. "Jika tidak ada untung, mengapa harus berteman denganya". Jika tidak memberikan manfaat bagi saya, ngapain repot-repot peduli." Kita seakan terlalu lugu ('Lu, Lu, Gua, Gua)....ha...ha.


Ada kesan dalam hidup  jaman now, semua nilai persahabatan seperti nilai insaniyah, ruhiyah, khuluqiyah sirna, hanyut dibawa arus nilai materi (madiyah). Akibatnya, pengkhianatan, gunjingan, sikut mengikut, sakit hati, dendam, permusuhan, dan pendangan sinis mewarnai interaksi dan pergaulan kita. Sehingga tidak heran ada ungkapan, "Tidak ada teman yang abadi, tidak ada musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang merajai...eh abadi."

Hikmah Punya Sahabat Taat

Makanya tiada nikmat senikmat-nikmatnya, tiada sesyukur-sesyukurnya jika kita memiliki sahabat terkasih, dan serelung hati. Sahabat tersayang bukan kepalang. Dia menerima diri kita apa adanya. Di saat susah maupun senang. Dia yang merangkul diri kita, di saat sedih maupun bahagia.


Paling luar biasa adalah sahabat taat. Suka ngomelin kita kalau kita salah. Hampir keliru saja langsung diceramahi. Mendiskusikan dengan serius jika keliru kita selangit. Mengingatkan untuk terus di jalan yang lurus.  Belok sedikit langsung menjewer telinga. Kalau putar arah langsung dikejar  dan menyalib kita dari belakang. Tidak pernah bosan tuk ingatkan selalu beramal shalih.


Sahabat taat, yang  menguatkan hati tuk tetap melangkah dan istiqamah. Kita mengeluh sedikit saja, dia menyemangati, bahwa derita kita belum apa-apa dibanding para sahabiyah. Jika kita merasa lemah, dia ingatkan komitmen kita, bahwa kita berjual beli dengan Allah Subhanahu Wata'ala. Jika kita melanggar hukum syarak dia selalu sebutnya pertanggungjawaban di Yaumul Hisab dan panasnya neraka. Itulah sahabat, yang seiring sejalan dalam ketaatan dan selalu mengajak ki pada kenikmatan surga Allah. 


Tiada keindahan seindah permata, selain sahabat taat, seperjuangan bercita-cita surga. Takkan mampu dibayar dengan intan berlian paling mahal. Dialah sahabat yang mempersamai kita dunia akhirat. Senada dengan ungakapan Umar bin Khattab:


“Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan setelah Islam, yang lebih baik daripada kenikmatan memiliki saudara (sesama muslim) yang saleh. Apabila engkau dapati salah seorang sahabat yang saleh maka pegang lah erat-erat.” [Quutul Qulub 2/17]


Bahkan jika kita masuk neraka, pun dia selamatkan, dengan syafaat yg diberikan Allah Subhanahu Wata'ala. Imam Muslim meriwayatkan dalam haditsnya bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Hingga setelah orang-orang mukmin itu dibebaskan dari neraka, demi Allah, Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon kepada Allah untuk memperjuangkan keselamatan untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka pada hari Kiamat. Mereka memohon, Wahai Rabb kami, mereka itu (sebagian yang tinggal di neraka) pernah berpuasa, shalat, dan juga haji bersama kami.”


Lalu dikatakan, ‘Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang kalian kenal.’ Hingga wajah mereka diharamkan untuk dibakar oleh api neraka. Kemudian para mukminin ini pun mengeluarkan banyak saudaranya yang telah dibakar di neraka. Kemudian orang mukmin itu berdoa:  “Wahai Rabb kami, orang yang Engkau perintahkan untuk dientaskan dari neraka sudah tidak tersisa.” (HR.Muslim)

Mencari Sahabat Taat

Itu di antara keagungan sahabat taat. Namun tidak semua orang berminat. Seakan sulit didapat, kecuali dalam kisah para sahabat. Sebenarnya logika kita yang kurang tepat. Mencari sahabat taat dengan alasan sesaat.  Mengutamakan asas manfaat, terkesan salah niat. Makanya sahabat taat langka didapat. Mungkin diri kita yang belum pantas untuk mendapat sahabat taat. Sebab, seperti diri ini yang masih jauh dari taat. Maka sah-sah saja belum ketemu dan dipertemukan dengan sahabat taat. 


Kata murabbi saya, jika ingin mendapatkan sahabat taat. Carilah dia di majelis-majelis ilmu. Di liqa'-liqa' Di kajian-kajian Islam. Di sana berlangsung majlis dzikir, dinaungi dan dido'akan para malaikat. Di tempat itu, kita akan temukan sahabat sevisi, semisi, sestrategi, dan seperjuangan. Memperbaiki diri tiada henti. Tholibul 'ilmi tuk berkepribadian Islami. Di sana akan berkumpul hati-hati penuh kasih, seiring sejalan menuju ridha Ilahi.


Memang kita akui, sekarang masa pandemi. Kurang kondusif mencari sahabat taat dalam kehidupan sehari-hari. Apa salahnya kita ikuti kajian online. Bergabung banyak komunitas kajian Islami. Asalkan ada niat paling tulus di hati, insyaa Allah diberi kemudahan. Hanya saja diri ini terlalu egois untuk duniawi. Lebih memilih komunitas ilmiah, literasi, kadang ibu sosialita agar eksistensi diakui. Mengikuti trend terkini, seolah komunitas kita paling bergengsi. Meskipun kadang kesadaran terdalam meronta tak terperi, karena tidak mendapatkan faedah dan makna di sisi Ilahi. Selain capek dan rugi duniawi dan ukhrawi.


Sahabat taat diperjuangkan dengan meningkatkan taat diri lebih dahulu. Jika kita menginginkan sahabat taat, diri sendiri belum taat, tentu tidak akan mau bersatu antara penjual minyak wangi dengan tukang besi. Tentu akan sulit seirama dalam kata dan tingkah laku. Yang satu membolehkan riba, yang lain menganggap riba dosanya luar biasa. Setiap hari akan  berselisih tentang hukum syarak yang haramnya sudah pasti, bersumber dari dalil qarh'i. Satu suka bersolek (tabarruj) yang lain bersolek hanya di depan suami, mungkin menilai teman tidak satu frekuensi. Akhirnya berpisah di simpang jalan, karena berbeda kecenderungan.


Memang susah-susah gampang menemukan sahabat taat. Banyak susahnya dari pada gampangnya. Namun bukan berarti mustahil untuk dilakukan. Mencari jodoh shalih dan shalihah saja susah, kata jofisa jumlahnya "satu banding seribu" mungkin sahabat taat juga begitu. Tapi bukan berarti kita menghentikan langkah, karena lelah. 


Mengejar kebaikan itu butuh kerja ekstra. Tidak cukup hanya berdo'a, lalu kita menunggu Allah mengirimkan bidadari tanpa sayap  dari surga. Kalau di surga memang seperti itu, ketika ingat langsung datang. Ini dunia Sister Fillah...semuanya butuh perjuangan, karena memang sunatullahnya dunia tempat berjuang. Bukan untuk bersenang-senang. Kalau untuk bersenang-senang besok, di surga...Insyaa Allah semua kita akan pulang kampung ke sana...


Mencari dan menemukan sahabat taat itu sangat perlu. Hal ini diingatkan oleh Imam Syafi'i, "Jika engkau punya teman yang selalu membantumu dalam rangka ketaatan kepada Allah, maka peganglah erat-erat dia, jangan pernah kau lepaskan. Karena mencari teman baik itu susah, tetapi melepaskannya sangat mudah sekali."


Kadang logika dan nafsu kita  berkata "Untuk apa punya sahabat nyinyir seperti itu, sedikit-sedikit taat, sebentar-sebantar Allah. Itu bisikan setan Sisterfillah...Waspadalah, setan selalu bergembira di atas dosa dan maksiat kita. Nanti di akhirat ia akan berlepas tangan alias tidak bertanggung jawab. Dia sampaikan pidato paling menyentuh hati di hadapan penghuni neraka. Pidato setan ini diabadikan Allah dalam surat Ibrahim ayat 22, artinya:


 “Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: ‘Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu, tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.’ Sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu mendapat siksaan yang pedih." (QS. 14:22)


Untuk itu, sesekali kita kita eksekusi pendapat Al Hasan Al Bashri, "Perbanyaklah sahabat-sahabat mukminmu, karena mereka memiliki syafaat pada hari kiamat.''


Ibnul Jauzi pun pernah berpesan kepada sahabat-sahabatnya sambil menangis, ''Jika kalian tidak menemukan aku di surga bersama kalian, maka tolonglah bertanya kepada Allah tentang aku, 'Wahai Rabb kami, hamba-Mu fulan sewaktu di dunia selalu mengingatkan kami tentang Engkau. Maka masukanlah dia bersama kami di surga-Mu.''


Ya Rabb...bantu hamba menemukan sahabat taat...dan perbanyaklah Sabahat taat hamba dari yang ada sekarang, aamiin.


Bumi Allah, 29 Agustus 2020.



Kamis, 20 Agustus 2020

HIJRAH SEBAGAI TRANSFORMASI DIRI MENUJU RIDHO ILAHI

Kamis, Agustus 20, 2020 0 Comments


Waktu berlalu meninggalkan setiap hamba Allah. Tanpa peduli dan tanpa kompromi, datang tahun baru Islam, 1 Muharram 1442 H.

Sementara diri ini masih seperti itu, seperti itu saja, tidak berubah, berbenah, apalagi hijrah. 

.

Perkataan menohok diri ini,  yang kadang enggan melakukan perubahan. Suatu hari, Ibnu  Mas'ud menyesal, karena waktu berlalu, ajalnya berkurang, tetapi amal shalihnya tidak bertambah. Seorang shalih, dan bertaqwa sekaliber Ibnu Mas'ud, yang hari-harinya penuh dengan kebaikan masih menyesal, apatah lagi diri ini, manusia biasa penuh khilaf dan salah.

.

Ulama lain pun menyatakan, "Siapa yang melalui harinya bukan untuk kebenaran, atau fardhu yang ditunaikan, maka dia telah mendurhakai waktunya, dan mendzalimi dirinya." Aku semakin merenungi hidup ini. Betapa banyak hari kulewati yang menyelisihi kebenaran. Ghibah tanpa sadar dikerjakan. Maksiat kecil kadang dilakukan. Perbuatan fardhu atau wajib sering dilalaikan.  Shalat wajib kadang di ujung waktu dilaksanakan. Shalat  terburu-buru tanpa dzikir dan permohanan (do'a). Belum lagi dosa lain di luar pengetahuan. 

.

Jika aku baca lagi pendapat Al-Hasan al-Bashri, seorang tabiin agung pernah berkata "Wahai Anak Adam, kalian adalah kumpulan hari. Jika sehari berlalu, maka sebagian dirimu telah hilang." Anak Adam atau cucu Adam 'Alaihi Salam semua insan termasuk diri ini.

.

Semenjak lahir ke dunia, aku adalah kumpulan hari. Jika sehari berlalu, maka sebagian diriku telah hilang. Artinya hilang kesempatan beramal shalih, hilang waktu memperbanyak taubat, dan berbuat maslahat. 


Tanpa kusadari, tahun 1441 H telah berlalu. Aku hanya bisa mengenang dan memuhasabah diri. Baru secuil kebaikan yang kulakuka.  Banyak keburukan yang ditorehkan.  Amal shalih entah bagaimana? Infak dan pertolongan belum seberapa untuk agama Allah. Padahal di Yaumul Hisab nanti, semua cacatan amal dibuka, semua peristiwa akan diceritakan tanpa tabir. QS. Al-Zalzalah ayat 4, artinya "Pada Hari itu (Kiamat) dia akan menceritakan peristiwanya."

[Q.s. Az-Zalzalah 4]


Untuk itu,  hari ini, Kamis, 1 Muharram 1442 H, saatnya aku membuat resolusi hijrah maknawiyah. Memaknai hijrah sebagai transformasi diri menuju Ridha Ilahi. Sebab puncak kebahagiaan seorang hamba adalah Ridha Allah Subhanahu Wata'ala.

.

1. Transformasi Pemikiran


Pemikiran ini masih banyak jahiliyahnya. Aku harus hijrah dari pemikiran bahwa hidup hanya sekadar lahir, bayi, anak-anak, remaja, dewasa, menikah, bekerja, lansia, dan wafat, ke pemikiran bahwa hidup adalah ibadah.

.

Hidup itu dari Allah, untuk Allah, dan untuk kembali kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Ini harus dijawab dengan aqidah Islam, suatu pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan, kaitan antara sebelum dan sesudah kehidupan ini. Hidup untuk beribadah bukan hanya retorika, sekadar pemanis pembicaraan. Namun benar-benar direncanakan, diniatkan secara matang, lengkap dengan  strategi terbaik untuk merealisasikan visi abadi, "Bahagia di sisi-Nya"

.

2. Transformasi Standar Perbuatan


Sebagai manusia lemah, faqir iman dan ilmu, biasanya aku mengukur segala sesuatu dengan kenikmatan dan kepuasan. Makan untuk memuaskan nafsu makan. Berumah tangga sekadar memuaskan sexual instink. Bekerja untuk memuaskan ego atau survival instink. Maka hijrah adalah momentum strategis bagiku untuk mengubah standar makanan dengan ukuran halal atau haram. Rezeki yang halal saja yang dimakan, dan yang haram harus dihindari segenap kemampuan.


Hijrah menjadi kesempatan emas, mengubah standar perbuatan dengan sunnah, wajib, mubah, makhruh, dan haram. Optimalkan perbuatan Sunnah dan wajib, dan hindarkan seoptimal mungkin perbuatan haram dan makruh. Sementara mubah boleh dilakukan atau ditinggalkan. 

.

Dengan cara mengubah standar hidup, aku bisa menyelamatkan diri ini. Memaksimalkan catatan pahala, meminimalisir catatan dosa.  Dengan cara ini pula, aku mempersiapkan hujjah (arguemtasi, atau alasan) di pengadilan Allah, di Yaumul Hisab nanti. Ketika semua amalku diperiksa, diadili, divonis, ditimbang, dan diberi kitab amal, semoga diri ini, salah satu dari ashabul Yamin. Aamiin.

.

3. Transformasi Ikatan Kemanusiaan


Selama ini, pola interaksi dengan manusia berdasarkan kepentingan dan asas manfaat. Terjebak dengan pemikiran pragmatis, individualis, materialis dan hedonis.  Jika merasa suatu interaksi, pertemanan sesama manusia tidak memberi manfaat atau menguntungkan, ditinggalkan.

.

Akhirnya aku sadar, ternyata ikatan paling agung adalah ikatan aqidah. Ikatan aqidah paling kokoh sampai akhirat, full manfaat.  Sabahat dalam taat kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Memberi syafaat bahkan penyelamat dari api neraka (ada tulisanku tentang ini, suatu saat insyaa  Allah  diposting). 


Sesama muslim bersaudara, ibarat satu tubuh. Ummatan wahidah. Tidak terikat nasab, suku, asal daerah, sekampung, dan lainnya.  Seperti yang dicontohkan oleh Kaum Muhajirin (Dari Mekkah) dan kaum Anshar (di Habasyah/Madinah). Kisah ini sering dibicarakan ustads dalam ceramah, peringatan 1 Muharram. 


4. Transformasi Pemahaman tentang Ukuran Kebehagiaan


Dulu menurutku bahagia adalah jika semua keinginan dan nafsu terpenuhi. Aku tidak peduli cara mendapatkannya bagaimana, yang penting aku puas. Namun ternyata aku keliru.  Bahagia parameternya Ridha Allah Subhanahu Wata'ala. 

.

Tidak masalah kita kaya asalkan Allah Ridha. Tidak masalah kita tidak memiliki apa-apa asalkan Allah ridha. Sebab bahagia terletak di hati yang qana'ah. Bahagia terletak dalam hati (internal) bukan di luar hati atau di luar diri (eksternal). 

.

Jika berkaca pada para sahabat Nabi, seperti Salman Al Farizi, seorang miskin tapi ia merasa bahagia. Abdurrahman bin Auf sahabat terkaya kemudian uangnya diinfaqqan semua di jalan Allah. Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menghabiskan uangnya di jalan Islam. Belum lagi Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Seorang saudagar perempuan, kaya raya, keturunan bangsawan, semua kekayaannya habis membiayai dakwah Rasulullah, toh mereka semua bahagia.  Tidak sekadar bahagia di dunia, namun Allah sendiri yang menyampaikan salam kepada mereka dan memberi kabar gembira atas imbalan surga untuk pengorbanan mereka. 


Aku semakin paham bahwa status paling mulia di sisi Allah adalah taqwa. Kesejahteraan hakiki adalah ketika selamat dari sirath, dan masuk surga. Kerinduan sejati seorang mukmin atau mukminah adalah melihat wajah Allah Subhanahu Wata'ala dalam posisi paling dekat.  

.

Minimal empat bentuk transformasi diri yang harus kulakukan, sebagai hasil memaknai kembali tentang hijrah. Kadang aku malu dengan diriku ketika membaca pendapat seorang ahli strategi perang Israel, Moshes Dayan (1915-1981) yang menyatakan bahwa kelemahan utama umat Islam adalah malas baca sehingga literasinya jeblok, anjlok, dan rendah. Seandainya pun membaca, ia tidak mengerti. Jika ia mengerti, tetapi tidak bertindak. Inilah yang makin memperburuk citra Islam. 

.

Maka tidak ada yang dapat kulakukan, selain melakukan transformasi diri, yaitu HIJRAH. Agar eksistensi penciptaanku sebagai hamba ('abdun) benar-benar terealisasi. Aamiin.

.

Selamat Tahun Baru Islam

1 Muharram 1442 H

Mohon maaf atas semua kesalahan.

Rabu, 19 Agustus 2020

MET MILAD BUKAN BUDAYAKU

Rabu, Agustus 19, 2020 0 Comments

 

Dulu aku sama seperti sahabat...pernah mengucapkan selamat ulang tahun atau met milad kepada keluarga, guru, dosen, dan teman-teman. Menurutku ketika itu, mengucapkan met milad suatu ritual wajib, rasanya berdosa jika tidak mengucapkan itu. Ketika itu, aku masih jahil dalam hidup ini. Boleh jadi gelar ada, namun ternyata pengetahuan agamaku tidak berbanding lurus dengan pengetahuan  akademikku.

 

Sampai suatu hari, aku mengucapkan met milad kepada murabbiku. Niatku rasanya bagus, untuk menghormati dan menghargai guruku. Tatkala itu murabbiku...diam saja tidak menjawab aamiin, apalagi terima kasih. Siap belajar, beliau memberikan tulisan pada kami murid-muridnya. Katanya untuk kami pelajari. Biar kami tidak kelirulogi. Ternyata uraian demi uraian dalam tulisan itu menampar sadarku, membuat aku terduduk lemas, menyadari betapa bodohnya aku. Sering ikut-ikutan, latah, ingin dianggap modern, dan kekinian.

 

Sahabat...! aku bukan siapa-siapa. Tujuanku hanya satu, berbagi pengetahuan tentang pragmen hidup yang pernah kujalani. Semoga menjadi ibrah bagi sahabat semua. Jika ada yang setuju, menerima, ragu, atau menolak, itu hak kita.

 

Sejarah Ulang Tahun

 

Jika dicermati ternyata ulang tahun tidak ada dalam Al-Qur’an. Ulang tahun hanya ada dalam Injil Matius 14:6,  Tetapi pada hari uang tahun Herodes, menarilah anak Herodes yang perempuan, Herodias, di tengah-tengah mereka akan menyukakan hati herodes.” Kemudian pada Injil Markus 6:21, “Akhirnya tiba juga kesempatan yang baik bagi Herodias, ketika Herodes pada hari ulang tahunnya mengadakan perjamuan untuk pembesar-pembesarnya, perwira-perwiranya dan orang –orang yang terkemuka.”

 

Tidak hanya berbahasa Indonesia dalam kitab Bible, Matthew 14:6 and Mark 6:21, “Celebrating of birthday is Paganism, and Jesus (Isa, peace be upon him) doesn’t to do it, but Herod.” Sama halnya pada Matthew 14:6  But when Herod’s birthday was kept, the daughter of Herodias danced before them, and pleased Herod."

 

Secara historis, jika dibaca dalam buku (A.D. El. Marzdedeq, berjudul Parasit Aqidah Jakarta: Syaamil, hal 298) dikemukakan beberapa penjelasan. Pada masa-masa awal Nasrani generasi pertama (Ahlul Kitab atau Kaum Kawariyyun atau Pengikut Nabi Isa) mereka tidak merayakan Upacara UlangTahun, karena mereka menganggap bahwa pesta ulang tahun itu adalah pesta yang munkar dan hanya pekerjaan orang kafir Paganisme. Namun kemudian orang Nasrani yang pertama kali mengadakan pesta ulang tahun adalah orang Nasrani Romawi. Dengan cara beberapa batang lilin dinyalakan sesuai dengan usia orang yang berulang tahun. Sebuah kue ulang tahun dibuatnya dan dalam pesta itu, kue besar dipotong dan lilinpun ditiup.

 

Berdasarkan penjelasan Marzdedeq di atas, izinkan aku berpendapat, bahwa tradisi ulang tahun bukan tradisi yang muncul dari agama Islam, namun tradisi orang-orang Yahudi, Nasrani, dan kaum Paganisme. Jadi, aku pikir kurang pas, jika aku ikut merayakan sesuatu yang bukan berasal dari agamaku. Terlepas dari hukumya apa, cukuplah pemahaman jahil dahulu menghukumku dengan rasa bersalah. Aku bertaubat, aku sangat berharap Allah Subhanahu Wata’ala mengampuni dosa-dosakuku. Kala itu, pengetahuanku minim tentang aqidah, sehingga aku terjebak dalam ritual paganisme ini.

 

Dulu dan sampai hari ini, masih kulihat di televisi, media massa. Bahkan di medsos sangat gencar menyiarkan dan mempublikasikan seremonial megah ini. Coba lihat, cerita seleb tanah air, betapa besar biaya yang dikeluarkan untuk merayakan hari lahirnya.

 

Ketika anak-anakku sekolah di PUAD, TK, dan SD dulu, hampir satu kali seminggu membawa sekantong makanan pulang sekolah. Kata mereka “Beberapa teman ulang tahun Bu. Kami di kasih ini oleh Umminya.” Anakku sengaja aku pilihkan Sekolah Islam, agar mereka terhindar dari ritual-ritual semacam ini. Tapi, itulah...akupun tidak bisa komentar apa-apa.

 

Bahkan aku sendiri di tempat kerja, di medsos, dan dalam kehidupan nyata mendapatkan ucapan “Met milad, barakallah fi umrik...semoga makin dewasa dan makin sukses ya Sob.” Di Medoso biasanya aku jawab emoji saja. Tidak mengucapkan terima kasih. Namun di dunia nyata, biasanya aku tersenyum saja, jika memungkinkan aku berdiskusi tentang ini.

 

Hanya sedikit sekali yang kupahami, bahwa mengucapkan selamat ultah atau milad kepada siapa pun yang sedang ulang tahun, pada hari kelahiran tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Padahal menurut pikiran bodohku, Rasulullah adalah orang yang paling mengerti cara berinteraksi, bersosialisasi, berkomunikasi, dan bergaul dengan masyarakat. Rasulullah tahu persis bagaimana menyenangkan dan menghormati sahabat-sahabat dan keluarga Beliau. Rasulullah paling paham cara mensyukuri setiap nikmat, rahmat dan anugerah Allah Subhanahu Wata’ala. Rasulullah paham betul. Tapi mengapa Rasulullah tidak melakukannya?, Mengapa para sahabat, tabi’in, tabit tabi’in, dan para shalafus shalih tidak melakukannya? Ini yang membuatku berpikir untuk mencari jawaban terbaik dan memuaskan rasa ingin tahuku.

 

Mencermati Beberapa Sabda Rasulullah

 

Kembali aku ulangi, aku bukan sok alim, aku bukan siapa-siapa di dunia ini, hanya pendosa. Ini hanya caraku berbagi sesuatu.

 

Ada Hadits, yang artinya “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (H.R. Mutafaqun ‘Alaih). Hadit ini menjadi pegangan bahwa Rasulullah Shallallahu’Alaihi Wasallam, para shabat, tabi’in, dan tabit tabi’in saja yang sudah mendapat gelar khusus sebagai manusia dan generasi terbaik tidak merayakan hari ultah. Apalagi aku yang bukan siapa-siapa, hanya manusia pendosa, setiap hari ada aja hukum syarak yang tidak dipahami, akhirnya dilanggar.

 

Rasulullah Shallallahu ‘Laihi Wasallam bersabda: “Kamu akan mengikuti cara hidup orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga jika mereka masuk ke dalam lobang biawak kamu pasti akan memasukinya juga”. Para sahabat bertanya, ”Apakah yang engkau maksud adalah kaum Yahudi dan Nasrani wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: ”Siapa lagi jika bukan mereka?!” Berdasarkan hadits ini, aku kawatirkan diriku, anak-anakku latah dan ikut-ikutan cara hidup orang-orang non Islam, sedikit demi sedikit. Ketidaktahuanku tentang ini bisa jadi menyeretku untuk latah merayakan sesuatu yang tidak ada dalam agamaku. Kadang demi menyamakan kebiasaan, agar seirama dan satu frekuensi dengan orang lain, kita ikut-ikutan sesuatu yang unfaedah. Apalagi ada dalih “Sekarang semua orang telah merayakan ultah, masa kita saja yang tidak merayakan, apa kata dunia?.”

 

Hadits berikutnya, artinya “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”( HR. Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu Umar). Hadits ini banyak digunakan oleh teman-teman yang tidak mau merayakan ultah. Tidak apa-apa sih, yang penting ketika mecermati fenomena kehidupan, kita sedikit paham dalil. Kita harus tahu juga bahwa Allah telah wanti-wanti mengingatkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 36“ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran , pengelihatan, dan hati, semuannya itu akan diminta pertanggung jawabannya.”
(QS. Al-Isra’:36). Kemudian dalam Al-Qur’an Surat Annur ayat 15, “… dan kamu mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. an-Nuur : 15)

 

Ya Rabb...hadits dan ayat-ayat di atas makjleb bener buatku. Aku yang dulu ikut-ikutan sesuatu, karena tidak mengerti hukum syarak, tanpa mengerti dari mana asal perayaan itu, aku latah memperingati ulang tahun. Aku meninggalkan tuntutan yang ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Padahal aku sedikit tahu Rasullullah telah meninggalkan dua pedoman (Al-Qur’an dan Hadits) jika aku berpegang teguh pada keduanya, niscaya aku akan selamat. Tidak saja selamat di dunia, namun selamat sampai akhirat. Namun jarang aku baca, aku pelajari jika ada waktu luang saja.

 

Dulu, aku pernah menghadiri acara ulang tahun, karena kejahilanku. Terkecoh ketika itu, acara ulang tahun, namun berlabel syukuran, dan selamatan. Setelah sampai di tempat acara, baru aku tahu ternyata acara ulang tahun. Teman-teman ketika itu mengucapkan “Selamat Milad, Met Milad, Barakallahu fii Umrik. Aku juga ucapkan Barakallah fii umrik (berkah Allah atas umurmu). Aku benar-benar latah. Aku kira dengan ucapan itu agak Islami, karena memang lebih kedengaran Islami, dengan bahasa Arab. Mengganti selamat ulang tahun dengan met milad..., didahului dengan membaca basmalah, dan diakhiri dengan ucapan alhamdulillah. Islami banget menurutku ketika itu.

 

Belakangan baru aku tahu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan umatnya, “Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami padanya,  maka amalan tersebut tertolak (tidak diterima oleh Allah).” (HR. Muslim). Hadits ini menohokku, betapa banyak perbuatanku yang hanya ikut-ikutan, tidak ada perintah Allah dan Rasulullah tentang hal itu. Boleh jadi akal pikiranku menganggapnya baik, padahal baik (khair) dan buruk (syar) landasannya aturan Allah dan Rasulullah,  bukan akalku yang terbatas, apalagi kebiasaan. Meskipun logika bodohku kadang berpikir, Nabi, para sahabat, dan para shalafus shalih, jika beranggapan perbuatan ultah itu baik, maka beliau-beliau itu pasti lebih utama mengamalkannya. Namun mereka tidak mengamalkannya, berarti perbuatan itu tidak dikategorikan baik.

 

Sebenarnya aku bisa berpikir, ketika sampai di hari kelahiran, berarti satu tahun usiaku berkurang. Semakin berkurang umurku, semakin dekat aku dengan kamatian. Meskipun kematian tidak tergantung umur. Idealnya aku mempersiapkan bekal kematian, bekal amal pahala yang akan aku bawa menghadap Allah Subhanahu Wata’ala. 

 

Benar kata murabbiku...”Setiap muslim dtuntut untuk muhasabah setiap hari, karena setiap saat, detik, menit, dan jam yang dilalui tidak akan pernah kembali. Semua perbuatan yang tidak bermanfaat tidak akan berguna, dan tidak akan menolong di akhirat, kecuali iman dan amal shalih.”

 

Untuk itu semua, sudah sekian lama aku meninggalkan tradisi mengucapkan selamat ulang tahun, dan tradisi merayakan hari ulang tahun. Maafkan aku sahabat...jika di hari lahirmu aku tidak mengucapkan selamat milad, barakallah fii umrik. Cukuplah doa terbaik, yang kumohonkan kepada Allah setiap shalat untuk kebaikan sahabat. Semoga setiap do’aku untukmu diijabah oleh Allah Subhanahu Wata’ala, dan menjadi pahala bagiku.

 

Bumi Allah, 19 Agustus 2020/

 

 

Selasa, 18 Agustus 2020

MENGEMBAN DAN MENUNAIKAN AMANAH

Selasa, Agustus 18, 2020 0 Comments

 

Tiada iman pada seseorang yang tidak menunaikan amanah, dan tiada agama pada seseorang yang tidak menunaikan janji." (HR.Ahmad dan Ibnu Hibban)

Amanah itu berat, seberat apa yang diamanahka, dititipkan atau dipercayakan. Jika dipercayakan uang sepuluh ribu, maka amanah itu beratnya sepuluh ribu. Jika dimanahkan itu jabatan, maka berat amanah itu seberat jabatan. Apalagi jika diamanahkan menjaga umat, dan mengajaknya kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran. Maka amanah ini luar biasa berat. Bukan berat ringannya yang jadi persoalan, namun akuntabilitas kepada manusia yang mengamanahkan, Bahkan lebih berat lagi mempertanggungjawabkan amanah tersebut kepada Allah Subhanahu Wata’ala di Yaumul Hisab nanti.

Amanah bagiku amat berat, mengemban amanah ilahiyah dan nubuwah itu amat sangat berat. Meskipun demikian amanah ini harus kuemban. Secara alamiah perjalanan hati, akal, dan amalanku sudah mengehnadaki agar aku mengambil amanah ini. Sudah empat tahun berlalu, aku mengenal bahwa hidup bukan hanya sekadar hidup. Namun hidup adalah menjawab pertanyaan besar hidup ini. Itu sudah kudapati melalui tholibul ‘ilmi.

September 2016 lalu, aku mengenal risalah nubuwah lewat sahabat taat. Kini hampir September 2020. Berarti hampir empat tahun aku mendalami keyakinan, arah, dan visi hidupku. Sudah tiga panduan besar kuselesaikan, itupun harus mengulang satu panduan agar pemahamanku mantap. Selama tiga pertemuan setiap pagi Rabu berturut-turut, semenjak 22, 29 Juli, 05 dan 12 Agustus mengkaji dan memahami lembaran-lembaran cinta. Tepatnya Hari Rabu 12 Agustus 2020 jam 10.30 aku dan seorang temanku menerima dan mengambil amanah terberat ini. Bismillah...mudahkan hamba Ya Rabb. Hari ini aku ambil amanah terberat ini. Jika nanti di jalan ini aku harus kembali, mudahkan jalanku menuju-Mu Ya Rabb.

Sepekan sebelumnya sudah disugesti, agar aku beristigfar, memohon ampun, mohon petunjuk, shalat istikharah, menguatkan hati untuk mengambil tanggung jawab ini. Hari ini aku diingatkan kembali, dengan segala beban, amanah, dan tanggung jawab yang harus kutunaikan. Ya Rabb, meskipun akalku berbisik gamang, namun ini pilihan terbaik dan terpenting sepanjang hidupku. Di lembaran ini aku mencoba mentarbiyah diri, agar mampu menunaikan amanah berat ini. Cara berikut mungkin meringankan bebanku memikul amanah ini.

Cara Mengemban Amanah

1.    Niatkan menerima amanah karena Allah Subhanahu Wata’ala

Hidup tidak lepas dari amanah, sebab “Setiap orang dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban." (HR Muslim). Setiap kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Dan setiap apa yang kita pimpim akan diminta pertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Dengan demikian amanah itu banyak. Menjadi muslim, mukmin, muttaqin, muhlisin adalah amanah. Menjadi istri, suami, ibu, ayah, anak adalah amanah. Menjadi karyawan, atasan, dan jadi apapun kita adalah amanah. Maka terima setiap amanah karena Allah, bagi Allah, untuk Allah. Bukan untuk orang yang mengamanahkan.

Boleh saja orang yang mengamanahi lengah. Tidak meminta apa-apa, tidak ada akuntabilitas. Tidak minta laporan pertanggungjawaban. Kecuali komitmen hati, dan janji pribadi masing-masing. Hal itu tidak lantas menjalankan amanah sesuka hati. Yakinlah meskipun manusia lengah, Allah Subhanahu Wata’ala tidak pernah lalai, lupa, dan melupakan. Sekecil apapun perbuatan, perkataan, gerak langkah, bahkan bisikan hati, selalu dalam pantauan-Nya. Suatu saat akan dimintai pertanggungan jawab.

2.    Yakinkan diri, menjaga amanah adalah jalan ke surga Firdaus

Amanah itu berat. Saking beratnya tidak semua orang mau menerima amanah. Banyak yang enggan terlibat dalam proyek besar kehidupan. Menikmati zona nyaman. Hidup mapan. Aku harus yakin dibalik beratnya amanah, pasti Allah memberikan besarnya imbalan. Melipatgandakan kekuatan. Bukan semata karena imbalan amanah ditunaikan, namun karena rasa malu diri ini terhadap Rabb yang menciptakan.

Maka orang-orang yang menunaikan amanah dirindukan surga Firdaus. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman, artinya: Orang-orang yang menunaikan amanah dan menepati janji...mereka itulah yang mewarisi, yakni mewarisi Surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya (QS al-Mu'minun [23]: 8-11).

Demikian juga sebaliknya. Bagi orang yang mengkhianati amanah mendapatkan konsekuensi yang bersangatan. Allah Subhanahu Wata’ala mengharamkan sikap mengkhianati amanah, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian. Padahal kalian tahu (QS al-Anfal [8]: 27).

Menurut Ibnu Abbas ra. ayat di atas bermakna, "Janganlah kalian mengkhianati Allah SWT dengan meninggalkan kewajiban-kewajiban-Nya. Janganlah kalian mengkhianati Rasul saw. dengan meninggalkan sunnah-sunnahnya. Janganlah kalian bermaksiat kepada keduanya." (Al-Qinuji, Fath al-Bayan, 1/162).

3.    Mencontoh para sahabat dan shalafus shaleh

Orang yng diberi amanah bukan hanya kita, namun orang-orang terdahulu semenjak Nabi Adam ‘Alaihi Salam juga diberi amanah. Para Nabi dan Rasul juga diberi amanah. Bahkan para sahabat, salafush-shalih juga diberi amanah. Mereka orang-orang yang layak kita contoh.

Umar bin al-Khaththab Radhiallahu ‘Anhu ketika menjadi khalifah, beliau pernah dihadiahi minyak wangi kesturi dari penguasa Bahrain. Beliau lalu menawarkan kepada para sahabat, siapa yang bersedia untuk menimbang sekaligus membagi-bagikan minyak wangi kesturi itu kepada kaum Muslim. Saat itu, istri beliau, Atikah radhialla ‘anha., yang pertama kali menawarkan diri. Namun, beliau dengan lembut menolaknya. Sampai tiga kali istri beliau menawarkan diri, beliau tetap menolak keinginan istrinya. Beliau kemudian, berkata, "Atikah, aku hanya tidak suka jika engkau meletakkan tanganmu di atas timbangan, lalu engkau menyapu-nyapukan tanganmu yang berbau kesturi itu ke tubuhmu. Sebab dengan demikian berarti aku mendapatkan lebih dari yang menjadi hakku yang halal." (Al-Kandahlawi, Fadha-il A'mal, hlm. 590).

Pada riwayat lain juga pernah kita baca bahwa Khalifah Umar bin al-Khathab Radhiallahu ‘Anhu, pernah menjodohkan salah satu putranya, Ashim, dengan seorang gadis, anak penjual susu yang amanah. Kisahnya bermula saat sang Khalifah, sebagaimana kebiasaannya, berkeliling malam hari untuk memantau keadaan rakyatnya. Tak sengaja beliau mendengar percakapan dua orang wanita. Ibu dan putrinya, di sebuah gubuk kecil. Ibunya, merintahkan putrinya untuk mencampur susu dengan air. Kata ibunya, "Toh Amirul Mukminin tidak akan tahu." Namun, putrinya berkata, "Amirul Mukminin memang tidak akan tahu perbuatan curang tersebut. Namun, Tuhannya  Amirul Mukminin, Allah Subhanahu Wata’ala pasti tahu."

Khalifah Umar bin al-Khaththab Radhiallahu ‘Anhu, yang secara diam-diam mendengar percakapan itu pun bergegas pulang. Beliau lalu meminta putranya, `Ashim, untuk segera menikahi putri penjual susu tersebut karena ia gadis yang shalihah (Abdullah bin Abdul Hakam, Sirah `Umar bin `Abdil `Aziz, hlm. 23).

Hendaknya kita meneladani sifat amanah para sahabat dan salafush-shalih. Tidak ada tokoh lain di dunia ini, yang layak dijadikan referensi sifat amanah. Kita meneladani mereka karena keimanan, ketaqwaan, keistiqamahan, dan ketaatan mereka, bukan yang lain.

4.    Selalu berdo’a mohon dikuatkan Allah Subhanahu Wata’ala

Azamku kuat sudah tak bertepi, apalagi berbelah. Kuatkan Hamba Ya Rabb...di pundak rapuh ini diletakkan amanah terberat ini. Azamku semakin kuat dan semoga menjadi penguat. Memilih berada di barisan perjuangan, adalah nikmat terbesar yang selalu kuingat dan kucatat.

Inilah pilihan terbaik, di antara pilihan penting dalam hidupku. Di umur yang tidak lagi muda, hanya tinggal sisa hidup untuk menghadap Pencipta dan Pengatur Kehidupan. Jika aku belum jua berada di barisan ini, lalu kapan aku akan berbenah. Meskipun ajal rahasia Allah Yang Maha Kuasa.

Ikhtiar menjadi bagian dari pejuangan kebenaran adalan pilihan. Tidak ada jaminan, jika aku berpangku tangan. Agama ini tetap eksis di sisi Allah. Baik ada kita atau tanpa kita. Hidup adalah pilihan, mau mengambil peran perjuangan atau tidak. Jika kita tidak mengambil peran, pasti ada yang lain akan menggantikan. Bukan agama yang memerlukan kita, namun kita yang memerlukan agama. Betapa banyak orang biasa sepertiku disibukkan oleh urusan remeh temeh duniawi. Menghabiskan waktu, tenaga, harta dan energi. Apakah ada jaminan Allah untuk bahagia di akhirat sana?, Wallahu a’lam.

Aku selalu berdo’a, semoga langkahku memilih amanah ini menjadi langkah penting untuk meraih surga, menggapai kemenangan hakiki, menjemut bisyarah Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi Wasallam. Aku tidak pernah menyesal dengan pilihan hidupku. Kadang nafsuku berkata, dan mengajakku untuk menggapai berbagai obsesi duniawi. Otak kecilku kadang dijejali  penilaian kanan kiri.  Sebagai insan lemah yang memiliki naluri, kadang berpikir untuk menuruti. Agar bisa hidup memukau dengan kekayaan berkilau. Kadang orang memandang apa yang kumiliki. Mengapa aku memilih hidup bersahaja, semua tidak punya, yang ada hanya selembar jiwa berlumur dosa. Hanya dengan memilih amanah terbesar ini, menjadi wasilahku untuk bahagia di sana. Sebagaimana Firman Allah pernah kubaca:

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginy, dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia,  dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat.” (QS. Asy-Syura[42]: 20).

Ini jalan yang sengaja, ikhlas, dan direncanakan dipilih. Memilih dengan penuh kesadaran dan kehangatan iman. Aku tidak akan sesali pilihan penting ini. Sebab di ujung sana ada pintu kebahagiaan sejati. Meskipun di mata manusia aku tidak punya apa-apa. Tidak mendapatkan apa-apa. Aku hanya bercermin pada pejuang sebelumnya, mereka nyaris tidak memiliki apa-apa, demi menggengam ridha Ilahi. Bahkan mereka mengorbankan semua yang dimiliki. Baik waktu, jiwa, harta, bahkan nyawa di jalan ini. Kadang aku menangis belum mampu setegar itu.

“Suatu hari Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dia diutus oleh Allah untuk menanyakan keadaan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anha.,  yang kala itu berada di sebelah sang Nabi. Ia mengenakan jubah yang tak layak disebut jubah, karena hanya sehelai kain panjang yang dibelah dua lalu ia kenakan pada tubuh kurusnya yang menjulang. Jibril bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mengapa pakaian itu yang dikenakan oleh Abu Bakar?. Tentu sebuah pertanyaan retoris, karena Allah telah tahu jawabannya. Sang Nabi menjawab hal itu dilakukan Abu Bakar karena semua hartanya telah dihabiskan sebelum penaklukkan Mekkah. Jibril lalu berkata, “Katakan padanya, duhai Muhammad, Rabbmu menanyakan kepadanya ‘Apakah ia ridhlo kepada-Ku dengan kefakirannya ataukah ia marah?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  meneruskan perkataan Jibril kepada Abu Bakar. “Duhai Abu Bakar, ini Jibril membacakan salam untukmu dari Allah Ta’ala, dan Dia berkata, ‘Apakah engkau ridlo kepadaKu dalam kefakiranmu, ataukah engkau marah?” Abu Bakar terhenyak mendengar ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Sambil bercucuran air mata ia menjawab, “Apakah kepada Rabbku aku marah? Aku ridho pada Rabbku, aku ridho pada Rabbku.”(Hilyatul Auliya, juz &, hal 105, Maktabah asy-Syamilah).

Aku malu dengan kisah ini. Perjuanganku baru dimulai. Kadang amalku pakai pretensi, minimal ingin dapat pahala, bahkan minta surga tertinggi. Aku terlalu pede, dengan amal secuil, lalu aku berharap surga Firdaus. Memang jalan perjuangan ini tidak mudah. Aku harus berupaya melatih kesabaranku. Merenungkan hidupku, bahwa keadaanku jauh lebih mulia di sisi Rabbku jika menolong agama ini. Semua kuserahkan pada-Nya. Hal terpenting aku harus optimalkan do’a, ikhtiar, dan daya juangku. Apapun qadha-Nya harus aku terima.  Aamiin...Bismillah.

 

Rabu, 12 Agustus 2020

REZEKI HAKIKI, BUKAN HANYA MATERI

Rabu, Agustus 12, 2020 0 Comments


Kembali merefleksi hakikat rezeki, bukan diukur dengan banyaknya materi. Bukan pula ditakar dengan  banyaknya harta dan besarnya tabungan pribadi. Rezeki sesungguhnya adalah semua nikmat, rahmat, hidayah, inayah, dan istiqamahnya insan memegang dan memperjuangkan kebenaran Ilahi.


Persoalan rezeki bukan persoalan iman, namun persoalan takaran taqdir yang ditetapkan Allah Subhanahu Wata'ala pada setiap insan.Lima puluh ribu tahun sebelum bumi diciptakan. Jumlah, bentuk, jenis, cara sampai pada setiap insan memiliki perbedaan. 


Jika rezeki diukur dengan aqidah dan taqwa. Maka para Rasul dan Nabi, ulama besar, dan orang paling shalih, tentu kaya semua. Namun banyak di antara mereka hidup susah, sederhana, bersahaja, dan jauh dari harta dan kemilau dunia.


Sebaliknya banyak orang-orang non Islam, tidak muslim, tidak beriman, bahkan atheis, bahkan banyak yang  milyader. Memiliki banyak aset, kekayaan pantastis membuat kita ngiler. Kemana saja pakai jet pribadi, punya pulau, villa mewah, dan semua urusan mereka serba super. Apakah pertanda bahwa Allah Subhanahu Wata'ala cinta dan sayang pada mereka secara bener?


Tiada nikmat yang pantas disyukuri. Selain hidayah, hijrah, dan terus berbenah. Mulai dari berbenah fikrah, thariqah,  aqliyah, nafsiyah, sampai syakhsiyah. Bertemu sahabat taat dalam hijrah, menyatu dalam ukhuwah. Aqidah dan tsaqafah Islam menjadi rabithah, penguat silah ukhuwah. Memang bukan karena ukhuwah kita hijrah, namun tanpa ukhuwah hijrah bisa  goyah, jika tidak Lillah. Bukan karena ukhuwah kita berbenah, namun tanpa ukhuwah, berbenah kurang menggugah. 


Sungguh, fikrah, thariqah Rasulullah, perpaduan antara antara keduanya, menentukan manusia berubah, menuju taat dan berbuat tuk kemajuan ummah. Tanpa fikrah dan thariqah yang valid, maka hijrah sekadar merubah arah. Awalnya  awam, akhirnya paham makna syahadah. Namun dalam kehidupan menganggap sepele pelanggaran hukum syariah. Meskipun setiap pagi dan sore dilafalkan doa' rabithah di akhir almathsurah.


Banyak organisasi yang dimasuki, dari sekuler sampai taat menurut kacamata insani, hingga sedikit hafal tabiat beberapa organisasi. Dari sekadar kumpul-kumpul berdiskusi. Sampai kegiatan bermanfaat secara manusiawi. Dari hanya sekadar mencari sensasi, gengsi, partisipasi, sampai memperjuangkan nasib di legislasi. Hanya satu yang demikian nyantol di Hati. 


Sampai pada suatu massa. Muncul persepsi, ibadah sunnah yang dilakukan, seperti shalat Dhuha, shalat Nafilah, Tahajjud, dan sedekah adalah ibadah luar biasa, untuk menjemput dan membuka rezeki dari Allah Subhanahu Wata'ala. Kala itu menduga rezeki hanya berwujud harta. Banyak uang, orderan berlimpah,  banyak usaha, lancar bekerja.  Setiap bulan tabungan bertambah nominalnya. Ada aset di mana-mana. Kala itu, berpikir rezeki hanya harta, kaya, jika kaya bisa bahagia. 


Kemudian berusaha menguatkan aqidah, menambah tsaqafah Islamiyyah, akhirnya persepsi tentang rezeki diperbaiki. Memang diakui,  harta termasuk uang memang rezeki. Namun harta dan uang adalah rezeki yang paling rendah dan hina di sisi Ilahi. Makanya nabi mengatakan celaka pada hamba materi. "Celaka hamba Dinar, celaka hamba dirham, celaka hamba busana, celakalah hamba perut bila terpenuhi dia merasa tenang, bila tidak, ia tidak merasa tenang" (H.R. Bukhari).


Logikanya, Nabi tidak memuji  hamba harta. Nabi yang kuat imannya, maksum dari dosa, dan istimewa di hadapan Allah Subhanahu Wata'ala, menganggap celaka hamba harta.  Tentu kita sebagai umatnya harus sami'na wa'atha'na pada Rasulullah. Kita hanya manusia biasa, gampang tergoda, dan mudah terkesima. Tentu harus ekstra hati-hati terhadap harta. Bukan tidak boleh berharta, namun jangan jadi hamba harta. 


Beranjak dari fakta ini, baru disadari, bahwa rezeki itu luas sekali. Semua yang ada dalam diri, dan di luar diri asalkan maslahah  menurut Allah Subhanahu Wata'ala adalah rezeki. Ketika lahir dengan potensi fitrah, punya akal, hati,  dapat anugerah dan mampu memenuhi kebutuhan jasmani adalah rezeki. 


Ketika  memiliki kemampuan mengelola gharizah beragama, gharizah melangsungkan keturunan, dan gharizah mempertahan diri, selaras dengan ketentuan Allah Subhanahu Wata'ala adalah rezeki. 


Ketika kita mampu mengelola dan  memberdayakan akal dan nafs kita agar sesuai dengan ketentuan syarak yang terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits Nabi adalah rezeki.


Ketika kita diberi Allah kesehatan, kesempatan, kemauan, dan kekuatan untuk merealisasikan belajar Islam adalah fardhu 'ain (wajib bagi setiap individu) adalah rezeki.


Ketika kita diberi  Allah kesempatan, kesehatan, dan kemudahan untuk mengamalkan ilmu yang kita pelajari, menyesuaikan semua amalan dengan aturan Ilahi, dilindungi dari berbuat bit'ah, kurafat, dan tahayul adalah Rezeki. Sehingga kita beraqidah benar, beribadah shahih, bermuamalah benar adalah rezeki. 


Ketika Allah memudahkan kita untuk beramal shalih kemudian berjuang untuk menshalihkan orang lain secara intensif,  kontinue, konsisten dan istiqamah adalah rezeki. 


Ketika kita dikelilingi oleh orang-orang baik, orang shalih, sahabat taat dan shalihah, bertaqwa, mengingatkan kita tentang eksistensi hidup di dunia,   pentingnya aqidah dan taat pada adalah rezeki.  


Ketika masih memiliki kedua orang tua, meskipun sering marah-marah dan berulah, lalu kita lelah, kurang tabah menghadapinya adalah rezeki. Bakti pada orang tua merupakan ladang pahala, mengumpulkan banyak berkah.  Do'a orang tua diijabah, terutama ibu pembuka pintu surga. Berbakti sepenuh cinta, sebagaimana dulu ketika kecil orang tua menyayangi kita, maka pantaslah kita memohon do'a mohon perlindungan dan cinta Allah Subhanahu Wata'ala, dianugerahkan pada ortu kita.


Ketika kita memiliki sekeping hati, sebongkah otak,  secantik dan sekuat raga. Bersih dan suci hati terhadap sesama, jauh dari penyakit hati yang menyiksa,  dicondongkan untuk mencintai Allah dan Rasulullah. Itu adalah rezeki. 


Ketika semua harapan tidak menjadi kenyataan.  Cita-cita yang sulit dicapai, dihadapkan pada situasi sulit, banyak penderitaan, dan penuh keterbatasan, itu adalah rezeki. Sebab jika diringankan dan dimudahkan oleh Allah. Mana tahu kita akan kehilangan arah. Akhirnya berulah, dan jauh dari kata shalih dan shalihah. 


Tubuh yang sehat atau sakit keduanya adalah rezeki. Sehat dan sakit boleh jadi ujian, bisa jadi juga musibah dari Allah Subhanahu Wata'ala. Ujian untuk menaikan level keimanan, sedang musibah adalah cara Allah menggugurkan dosa hamba-Nya. Keduanya adalah baik di sisi Allah.  


Buya Hamka pernah menjelaskan pada anaknya, "Rezeki bukan bermakna kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan,  namun juga termasuk apa yang Allah anugerahkan padamu."


"Kamu belajar tentang shirah, Maryam binti Imran tidak menikah, tapi dapat anak. Itulah rezeki. Aisyah binti Abu Bakar menikah dengan Baginda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, namun tidak punya anak. Itupun rezeki."


"Allah Subhanahu Wata'ala mendatangkan Nabi Musa 'Alaihi Salam ke rumah Fir'aun sebagai anak angkat untuk membawanya ke syurga. Namun Fir'aun tetap menjadi manusia celaka dengan memilih masuk neraka."


"Allah juga mengantarkan Nabi Nuh 'Alaihi Salam untuk menyelamatkan kaumnya,  tetapi anak isterinya sendiri durhaka dan enggan menerima dakwahnya."


"Pelajarilah sesuatu dari kisah-kisah seperti itu. Sungguh kamu akan paham bahwa rezeki setiap orang tidak sama."


"Setiap orang yang punya suami atau punya isteri, ada anak, dan ada tanggung jawab. Mudah dapat pahala. Tapi juga mudah dapat dosa."


Bagi yang tidak bertemu jodoh, yang tidak dikaruniai anak pun suatu rezeki juga.  Terlepas dari tanggung jawab dan resiko mau menjawab apa di hadapan Allah Subhanahu Wata'ala nanti."


Sebagai insan berpikir, bagusnya kita pahami konsep rezeki. Sebelum mengeluh atau galau  hati. Tidak ada yang semestinya untung dan tidak ada semestinya rugi.  Setiap kita mendapatkan apa yang kita kehendaki. Ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan berarti kita tidak berhak mendapatkan rezeki. Qadha Allah itu sifatnya misteri. Ketika menerima setiap qadha apakah kita meneteskan air mata Ridha dan ikhlas, tabah dan tawakkal yang akan menghanyutkan kita ke Surga Allah Rabbul 'Izzati. Justru rezeki itu bukan bermakna kamu mendapatkan apa yang kamu kehendaki. Tetapi kamu Ridha dan ikhlas menerima apa yang Allah beri. Sebab kebahagiaan paling hakiki bukan terletak pada qadar rezeki yang Allah beri, tetapi sejauhmana manusia ridha menjalani setiap perjuangan, dan berupaya dalam setiap amalan mencapai taraf Ridha Ilahi.


Wallahu A'lam Bisshawab.

Senin, 10 Agustus 2020

BENARKAH CINTA ITU BUTA?

Senin, Agustus 10, 2020 0 Comments

 


Pernah sahabat mendengar ungkapan “C
inta itu buta (love is blind). Apakah ungkapan ini benar, setengah benar, atau salah?. Apakah cinta itu memiliki mata sebagaimana halnya manusia? Menurut saya tidak. Cinta tidak buta seperti dikatakan kebanyakan orang, justeru yang buta adalah individu yang memiliki atau menginginkan cinta tanpa batas. Jika cinta itu buta maka cinta tidak akan mengenal objek  yang mencintai atau dicintai. Jika cinta memang buta, maka mustahil dapat mengantarkan  orang pada kesempurnaan penciptaan dan tugas hakiki sebagai hamba dan khalifah di muka bumi.  Jadi cinta merupakan rasa terdalam seorang hamba pada Sang Pemberi Cinta, yaitu Allah Subhanahu Wata’ala.


Cinta tidak buta. Cinta adalah cahaya yang datang menyinari hidup , hingga terang benderang, mencerahkan, dan memberdayakan manusia untuk menjadi mulia di sisi Allah Subhanahu Wata’ala. Cinta memberi petunjuk pada individu, agar senantiasa berjalan lurus menuju tempat terluas dalam hatinya disebut syaqafa, sehingga menenteramkan jiwa secara keseluruhan.


Cinta itu mencerahkan hidup manusia dari kegelapan, keterpurukan, kegalauan, dan kenelangsaan hati, yang lahir dari aneka himpitan hidup. Cinta juga memberdayakan individu untuk lebih mampu mengenal potensi, mangasah kemauan, dan berjuang untuk kebaikan diri dan orang lain, serta amunisi terbesar dalam berjuang menjadi yang terbaik dan mulia di sisi Rabb Pencipta Alam.


Cinta merupakan anugerah terindah yang diberikan dan ditanamkan Allah pada hati manusia. Ketika cinta bersemi di taman hati, kita bisa saja melihat cahaya cinta sebagai cahaya pagi yang lembut, dan sebening embun. Atau kita melihat cahaya cinta laksana cahaya senja yang romantic, atau cahaya malam yang dingin membuat qiyamul lail makin terasa khusyu'


Biasanya ketika cinta ditolak dkun bertindak, eh salah, berarti cinta tidak berbalas, muncul rasa sakit hati, sakitnya tuh di sini. Berat, dan amat berat. Maka sebagian kita mempersepsi cinta sebagai cahaya yang bersinar tajam, dan dahsyat, sehingga menyilaukan dan membutakan mata. Kita kehilangan kemampuan untuk mengenal sesuatu di sekeliling kita. Kita akan berjalan sempoyongan, kaki tersandung batu, dan boleh jadi kepala terantuk ke sana-sini.  


Berdasarkan logika itu, maka ungkapan “Cinta itu buta merupakan penghayatan dan persepsi manusia tentang cinta dengan lingkup keterbatasannya melihat cahaya cinta. Ketika cahaya itu datang dan pergi dalam hidupnya. Penghayatan terhadap cinta dipengaruhi situasi, kondisi, ilmu, dan pengalaman hidup. Jika hidup penuh kegelapan, maka cahaya yang datang serasa menyilaukan dan membutakan. Namun bersama berlalunya waktu, individu akan mampu beradaptasi dengan cahaya, dan semakin memahami dan menikmati arti hidup  dalam cahaya. Mungkin selama ini individu tidak merasakan dan mengalami indahnya hidup dalam cahaya, sebab yang diketahui hanyalah kegelapan.


Kegelapan hidup yang dialami dan dirasakan individu mengakibatkan individu tersebut  tidak memahami manfaat cahaya, sehingga bisa jadi membuang cahaya tersebut. Asumsi yang digunakan bahwa cahaya sesuatu yang tidak normal dan tidak bermanfaat.  Individu akan mempersepsi bahwa cahaya merupakan sesuatu yang tidak berguna, dan membuangnya jauh-jauh, bahkan melupakan untuk selama-lamanya. Dia merasa hidup normal dengan kegelapan, sebab kegelapan adalah pengalaman yang biasa dialami. Individu tersebut boleh jadi merasa tidak apa-apa, tidak merasa kekurangan, atau merasa ada yang hilang dalam diri. Padahal sesungguhnya dia sangat membutuhkan cahaya itu, sehingga mengatakan cinta sebagai kebutaan.


Individu yang dibesarkan secara kondusif dan kaya pengalaman cahaya terang. Ketika cinta dating, ia akan mempersepsi cinta sebagai cahaya yang lebih terang dari yang pernal dikenal. Mungkin cahaya tersebut membuat silau dan memedihkan mata. Untuk menetralisir cahaya tersebut kita perlu menutup mata lebih dahulu, untuk kemudian penglihatan kita normal kembali. Kita menjadi tahu segala sesuatu yang ada di sekeliling kita. Kita membutuhkan adaptasi dengan cahaya yang datang, sehingga membuat banyak hal kelihatan. Sebelumnya tidak nampak, dan kita mampu melihat sesuatu secara lebih jelas, yang sebelumnya terlihat samar-samar.  Cahaya cinta yang datang membantu kita untuk memahami apapun yang ada di sekitar kita, dan kita dapat mempersiapan diri menghadapi kejadian, karena kita dapat melihat dengan terang hikmah yang dikemas Rabb kita untuk kemaslahatan diri kita.


Allah Subhanahu Wata’ala memberikan cinta yang sama pada setiap mahkluknya termasuk manusia, namun cara orang memahami cinta tersebut berbeda-beda. Tergantung pengalaman dan penghayatan orang tersebut tentang cahaya.  Hidup dalam kegelapan atau terbiasa hidup dalam cahaya, itu adalah pengalaman spesifik yang kita dialami dengan segenap jiwa. Ketika cinta datang pada individu yang berpengalaman dengan cahaya, ia akan mempersepsi cahaya dengan tepat, dan mampu membedakan jenis cahaya pagi yang lembut, dengan cahaya senja yang hangat, atau cahaya malam yang dingin. Hidup dalam cahaya meningkatkan kemampuan kita untuk mengenal cahaya matahari dan cahaya rembulan atau bintang-bintang, dengan cahaya lampu jalanan, atau lampu sorot diskotik. Semua berbeda sesuai dengan kegunaan da tempat masing-masing.


Hidup dalam cahaya membuat kita memiliki kemampuan untuk membedakan antara kegelapan dengan cahaya, antara samar-samar dan remang-remang, antara cahaya abadi dan cahaya buatan manusia, antara cahaya pantulan dan cahaya sebenarnya. Pengalaman hidup dengan cahaya mengasah mata hati mengenal kebenaran dan kebatilan. Semua cahaya berguna untuk hidup manusia, dan sangat membantu manusia mengenal ciptaan Rabb dalam lingkup Kehamakuasaa-Nya. Pada akhirnya membimbing kita menuju cinta sejati yang vertikal akan kuat jika dibantu oleh  penghayatan cinta horizontal. Kita akan menghindarkan diri untuk bersumpah serapah pada kelembutan cahaya pagi,  pada kehangatan cahaya senja, dan dinginnya cahaya malam. Semua cahaya berguna dengan keunikannya masing-masing.


Cinta adalah cahaya yang dianugerahkan Allah untuk menerangi hidup manusia. Ketika kita menyatakan cinta itu buta berarti kita tidak memiliki kemampuan untuk melihat cahaya dengan keunikan dan manfaatnya masing-masing. Hal ini berarti kita tidak bersyukur dan menghargai cahaya yang diciptakan Allah. Ketika cinta datang itu adalah cahaya lihatlah dengan mata hati, ketika cinta pergi maknailah dengan hikmah akan datang cahaya yang lebih terang, dan ketika cinta tidak mengenal tempat, sistuasi dan wadah, persepsilah dengan hati yang bening bahwa cinta urusan perasaan bukan urusan logika kita yang banyak argumentasi, namun enggan mencari dalam agama kita sendiri.

Bumi Alla, 10 Agustus 2020