Follow Us @soratemplates

Senin, 20 Januari 2020

MENJADI DIRI SENDIRI

Tanpa disadari, terkadang kita kehilangan independensi dan kesejatian diri. Gaya hidup dipilih atas dasar gengsi, bukan pilihan sadar, terencana, penuh kalkulasi, sesuai kemampuan diri, dan terhindar dari berbagai konsekuensi.

Demi gengsi kadang tanpa sadar kita dicekoki ideologi asing, seperti  kapitalism, materialism, liberalism, pragmatism, dan hedonism. Ideologi asing menjadikan kekayaan, harta, uang, mobil, emas, dan kesenangan dunia sebagai simbol eksistensi dan keberhargaan diri. Demi simbol itu, kita melakukan berbagai upaya untuk memperbanyak kuantitas simbol-simbol tersebut.  Ukuran keberhargaan diri bagi idelogi asing itu adalah kuantitas kepemilikan harta. Semakin kaya seseorang semakin dihormati, diperhitungkan, dan disegani. Untuk itu, mereka memperbanyak jumlah simbol-simbol kekayaan (rumah mewah, mobil mewah, perabotan mewah, perhiasan, aneka  barang elektronik bermerek, canggih keluaran terbaru dll).

Bagi penganut ideologi asing itu,  hanya simbol-simbol tersebut dan kesenangan ragawir yang diperjuangkan. Wajar saja, mereka tidak meyakini hari berbangkit, dan menafikan keberadaan Tuhan dalam hidup mereka. Anehnya, kita yang meyakini Islam sebagai agama sekaligus ideologi pun  terjebak dengan ideologi tersebut, sehingga pandangan kita terhadap kemuliaan manusia pada awalnya pada tingkat ketaqwaan,  bergeser pada pandangan kemuliaan menurut perspektif ideologi asing tersebut. Kita mempersepsi hidup bahwa ukuran kemuliaan manusia adalah banyaknya jumlah simbol-simbol kekayaan seseorang. Semakin kaya semakin dimuliakan, dihormati, disegani, dan disanjung. Sebaliknya semakin miskin, bersahaja, hidup sederhana, dan tidak punya semakin dipandang hina. Terkesan kita menafikan ukuran kemuliaan menurut Pencipta kita.

Demi apa? ya demi gengsi. Kita gengsi dikatakan miskin. Kita gengsi hidup sederhana. Kita gengsi jika tidak punya mobil.  Kita gengsi berjalan kaki. Kita gengsi naik gojek. Kita gengsi jika tidak punya pakaian, tas,  sepatu bermerek. Kita gengsi jika tidak jalan-jalan. Kita gengsi semuanya jika sama dengan orang lain. Kita meletakkan gengsi pada simbol-simbol yang tidak kita buat berlandaskan pemikiran, prinsip, dan ketentuan Pencipta kita. Bahkan kita tidak paham makna gengsi itu sendiri. Kita hanya ikut-ikutan. Kita kadang tidak paham alasan mengapa kita berbuat sesuatu.

Atas dasar ketidaktahuan kita tentang standars hidup Islami. Atas dasar ketidakmengertian kita tentang sistem ekonomi dalam Islam, kita mudah dikelabui dengan istilah "syari'ah" dan "halal." Pengalaman menarik, ketika bertanya pada seseorang yang dianggap mumpuni "Bagaimana menurut almukarram, jika saya ambil pembiayaan pemilikan rumah (PPR) di bank syariah x? Dengan semangat almukarramnya menjawab: "Bagus, menurut saya yg ada label syari'ah itu berbeda akadnya dibandingkan dengan yang konvens. Kenapa? karena segala sesuatu ditentuntukan oleh akad. Orang berzina dan suami istri perbuatannya sama tapi akadnya berbeda, maka hukumnya berbeda, yang satu halal, yang satu haram. Akhirnya  si faqir ilmu fiqih seperti saya menerima pendapat almukarram tersebut. Jadilah ketika itu bambil pembiayaan pemilikan rumah (inilah resiko berbuat tanpa ilmu, semoga Allah mengampuni, aamiin).

Menuntut ilmu itu memang sepanjang hayat. Supaya kita jangan tersesat. Beramal tidak boleh menggunakan ukuran perasaan dan anggapan. Merasa caranya sudah benar, menganggap perbuatan kita sudah benar menurut kita sendiri. Padahal belum sesuai syariat. Kita tidak terkecoh dengan label syari'ah, padahal cara, prosedur kerja, istilah lain yang mengiringi akad itu masih konvensional. Jadi, "kemasannya syariahs isinya tetap konvensional."  Kadang kita tidak peduli, mau syariah, mau konvensional. Sama saja, sama berhutang, masih mendingan dari pada minjam ke tengkulak. Logika ini perlu dikritisi, berutang boleh dalam Islam, asalkan nama, cara, prosedur, dan tujuannya sesuai Islam. Bahkan ayat terpanjang dalam surat al-Baqarah adalah tentang utang, namun harus berlaku syarat dan ketentuan Islam.

Ironisnya, sebagian kita yang sudah tahu hukum suatu perbuatan melanggar ketentuan. Demi apa? Demi gengsi. Kita tidak peduli, asalkan ambisi mempertahankan gengsii tercapai, asalkan kita dianggap gaul, berkelas tepenuhi, cara apapun sah-sah saja, dan aneka bentuk ngeles lainnya. Untuk hal ini logika kita seolah menghadirkan sejuta argumen. Tapi apakah nanti kita masih bisa ngeles di pengadilan Allah.

Demi gengsi kita kehilangan jati diri. Siapa bilang tidak boleh kaya. Buktinya sahabiyah ada yang kaya, bacalah kehidupan Khadijah binti Kuwailid. Kaya itu boleh, yang tidak tepat ingin kaya demi gengsi, demi pandangan orang, dan demi dianggap berada, demi gayag hidup seperti orang berideologi di luar Islam. Demi itu semua, kita rela terjerat hutang Ribawi, membayar kredit mobil, bayar premi asuransi, nyicil rumah, bayar angsuran talangan haji, ikut multi level marketing, deposito, dan bermain saham. Kita beranggapan itu sah-sah saja, karena semua orang melakukan, berarti hukumnyah boleh, tidak apa-apa, riba-riba sedikit tidak masalah.

Kita memilih gengsi dibandingkan rasa takut terhadap sanksi Ilahi. Kita berdalih yang penting akadnya syari'ah, seperti Mudharabah, syirkah, wakalah dll. Apakah cukup hanya sampai diakadnya saja. Bagaimana proses transaksinya, kaitan antar sistem di dalam institusinya, SOP-nya, instansi yang terkait dg akad itu,  dan aturan lain yang menyangkut transaksi itu yg tidak sesuai dengan Islam. Kadang kita masa bodoh dengan semua itu.

Demi gengsi kita merasa sangat hina jika hidup sederhana, hidup bersahaja tanpa hutang. Tidak sampai di situ, kita pun memandang rendah orang yang sebenarnya mampu memnayar cicilan pinjaman Ribawi,  tetapi tidak mau meminjam. Kita mengatakan orang itu bodoh, terlalu idealis, kampungan, tidak pandai mengelola gaji, atau terlalu boros. Padahal kita tidak pernah bertanya bagaimana pandanganya tentang pengelola harta menurut Islam. Penadapatnya tentang pinjaman Ribawi, dan pendapatnya tentang keberkahan hidup. Mana  tahu ia memilih hiduph sederhana, apa adanya, bersahaja, sebagai pilihan sadar dan sukerela karena lebih ringan, lebih rileks, banyak berkah, jauh dari kepura-puraan (pura-pura kaya padahal ngutang, pura-pura hidup mewah padahal ribai,  dan pura-pura elit padahal kredit).

Tidak masalah kita kaya asalkan fondasi pemahaman Islam kita mantap, sehingga kita shalih dan lebih  berakhlak pada orang yang hidup kekurangan, dan lebih menghargai orang yang memilih cara berbeda mengelola hartanya. Boleh kita berpunya, asalkan pondasi ekonomi kita kuat, sehingga tidak terjerat perbuatan Ribawi. Tidak masalah kita punya mobil mewah asalkan tidak leasing, dan mobil kita beli jika butuh dengan  mobilitas  yang  padat, super sibuk, banyak agenda kegiatan, sering keluar kota mengelola bisnis, atau untuk memudahkan berdakwah.  Asal jangan beli mobil demi gengsi, prestise, dan harga diri di mata orang lain, atau karena tidak mau kalah dengan teman sebelah.

Mendingan buang dan kubur gengsi dalam-dalam. Nikmati hidup kitak sesuai pilihan kita. Syukuri semua kondisi sebab itu hidup terbaik menurut Ilahi. Terlihat sederhana itu tidak dosa, asalkan pilihan rela. Terlihat tidak punya apa-apa itu tidak masalah, asalkan berkah. Meskipun dipandang sebelah mata, senyumin aja,  karena mulia tidak ditentukan manusia. Pemberi Rezki juga bukan manusia. Sejatinya kita memang tak memiliki apa-apa, Yang Maha Kaya adalah Allah. Jika diberi kesempatan kaya oleh Allah, itu amanah terbesar, sekaligus ujian keimanan. Apakah semakin taat, tawadhu' semakin dekat pada Sang Pemberi Rezki atau sebaliknya.
Allahu A'lam Bissawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar