Follow Us @soratemplates

Senin, 27 Januari 2020

MAAFKAN, JIKA SAYA LUPA

Pagi itu, di salah satu masjid di kota ini. Saya dihampiri akhwat sebelum kajian dhuha dimulai, "Masih ingat saya bu?" saya terdiam, berusaha keras untuk mengingat,  namun gagal. "Dulu, saya mahasiswa ibu," dia mencoba membantu ingatan saya, namun sebegitu keras saya berusaha mengingat, tetap saja saya tidak mampu mengingat akhwat tersebut.

Sebenarnya, saya bisa saja berargumen bahwa mahasiswa yang pernah saya ajar itu banyak. Datang silih berganti setiap tahun akademik. Ditambah lagi saya pernah mengajar tidak di satu perguruan tinggi.

Saya tidak tega melihat ekspresi kecewanya. Wajahnya sangat berharap saya mengingat dia. Namun saya tidak mampu. Saya hanya tersenyum, menanyakan kabar, dan mendo'akannya. Dia menjawab, tapi kelihatan agak kecewa, karena saya tidak menyebut namanya. "Ya Rabb bantu hamba mengingat namanya" do'a saya dalam hati".

Kejadian ini tidak sekali, dua kali terjadi. Ini pengalaman yang tidak menyenangkan, ketika bertemu seseorang yang berusaha mengingatkan saya tentang dia, namun saya berulang kali tidak berhasil mengingat nama, kapan, dan dimana bertemu dengannya. Ini peristiwa memalukan, bahkan menyedihkan bagi saya pribadi. Sama halnya dengan saya, ketika menyapa seseorang, namun orang itu tidak mengenal atau tidak ingat saya, atau pura-pura tidak ingat.

Pengalaman ini pernah terjadi. Ketika saya bertemu seseorang yang sudah saya kenal bertahun-tahun. Kemudian komunikasi terputus, dia hidup di kota lain. Dia sukses dalam karirnya, punya anak berprestasi, rumahnya mentereng, dan memiliki kenderaan mewah. Ketika bertemu, saya ucapkan salam tapi tidak dijawab, jabatan tangan saya tidak dibalas, malah dia pergi seolah tidak pernah kenal saya. Saya heran, ada apa ini? apakah saya pernah menzaliminya? Belakangan, saya dengar dari beberapa teman, memang selama ini dia memang demikian, kecuali pada pejabat, orang berkedudukan, terhormat, kaya, dan berjasa padanya. Barulah dia akrab.

Saya heran, masa sih kita harus demikian? Merasa tak pantas ramah pada semua orang? Terutama pada mereka yang seaqidah dan sesama muslimah? Islam yang saya pahami tidak demikian. Kenapa kita harus lupa daratan, menjadi manusia tinggi hati, dan alkibr. Kriteria alkibr di antaranya: merendahkan dan sengaja melupakan orang lain, tidak menyapa, tidak mengucapkan salam, tidak tersenyum, serta enggan berjabat tangan.

Oleh karena itu, wahai ananda sayang, jika kita pernah membahas sepenggal ayat Allah dalam kelas, maafkan ibu jika ibu lupa nama ananda, ibu hanya manusia biasa yang memiliki keterbatasan."
Ibu pun berusaha sekuat tenaga mengingat siapa yang pernah ibu temui, berteman dengan ibu, dan pernah belajar dan beraktivitas bersama ibu,
karenanya maafkanlah ibu, jika ibu lupa."

Jangan sungkan untuk menyapa, mengucapkan salam dan ulurkan tangan jika berjumpa. Insyaa Allah saya akan menyambut dengan hangat, baik saya berhasil mengingat, ataupun tidak. Karena, saya juga sedang belajar untuk menjadi teman yang baik, yang hangat bagi muslimah lain, bukan karena sok akrab, tapi karena belajar dan berusaha mengikuti tuntunan Nabi kita.

Bukan hal yang sulit untuk tersenyum, mengucapkan salam, berjabat tangan pada sesama muslimah. Walau saya tahu ada juga orang yang enggan melakukan itu pada semua muslimah. Ada orang yang lebih memilih mulutnya terkunci, salam tak terucap, dan enggan berjabat tangan antar sesama muslimah.

Tetapi bagi kita, hanya Allah yang Maha Tinggi yang berhak sombong, meski kita tahu Allah juga Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tidak wajar dan tidak pada tempatnya kita merasa lebih berhak tinggi dan sombong dari Allah? Na’udzubillahi min dzalik. Sekali lagi, maafkanlah, jika saya lupa.

Masjid Baitul Muttaqin Kota Malang, 140719

Tidak ada komentar:

Posting Komentar