Follow Us @soratemplates

Selasa, 28 Januari 2020

URGENSI RASA MALU

Fakta kehidupan menyampaikan bahwa rasa malu kian tergerus dalam kehidupan orang. Contohnya di media sosial. Ditemukan banyak foto, baik foto biasa maupun foto selfi berbagai gaya, dari gaya klimis, narsis, romantis, sampai agamis. Begitu juga video, komentar, celotehan, ungkapan rasa hati, kecewa, bahkan rahasia pribadi diumbar tanpa rasa malu. Bahkan ada yang mempublikasikan keromantisan yang seharusnya dirahasiakan di belakang pintu kamar pribadi. Ada juga membuat status tentang aktivitas dan kemajuan pekerjaan setiap hari, sehingga orang lain sampai hafal karakternya di media sosial. Jika tidak sempat posting status satu kali saja, kita akan bertanya:"Ada apa gerangan, kok tidak buat status hari ini?"

Tidak masalah kita buat status di media sosial, asalkan isinya kebaikan, nasehat, dakwah, hikmah, motivasi, atau informasi terkini. Tidak masalah juga posting video, jika dengan video itu diri kita dan orang lain mendapat pelajaran berharga tentang dien kita dan kehidupan. Namun jika semua sisi kehidupan kita posting, akan menguras tabungan privasi diri dan kehormatan kita di hadapan orang lain. Kita perlu menyisakan privasi dan rahasia pribadi dan rahasia kehidupan kita sebagai indikator bahwa kita masih memiliki rasa malu. Tidak semuanya harus diumbar. Tidak semuanya harus diketahui orang. Paling ironisnya, mengumbar amal shalih lewat foto dan video dengan caption "Alhamdulillah sudah selesai tilawah 1 juz", "Alhamdulillah sedang transit di Dubai menuju Mekkan dan Madinah", "Alhamdulillah lagi di Muzdalifah". Kira-kira dari foto dan video ibadah itu pesan apa yang mau disampaikan? dakwah?, motivasi?, entahlah. Seolah-olah dua Malaikat Allah tidak mampu mencatat secara rinci semua amal shalih seorang hamba.

Rasa malu juga berfungsi sebagai filter kewarasan. Orang waras masih memiliki rasa malu ketika berbuat sesuatu di luar kewarasan. Berbeda dengan orang gila, tidak ada lagi rasa malu melakukan perbuatan tidak waras. Ya iya lah, orang gila memang tidak waras. Lebih gila lagi ketika orang waras, melakukan perbuatan tidak waras. Orang gila melakukan sesuatu yang tidak waras masih dimaklumi orang. Namun orang waras melakukan hal yang tidak waras, berarti ada gangguan kewarasan.

Ketiadaan rasa malu pada orang waras adalah awal kehancuran suatu kaum atau suatu bangsa. Sebagaimana Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam "Jika Allah hendak menghancurkan suatu kaum, maka terlebih dahulu Allah melepas rasa malu pada kaum itu."(HR. Bukhari dan Muslim).

Pepatah Minangkabau juga mengatakan "

Rasa malu mendatangkan kebaikan. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam Bersabda: "

Jadi rasa malu adalah seluruhnya mengandung kebaikan. Rasa malu yang tepat adalah rasa malu karena syariat, bukan rasa malu karena manfaat, apalagi rasa malu yang tidak tepat. Adakah rasa malu yang tidak tepat?. Ada. Ketika rasa malu tidak pada tempatnya. Mengatasnamanakan rasa malu padahal sebenanrnya gengsi. Misalnya malu pakai jilbab dan kerudung, malu pakai kaos kaki, malu melaksanakan shalat, malu puasa, malu membaca al-Qur'an, malu memutar murathal al-Qur'an, malu bicara Islam, malu nanti dibilang sok alim, sok suci, sudah hijrah, dan malu berbuat amal shalih lainnya. Inilah malu yang tidak tepat. Menenmpatkan rasa malu terhadap manusia di atas rasa malu terhadap pencipta. Padahal Rasulullah menegaskan: "

Kedudukan rasa malu dalam syariat Islam sangat tinggi. Sebagaimana sabda Rasulullah:"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar