Follow Us @soratemplates

Selasa, 23 Maret 2021

KETIKA 'AAMIIN' HANYA HITUNGAN JARI

Selasa, Maret 23, 2021 0 Comments


Notifikasi smartphone Nida berbunyi, membuatnya tersadar dari lamunan. Nida buka, seketika netranya fokus membaca pesan masuk di inbox dari nomor tidak dikenal.


[Kasihan, sudah banyak posting doa, mengaminkan hanya hitungan jari]


Nida menarik nafas, mencoba biarkan dan endapkan pesan itu sejenak. Ia memilih tidak langsung menanggapi pesan-pesan dari orang yang tidak ada di daftar kontak smartphonenya.


Nida melangkah ke luar rumah, menikmati semerbak bunga mawar di halaman. Kadang menikmati sesuatu mampu meningkatkan hormon serotonin dan membuat otaknya tetap dalam gelombang alpha. Itu lebih baik dari pada memikirkan sesuatu unfaedah. 


"Bu, ikannya diungkap dulu atau langsung digoreng? tanya anak sulungnya yang lagi belajar memasak. 


"Kebiasaan di sini, ikan tidak diungkap Say. Dibersihkan, diberi beberapa tetes perasan jeruk nipis dan sedikit garam, lalu biarkan sebentar, kemudian digoreng. Tujuannya, agar ikannya tetap manis alias tidak hambar. Begitu, pahimtum?."


"Pahimna, Baik Mi." 


Nida melanjutkan menikmati bunga mawar dan tetesan embun di daun keladi. Ia ingin agar waktu selalu pagi. Sebab pagi merupakan waktu paling indah. Ketika setiap harapan baru muncul seiring tetesan-tetesan embun menggelayut di ujung dedaunan. Ketika asanya merekah bersama kabut yang mengambang di kali gunung Singgalang. Pagi baginya adalah jalinan doa terangkai bersama munculnya mentari pagi.


Beberapa menit  dia gunakan menikmati bunga, membersihkan dan menyiramnya. Ada rasa syukur menyeruak di antara rasa  dan bunga bugenvil. Masyaa Allah Indahnya dan agungnya ciptaan-Mu ya Rabb. 


Setelah membersihkan kedua tangan, kembali ia buka benda tipis 29 inchi di meja laptopnya. Ditatapnya kembali pesan manis dari orang tidak dikenal itu. Hatinya berbisik lirih "Doa-doa yang kutulis setiap pagi semoga tidak terkontaminasi oleh motif-motif duniawi Ya Rabb.


Belakangan ini, Nida sengaja posting do'a setiap hari. Sejak tanggal 26 Januari 2021 sampai hari ini. Di samping untuk menyelesaikan tugas menulis dari mentor, juga untuk membiasakan diri memposting kebaikan di beberapa platform sosial media. 


Salah satu postingan kebaikan adalah doa. Doa yang ditulis dari hati, dibaca dan diaminkan banyak insan mempercepat doa-doa itu diijabah oleh Allah Subhanahu Wata'ala. 


Kesadaran dirinya sebagai insan lemah tak berdaya, sangat membutuhkan kekuatan Allah Yang Maha Kuasa. La Haula wa la quwwata Illa billah. Maka doa menjadi senjata setiap mukmin menghadapi segala peristiwa. 


Hampir dua bulan berlalu. Doa-doa itu mengalir syahdu. Alhamdulillah masih ada di antara sahabatnya yang suka atau  menulis kata aamiin di kolom komentar. Nida terharu, hanya ungkapan terima kasih tidak terhingga untuk sahabat-sahabatnya, yang meluangkan waktu mengaminkan doanya. Semoga doa-doa itu meluncur deras ke Arasy Allah Yang Maha Tahu, kemudian kembali secara sempurna pada sahabat-sahabatnya, aamiin Ya Rabb." Bisik hatinya lirih.


"Dari tadi melihat smartphone terus. Ada apa sayang?" Tanya suaminya. Lelaki itu orang pertama yang risau tatkala ada apa-apa dengan dirinya. 


"Oh nggak pa pa kok Bang. Ini Pesan WA dari orang yang tidak  ada di kontak smartphoneku." Pesan itu  diperlihatkan Nida ke lelaki terbaik yang  sudah 16 tahun  mendampingi hidupnya. 


"Sayang, jangan hiraukan siapa yang mengirimkan pesan itu, tapi hiraukanlah isi pesannya. Inti pesannya bukan pada kata kasihan, tapi pada kalimat berikutnya. "Sudah banyak posting doa, mengaminkan hanya hitungan jari."


"Jika dianalisis secara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya, ini merupakan fenomena sosial yang umum terjadi saat ini. 

Jika orang penting yang posting, nyaris semua manusia suka, tetapi jika orang biasa yang posting hanya hitungan jari yang menyukainya. Sabar saja menghadapi fenomena akhir zaman ini." Kata suaminya panjang kali lebar. 


"Na'am, sudah tidak terhitung jari postingan do'aku setiap pagi,  tapi ya begitulah...aku hanya berharap semoga doa-doa diterima dan diijabah oleh Pencipta bang. Jika disukai dan diaminkan sahabat-sahabatku Alhamdulillah wa syukurillah, jika tidak disukai atau diaminkan tetap alhamdulillah. 


"Pintar, bisa analisis dan punya prinsip sendiri dalam beramal. Ngomong-ngomong tentang 'mengaminkan doa ini bagus lho Dik." Reinforcement suami Nida.


"Ya iyalah bagus bang, masa mengaminkan doa orang lain tidak bagus. Tidak bagus itu jika tidak berdoa, tidak pula mengaminkan doa orang lain, seperti Abang contohnya. wk wk." 


"Ala Mak Jang, siapa yang makan nangka, siapa yang kena getahnya?" Tanya ayah anak-anaknya.


"Abang juga gitu kan?, Emangnya berapa kali Abang berdoa dan berapa kali juga Abang ngelike dan menulis kata aamiin di kolom komentar postinganku? boleh dihitung dengan jari juga kan?" Kata Nida polos


"Benar juga sih, insyaa Allah ke depannya Abang tekan tombol suka dan menuliskan kata aamiin."


"Nah, itu baru suami yang terbaik dunia akhirat. Bukan suami  terbaik tatkala ada maunya aja, wk wk." Tukas Nida. 


"Bicara tentang mengaminkan doa ada haditsnya lho Dik. "Dari Habib bin Maslamah al-Fihri Radhiallahu 'anha berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Tidaklah berkumpul suatu kaum Muslimin, lalu sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengucapkan aamiin, kecuali Allah pasti mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabrani dan Al-Hakim)


Pada hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Orang yang berdoa dan orang yang membaca aamiin sama-sama memperoleh pahala.” (HR. Ad-Dailami).


"Na'am, memang ada haditsnya Bang.  Anehnya, kenapa tidak Abang amalkan? Sesekali aamiinkan doa aku dong." Kata Nida.


Nida membatin-batin, kadang kita tahu ayat, hadits, teori, banyak ilmu, wawasan luas, tetapi mengamalkannya sungguh berat luar biasa. Jika ilmu pengetahuan, teori dan wawasan koleksi, pajangan, dan kebanggaan doang, apa kata akhirat? Jauh benar antara api dan 'sarok' nya. Eh.. antara panggang dengan apinya. 


"Sesekali Abang like dan aamiinkan kok Say." Tukas yayang bebnya.


"Na'am, terima kasih bang jika demikian."


"Suatu hari Nabi Musa 'Alaihi Salam berdoa dalam QS. Yunus ayat 88, lalu diaminkan Nabi Harun 'Alaihi Salam. Ahli tafsir menyatakan bahwa Allah menyatakan mereka berdua yang berdoa (QS. Yunus: 89). Allah benar-benar Maha Penyayang, sayang-Nya tak terbilang, satu orang berdoa yang lain mengaminkan, yang mengaminkan dikatakan juga berdoa. 


"Benar itu bang, jika  Abang mengaminkan doaku, berarti Abang sudah berdoa. Maka aamiinkanlah setiap doaku. Insyaa Allah Abang dikatakan sudah berdo'a, berpahala, dan insyaa Alla diijabah Allah Subhanahu Wata'ala. Aku heran, semakin dekat kiamat semakin tipis dan ringkih silah ukhuwah kita ya bang. Aku berharap semoga bukan cinta Abang yang ringkih terhadap aku, wk wk." Nadia mengungkapkan isi hatinya.


"Insyaa Allah, sama-sama kita ikhtiarkan ya Say. Abang setuju, mendoakan dan mengaminkan doa saudara seaqidah memiliki korelasi positifsif dengan ukhuwah Islamiyyah. Pernah Abang baca hadits, artinya: “Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.” (HR. Muslim No. 4912).


Sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam yang lain:

“Empat doa yang tidak akan ditolak, yaitu: doa orang yang haji hingga kembali; doa orang yang berperang (berjihad) hingga berhenti; doa orang yg sakit hingga sembuh; dan doa seseorang terhadap saudaranya tanpa sepengetahuannya. Dan doa yg paling cepat diterima di antara doa-doa tersebut adalah doa seseorang terhadap saudaranya tanpa sepengetahuannya.” (HR. Ad-Dailami).


"Tuh Abang tahu, tapi sering lupa kajiannya." Timpal Nida.


"Kena lagi dech." 


"Benar Bang, Islam itu indah sempurna, dan paripurna. Islam menjaga sendi-sendi kehidupan sosial dan pribadi. Mengikis habis virus egoisme dan arogansi. Mengajarkan kebersamaan dan spirit berjamaah secara rinci. Apalagi  berdoa untuk saudara seaqidah berarti telah berdoa untuk diri sendiri. Sekaligus menempuh cara agar doa itu diijabahi Ilahi. Benar begitu bang?


"Mantap, Abang setuju. Kembali ke isi WA orang tak dikenal tadi. Ambil positifnya, buang negatifnya, dan petik ibrahnya. Sagala sesuatu terjadi karena  izin Allah Subhanahu Wata'ala. Tidak satu peristiwa pun terjadi secara kebetulan. Jangan menyesal mengenal orang di dunia ini. Sebab orang baik akan memberi kita kebahagiaan. Orang buruk memberi kita pengalaman, dan orang jahat memberi kita pelajaran. Kira-kira begitu sayang."


"Benar Bang, aku baru ngeh sekarang. Apapun kejadian tidak lepas dari skenario-Nya. Terima kasih banyak Bang, apapun situasinya Abang selalu nomor Wahid jadi supporterku, motivatorku, penyanggah jiwa galauku, semoga tetap setia menjadi imam dunia akhiratku, aamiin." Wajah Nida terlihat cerah kembali.


Aamiin, Allahumma aamiin, jawab   Yayang Bebnya singkat, untuk amalkan kajiannnya sendiri wkwk.   


Selesai.

🤍🤍🤍

Rabu, 10 Maret 2021

KIAT MENJADI RAJA DI RUMAH TANGGA

Rabu, Maret 10, 2021 0 Comments


Sahabat.... seorang bapak pernah curhat. "Aku kira menikah itu nikmat, ternyata derita yang kudapat. Berharap diperlakukan sebagai raja, malah diposisikan laksana hamba sahaya. Duh sakitnya tuh di sini, di sini Udin...!


Suatu ketika aku belanja di warung dekat rumah, kusimak obrolan bapak-bapak. Bukan sengaja nguping ya, tetapi terdengar jelas, dan aku  pura-pura tidak mendengar. "Aku bilang sama kalian semua ya, jadi suami itu harus pintar, jangan serahkan kartu ATM ke dia, sisakan uang sedikit di saku kita. Kalau tidak, kita beli rokok, fulsa, paket data, kopi, teh di warung pakai apa? Pakai daun, nanti Tek Minah mengusir kita...Brother.


Itu sekelumit suara hati para suami. Akibat salah teori. Letak persoalan bukan di istri, tetapi sulit menciptakan kompromi. Boleh jadi tidak satu visi, misi, dan strategi dengan istri,  hingga sulit menjalankan fungsi imam, dan qowwam bagi istri.  


Padahal rumusnya mudah, jika suami ingin diperlakukan sebagai raja, perlakukan istri sebagai ratu. Kalau berharap istri bagai bidadari, buat suasana rumah  mirip surga,  sebab bidadari hidupnya di surga, bukan di warung kopi...


Pertanyaannya, bagaimana cara memperlakukan istri sebagai ratu Mak? Sini Mak ajarin...tapi harus dieksekusi, biar mangkus. Praktekkan tiga kali sehari, seperti minum obat... Jika sakit berlanjut datangi konselor keluarga terdekat. Jangan langsung ke pengadilan ya Pak.


Berikut saya coba kasih tips cara paling jitu memperlakukan istri sebagai ratu. 


1. Hindari Menyalahkan Istri


Waspada dengan pasal-pasal paling sensitif Pak,  pasal 1 istri tidak pernah salah, pasal 2 kalau istri salah kembali ke pasal 1 wk..wk.


Istri tidak bisa dan tidak mau disalahkan. Ketika ada masalah, coba Bapak katakan "Abang yang salah, abang minta maaf ya."  Istri akan menjawab " Bukan...saya yang salah." 


2. Istri ingin dihargai


Sebagai Ratu tentu perlu dihargai, dihormati, diperhatikan bicaranya, dipenuhi kebutuhan dan disahuti panggilan jiwanya. Makanya Pak, kalau istri lagi bicara disimak, didengar, dilihat, tinggalkan semua aktivitas. Fokuskan diri menghadap sang ratu.


Ini Bapak, istri bicara Bapak sibuk memplototi smartphone, membalas chattingan, baca berita, atau scrol Instagram, sambil ngantuk-ngantuk. Seakan telinga, hati, kesempatan hanya sisa-sisa diberikan ke Istri. Makanya sang Ratu sensi. Bapak sih yang kurang responsif. Kadang dia perlu bicara berulang kali, untuk meyakinkan dirinya bahwa ia punya suami empati. Memenuhi kebutuhannya tanpa harus mengemis berkali-kali.


3. Mendahulukan Istri


Strategi paling hebat menaklukkan hati sang ratu adalah mendahulukan sang ratu dalam materi.


Dan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Bersedekahlah!” Lalu ada seseorang laki-laki datang, “Aku punya satu dinar”. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Belanjakanlah untuk istrimu!” Laki-laki itu berkata (lagi), “Aku masih punya satu dinar lagi”. Nabi saw bersabda, “Belanjakanlah untuk anakmu!” Laki-laki itu berkata (lagi), “Aku masih punya satu dinar lagi!”. Nabi bersabda, “Sedekahkanlah kepada khadam kamu!” Laki-laki itu berkata lagi. “Aku masih punya satu dinar lagi” Nabi bersabda, “Engkau lebih tahu”. (HR Akhmad, Nasa’i dan Abu Dawud).


Di sini sering muncul masalah dalam keluarga. Bapak tidak mendahulukan istri. Tapi ada yang mendahulukan diri sendiri, atau mendahulukan kerabat. Bantu bangun rumah ortu dulu. Bantu sekolah adik-adik dulu. Kirim belanja ke ibu dulu. Padahal istri sudah setahun tidak beli kerudung. Handbody lotionnya sudah habis, skincare tinggal wadahnya doang, dan sepatu sudah pada rusak.  


Paling lucunya, harga sembako  naik, ngasih belanja tak pernah bertambah. Dari awal nikah sampai anak kuliah, ngasih belanja mingguan segitu-segitu aja. Ya jelas rusuh si emak. Bukan berterima kasih, malah ajak suami perang dunia ketiga. 


Wahai Bapak...katanya mau jadi raja. Kalau raja sama dengan sultan. Kalau sultan pasti hartawan. Hidup di istana, serba mewah dan penuh gemerlapan. Tapi kalau masih tinggal di istana mertua, atau di rumah kontrakan ingin diperlakukan seperti raja, ya jelas dong belum layak...wk wk.


Parahnya lagi, suami menyepelekan Istri. Kalau bos yang panggil lewat WA, langsung berangkat. Tapi kalau istri minta tolong ditemani periksa mata jawabnya banyak agenda kantor yang deadline, pergi sendiri aja ya Sayang..!


Jika dengar nada notifikasi WA teman, langsung dibalas. Giliran WA istri slow respon bahkan banyak panggilan tidak dijawab. 


4. Hindari Membandingkan


Jangan lakukan hal tabu sejagat raya ini Pak. Hukumnya wajib dihindari, jika suami tidak mau cari gara-gara dengan istri. Lho kok bisa? Bisa dong Bapak. Membandingkan itu bentuknya macam-macam.


Pertama, Salut dengan Wanita lain Contoh:

Suami:  "Kayaknya Ana pandai ngatur rumah dech."

Istri: "Menurut Abang saya tidak bisa ngatur rumah?, Abang  aja yang letakkan handuk sembarangan. Hidupkan kran sampai air melimpah, lupa matiin lampu keluar kamar mandi.....bla bla.  (Jangan kaget ya Pak, jika istri bisa sebutkan semua daftar kelemahah bapak, sejak menikah sampai sekarang secara rinci). 


Kedua, menyarankan Istri tapi pakai ukuran wanita lain. Contoh:

Suami: "Saya ingin Dinda berhijab sempurna seperti istri tetangga kita..!

Istri: "Abang nyesel menikah dengan saya, karena sy tidak pakai hijab sempurna. Kenapa nggak dari dulu cari wanita pakai hijab sempurna, kenapa pilih saya jadi istrimu...🤬


Ketiga, Suami tidak mampu ghadlul Bashar (menjaga pandangan). Contoh;

Suami: (pas ke mall dengan istri, tangannya pegang istri, tapi matanya ke perempuan lain sampai ketabrak mesin ATM).

Istri: "Gimana, enakkan kalau gak ghadlul Bashar, dibayar kontan oleh Allah.!


Jadi, ketika suami belum mampu membuktikan kuantitas dan kualitas dirinya sebagai raja, jangan berharap istrinya bersikap seperti Ratu. Jika suami belum mampu ciptakan suasana rumah semisal surga, tunda dulu berharap istri seperti bidadari.


Maaf banyak-banyak Pak...🙏🤭


Semoga bermanfaat

Salam ukhuwah

Darimis

BELAJAR UNTUK SETIA

Rabu, Maret 10, 2021 0 Comments


Subhanallah...begitu amat beritanya. Seolah pernikahan tidak lepas dari selingkuh dan selingkuh. Selingkuh terus."


"Emangnya kamu baca apa?, tanya suamiku heran. 


"Baca macam-macam Uda. Mutar-mutar dari tadi, media massa online, Ig, efbi, tiktok, dan YouTube, semua memberitakan itu."


"Subhanallah, emangnya berita apa? 


"Uda pura-pura tidak tahu, padahal yang dilihat juga berita itu?


"Uda lihat bentar aja, ngapain dipikirkan cerita orang lain. Mendingan pikirkan cerita kita sendiri." 


"Bagus itu Uda, jawabku bersemangat. 


"Aku hanya ingin setia Uda, setia pada imanku, setia pada ibadahku, setia pada agamaku, setia pada Allah dan Rasulullah. Dan setia pada imamku, alias Uda Malin. Selebihnya tidak menjadi pikiran apalagi menjadi keponya aku. Wkwk."


"Pinter...kata suamiku."


"Jazakallah khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu) Uda."


"Waiyyaki (dan untukmu juga) sayang."


"Aishah tahu arti SETIA? Tanya Uda Malin


" Tahu dong...SETIA kan, menurut Aish setia itu artinya setia."


"Semua orang juga tahu, setia itu artinya setia, maksud Uda maksudnya? atau akronim juga boleh"


"Akronim SETIA, menurut Aish (Sungguh-sungguh, Empati, Taat, Ikhlas, dan Akur). 


"Ajib..bagus itu sayang. Menurut Uda nich ya. SETIA itu akronim:  Sayang...!, Empati itu, Tanpa Ikhlas, Tiada Arti"


"Ihh... Uda bisa aja buat akronim  unyu-unyu."


"Bisa aja kan? Tidak ada aturannya harus ikut prosedur ilmiah, suka-suka kita dong, diri kita, keluarga kita, selamat, dan masuk surga kita yang rencanain. Bukan profesor pelopor teori setia he he."


"Boleh Aishah tanya gak Da? 


"Boleh sekali, kalau dua kali harus bayar...wk wk.


"Bayar lagi, kemarin Uda ngomong ke Aish, Janji adalah utang, jika tidak ditepati dibayar dengan uang." Pertanyaan mendasarnya adalah Uda setiakah pada Aishah? 


"Kenapa pertanyaaan begitu?


"Ya iyalah Uda, sekarang lagi viral kisah suami tidak setia. Kawatirnya Uda terpapar virusnya..


"Insyaa Allah ke depannya Uda akan setia............


"Jadi, selama ini Uda gak setia sama Aishah."


"Kalimatnya belum selesai, sayang. Maksud Uda, selama ini semampu Uda, Uda sudah setia, Insyaa Allah ke depannya Uda akan terus belajar untuk setia." 


"Yang bener?...demi Allah.


"Benar, Tallahi...Wallahi....Kenapa jadi ragu Aishah dengan kesetiaan Uda. Uda paham sekarang, pasti gegara berita viral itu lagi kan?


"Benar Uda, Aishah kawatir mana tahu Uda terinspirasi lelaki itu."


"Insyaa Allah tidak sayang, untuk mendapatkan bidadari berhijab sepertimu, Uda perlu mendaki gunung tinggi, menyeberangi lautan luas, menaklukkan angkasa, terlalu berat perjuangan Uda memperjuangan pernikahan  kita." 


"Ihh gombalnya berserakkan..."


"Benar Sayang...biarlah itu menjadi kenangan indah Uda. Aishah hanya perlu fasilitasi Uda untuk selalu belajar setia."


Aishah: 🥰🥰🥰🥰🥰 

----------

"Teruslah setia pada pasangan halalmu, sampai keluargamu menginjakkan kaki di surga Allah Subhanahu Wata'ala."


Darimis

ISTIMEWANYA MENJAGA PANDANGAN

Rabu, Maret 10, 2021 0 Comments


Perasaan suka bermula dari mata, diteruskan ke otak, ditafsirkan dengan informasi yang tersimpan. Muncul kekaguman, simpati, ingatan, hayalan dan kerinduan. 


Bermula dari mata, bisa  bisa mengundang petaka. Prahara rumah tangga bisa melanda semua keluarga. Tidak peduli keluarga artis, selebritis, ustadz, ustadzah, ulama, dokter, atau pengusaha. 


Bermula dari tidak bisa menundukkan pandangan. Akhirnya tidak mensyukuri kelebihan, keistimewaan, kesejatian pasangan. Sirna berbagai kebaikan, yang terlihat semua kekurangan dan kelemahan pasangan. Tidak berarti semua kenangan indah di di awal dan sepanjang pernikahan. 


Jika beranggapan pasangan cerdas, brilian, hebat dan membanggakan. Ternyata fakta tidak demikian. Betapa banyak pasangan orang hebat berakhir di pengadilan.


Jika beranggapan pasangan yang memiliki keindahan fisik menyenangkan dan asyik. Ternyata tidak sedikit keluarga publik figur rumah tangganya mudah terusik, tercabik, hingga berakhir secara tidak baik-baik. 


Jika beranggapan wanita mandiri secara finansial mampu menyenangkan hati. Nafkah tercukupi kadang berlebih secara materi. Toh nyatanya masih ada pasangan mengeluh dan selingkuh, karena pasangan tidak peduli. Sibuk di luar sana mengumpulkan pundi-pundi.


Jika beranggapan pasangan peduli, berempati, terlihat mencintai sepenuh hati, dan berbakti tanpa pretensi. Ternyata di luar sana masih ada kisah nelangsa pasutri. Sulit wujudkan baiti jannati.  Terus merasa pasangan kurang hingga perlu mencari yang lebih baik lagi.


Kita bertanya sebenernya apa yang terjadi hingga pernikahan kacau begini? Salah satu aspek yang berkontribusi, pasutri tidak bisa menahan, menundukkan, atau menjaga pandangan mata dan hati. Terutama para lelaki. 


Pernah suatu hari seorang lelaki mengadu kepada seorang Syaikh. "Ketika aku mengagumi calon istriku, seolah-olah Allah tidak menciptakan perempuan yang lebih cantik dari dirinya di dunia ini. Ketika aku sudah meminangnya, seolah-olah aku melihat banyak wanita seperti dirinya. Ketika aku sudah menikahinya, ternyata banyak perempuan yang jauh lebih cantik dari dirinya.  Ketika berlalu beberapa tahun pernikahan kami, aku melihat seluruh perempuan lebih manis dari istriku."


Syaikh balik bertanya: "Apakah engkau mau tahu, ada yang lebih parah dari pada yang kau alami saat ini? 


Syaik itu melanjutkan: "Masalah sesungguhnya bukan terletak pada istrimu, tetapi terletak pada hati rakusmu dan mata keranjangmu. Mata manusia tidak akan pernah puas, kecuali sudah tertutup tanah kuburan."


"Jadi, masalah yang kamu hadapi sebenarnya adalah kamu tidak menundukkan pandanganmu dari apa yang diharamkan Allah."


Barangkali terlalu sulit untuk melaksanaka  perintah Ilahi. Padahal perintah menundukkan pandangan sudah jelas sekali. "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS. An-Nur ayat 30)


Menundukkan pandangan juga diperintahkan Allah pada wanita. "Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS. An-Nur ayat 31).


Bercermin pada kisah pemuda dan Syaikh di atas,  dapat dipahami bahwa penyebab utama persoalan terletak pada pandangan. Mata keranjang, dan hati rakus penyebab utama retaknya sendi-sendi pernikahan, perselingkuhan, dan perceraian. 


Salah satu cara agar kenikmatan bertambah. Keluarga bisa sakinah mawadah warahmah. Pasutri bisa sehidup sesurga adalah dengan menundukkanlah pandangan, hingga kenikmatan iman dan kenikmatan pernikahan bertambah, dan terus bertambah. 


Semoga bermanfaat

Salam ukhuwah

Darimis

Kamis, 25 Februari 2021

UTAMAKAN ESENSI DARI PADA GENGSI

Kamis, Februari 25, 2021 0 Comments


Seorang ibu bergamis hitam, kerudung krem lebar, pakai tas, dan sepatu sederhana. Sebut saja namanya Mernisi. Penampilan beliau sangat bersahaja. Senyum indah selalu menghiasi wajah berseri  yang terlihat tanpa polesan make up itu. Mungkin usianya hanya dua tahun di atas saya. Benar-benar menarik perhatian saya ketika itu.


Beliau duduk di bangku Bandara tepat di hadapan saya. Ketika pandangan mata saya bertemu mata beliau, beliau kembali tersenyum. Saya pun terpaksa membalas senyumannya. Beliau benar-benar menggugah rasa ingin tahu saya. Begitu banyak orang di bandara, ada muslimah modis, styling, trendy. Ada juga wanita tidak berhijab, pakai celana lejing, dan Khimar kekinian. Namun ibu Mernisi benar-benar menarik perhatian saya.


"Maaf, di sini ada orang? Tiba-tiba seorang ibu mengejutkan ibu Mernisi. 


"Nggak ada Mbak, jawab  ibu Mer dengan lembut. 


"Mau kemana? " 


"Insyaa Allah, ke Malaysia Mbak. Maaf jika boleh tahu mbaknya mau kemana? Tanya ibu Mer. 


"Saya mau ke Surabaya."


"Semoga berjalanannya lancar dan selamat sampai tujuan ya mbak, aamiin. Kata ibu Mer.


"Iya, ngomong-ngomong anda TKW di Malaysia? 


"Bukan mbak, saya ada urusan dan keperluan sedikit di Malaysia, jawab ibu Mer itu.


"Urusan TKW ya. Saya heran dech dengan TKW itu,  penampilan tidak menarik, pakai baju sederhana, kurang bisa dandan, coba agak trend kekinian dan fashionable dikit, pasti banyak perusahaan yang mau menerima."


"Nggak kok Mbak, saya tidak sedang ada urusan dengan TKW, jawab ibu Mer dengan tenang."


"Lalu Anda ke Malaysia mo ngapain?


"Saya transit di Malaysia Mbak." Jawab ibu Mer singkat.


"Lho ngapain TKW transit di Malaysia segala. Emangnya tujuan anda sebenarnya kemana sih? Desak ibu berkaca mata dengan penuh tanda tanya. 


"Dubai, Mbak."


"Anda TKW nya di Dubay ya." Desak ibu tersebut. 


"Bukan Mbak, jawab ibu Mer. 


"Anda aneh, jawabnya mutar-mutar, emang TKW gayanya bicaranya begitu. Makanya berurusan dengan TKW itu agak ribet. Saya kalau gak penting-penting males berurusan dengan mereka. 


Ibu Mer terlihat tetap tenang. Dibiarkannya ibu berkaca mata itu ngomel sepuasnya. Dia menoleh ke jam dinding dan mengeluarkan laptop Apple dan satu notes kecil.  Dia mulai mengetik di tengah bisingnya bandara. 


Tiba-tiba smartphone ibu Mer berdering. "Assalamu'alaikum, iya ana masih  di bandara Sukarno Hatta,......" Ibu Mer berdiri beberapa meter dari kami, dan bicara pelan, sehingga tidak kedengaran. 


Saya tidak habis pikir mengapa ibu yang berkaca mata begitu ngotot menyatakan ibu Mer itu TKW. Sebenarnya ibu Mer ini siapa ya?  Aku mulai bertanya dalam hati. Soalnya penasaran aja. Dikatai-katai dengan aneh-aneh, beliau tetap merespon dengan baik dan menyenangkan. 


Saya beranikan diri berkenalan dengan ibu Mer, dari pada saya penasaran sampai di Kota Malang.

"Maaf Ibu, boleh kita kenalan. Nama saya Mis dari Padang."


"Nggih mbak, nama ana Mernisi saya asli Bogor. Senang berkenalan dengan Mbak Mis. Kata beliau.


"Panggil Uni Mis, juga boleh Mbak." 


"Oh ya, sahabat ana dari Padang banyak mbak,  ada beberapa teman juga ana panggil Uni" 


"Maaf mbak, tadi saya dengar mbak mau ke Dubay ya, Masyaa Allah jauhnya. Sendirian mbak?


"Suami saya menunggu di Malaysia Uni. Kalau sendirian ke Dubaynya saya Nggak berani, dan tidak boleh juga kan perempuan safar lewat 24 jam sendirian Uni Mis."


"Setahu saya juga begitu Mbak, perempuan tidak boleh safar sendirian lewat 24 jam. Harus dengan mahram nggih mbak."


"Benar Uni." 


"Jika berkenan bolehkan saya minta nomor handphone mbak Mernisi, pintaku dengan sedikit memelas. 


"Tentu boleh Uni...biar saya yang catat dulu, nanti saya call Uni Mis." Kata beliau.


Kami saling tukar nomor handphone. Beliau juga memberikan sebuah buku karangan beliau sendiri, tentang perjuangan dakwah Intelektual ketika beliau studi doktoral di Inggris. 


"Perhatian-perhatian pesawat Garuda dengan nomor penerbangan ...(tiba-tiba pengumuman keberangkatan pesawat yang akan saya tumpangi ke Juanda Surabaya bergema). 


"Mbak Mernisi saya duluan, terimah kasih banyak atas kenalan, bincang-bincang, no hp, dan buku mbak Mernisi. Ungkap saya.


"Alhamdulillah, Masyaa Allah, sama-sama Uni. Saya senang kenalan dengan uni, semoga bukunya menginspirasi. Fi Amanillah."


"Aamiin Ya Mujiib, Fi Amanillah juga mbak Mernisi. Saya melambaikan tangan ke beliau berjalan ke arah jalur keberangkatan pesawat. 


Ingin rasanya lama-lama berbincang dengan muslimah baik dan berpenampilan bersahaja itu, tapi waktu memisahkan kami. 


Sepanjang penerbangan dari Bandara Sutta ke Juanda, saya gunakan membaca buku Mbak Mer, saya semakin kagum dengan sosok beliau. Muslimah bersahaja, anggun, intelektual, mudah senyum, baik, sopan, santun dan cerdas. 


Saya merenungi peristiwa yang terjadi. Muslimah intelektual, cerdas, dan santun, banyak ilmu sekaliber mbak Mer dianggap remeh dan disepelekan  orang, lantaran terlihat dari luar begitu sederhana, bersahaja. 


Mengapa seseorang dinilai berdasarkan hal-hal yang nampak dari luar? Dari pakaian, tas, sepatu, gamis, kurudung, jam tangan, dan asesoris yang digunakan. Termasuk cara berdandan. 


Jika semua yang dipakai seseorang barang branded, lengkap dengan asesoris ala princess, maka dianggap orang  berkelas dan borjuis. Sebaliknya, jika pakaian luar, tas, sepatu, terlihat sederhana, muka polos kayak tembok bangunan. Maka dianggap tak berarti dan lebih pantas diremehkan. 


"Astaghfirullah,"..begitu amat manusia sekarang ini. Mulia dan berkelasnya orang diukur dari barang yang dimiliki. Menilai orang dari pakaian, tas, sepatu, dan kenderaan yang dinaiki. Jika terlihat kere dan sederhana maka  pantas dihina, disepelekan dan dipandang sebelah mata. 


Saya kadang berpikir, betapa sulit memilih hidup sederhana di tengah derasnya arus materialis dan hedonisme ini. Ketika standar kemuliaan manusia  diukur dengan kepemilikkan materi. Semakin banyak materi semakin dihormati. Semakin tidak ada materi semakin tidak dihargai. 


Fakta ini semakin menguatkan hipotesis saya, bahwa sistem kapitalisme menggerogoti manusia modern dalam gaya hidup serba materi, membangun kerajaan materi, mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya demi kesenangan ragawi (hedonisme). 


Sistem itu menggiring manusia untuk hidup konsumtif. Difasilitasi dengan kredit tanpa agunan, sehingga bisa beli barang mewah meskipun sedang memiliki uang. Pakai kartu kredit untuk belanja di mall-mall eksklusif. Bagi yang terpengaruh mereka ikuti gaya itu secara massif, tanpa selektif, dan evaluatif.


Apa yang terjadi? Manusia berbondong-bondong melengkapi atribut duniawi. Mengutamakan penaian sesama dan menapikan penilaian Ilahi. Kadang memaksakan diri beli mobil, motor bermerek, gamis mahal, tas branded dan asesoris ala pemuja materi. Mereka gak peduli, meskipun kemudian harus terjerat hutang ribawi. 


Bagi saya, semua atribut duniawi, baik mobil, gamis, khimar, tas, sepatu, dan asesoris hanya sarana. Miliki seperlunya saja. Saya belajar hidup lebih realistis, menyesuaikan antara income dan pengeluaran. Tidak besar pengeluaran dari pada income-nya. Tidak memaksa diri untuk memiliki sesuatu, jika belum mampu. Lebih baik bersabar dulu. Tidak harus memaksa diri memiliki sesuatull jika harus menempuh jalan riba. 


Menurutku, Islam membolehkan hidup kaya asal jangan lewat pintu riba, biar berkah dan rajin bersedekah. Kekayaan hanya wasilah (sarana) untuk lebih dekat kepada Allah. Lebih tawadhu', dermawan, dan berpihak pada umat yang lemah. Tidak lantas kekayaan itu membuat kita meremehkan orang lain, dengan pandangan sebelah mata.  . 


Kaya adalah amanah. Allah menitipkan harta kepada kita agar bermanfaat untuk agama dan umatnya. Kaya juga ujian, apakah kita lulus naik kelas keimanan dan ketaqwaan kita ketika diuji dengan kaya, atau malah hidup semakin pongah dan meremehkan ciptaan Allah Subhanahu Wata'ala. 


Hidup sederhana itu bagiku pilihan. Sebab lebih ringan, dan tidak panjang angan-angan. Terhindar dari penyakit wahn. Apa itu wahn?, yaitu cinta dunia dan takut kematian. 

Sementara kematian suatu kepastian. Hal terpenting adalah persiapan menghadapi kematian. Kuat iman, banyak pahala dan kuat ketaqwaan. Ketaqwaan adalah prediket mulia di sisi Pencipta, bukan harta bukan pula kaya, pangkat dan semua atribut dunia. Taqwa adalah esensi, sementara harta hanyalah wasilah hidup dan gengsi. Tidak mungkin gengsi mengalahkan esensi, jika kita mau berkaca dengan agama kita sendiri. Allahu Allah Bisshawab. 


Semoga bermanfaat


Senin, 22 Februari 2021

MEMETIK IBRAH DARI SEPENGGAL KISAH

Senin, Februari 22, 2021 0 Comments


Sahabat...

Hidup adalah pembelajaran (ibrah) berharga. Setiap kisah, kejadian, dan peristiwa mengandung ibrah, khusus bagi kita yang mau belajar dan memetik ibrah dari setiap peristiwa. 


Kemarin saya sempat membaca berita, yang lagi trending topik di sosial media. Seorang vokalis gambus ternama dikabarkan terlibat cinta segitiga. Hingga dia dihujat begitu rupa. Ya Rabb...separah itukah kisahnya? Padahal kita tidak tahu valid berita dan belum tahu detail kejadianya. 


Sahabat...saya tidak sedang membela sang vokalis.  Tidak juga berpihak kepada istri sah, dan lelaki yang terlibat cinta dengannya.  Saya hanya berpendapat bahwa segala sesuatu terjadi pasti ada ibrahnya, ada penyebab, latar belakang, dan prosesnya. 


Suatu kejadian tidak terjadi secara spontanitas atau seketika. Jatuh cinta, mencintai, dicintai tidak terjadi begitu saja. Tapi ada prolognya. Bisa berupa kata, perhatian, tingkah, dan konasi yang menggerakkan hingga terjadi peristiwa. 


Hal ini tentu melibatkan kedua belah pihak, baik si lelaki maupun si wanita. Lalu alasan apa sebenarnya, para penilai menjustifikasi si wanita saja. Terjadinya cinta karena suka sama suka di antara keduanya. Tidak masuk tamu ke dalam rumah jika tuan rumah tidak mengizinkannya. Kecuali tamu tidak diundang, lain lagi ceritanya. 


Peristiwa ini menyuguhkan ibrah, bahwa sesuatu terjadi tidak mendadak atau spontan. Banyak aspek yang mempengaruhi kejadian. Istilah kerennya multifaktor berkelindan.  Bisa saja karena kealfaan pelaku, niat, kesempatan, dan ketenaran. Bisa juga kejadian ini sebagai cobaan atau ujian. 


Tidak ada manusia yang sempurna sebab kesempurnaan hanya milik Pencipta. Kadang manusia kurang hati-hati, tidak waspada, dan terlupa. Bisa jadi tidak ada niat sebelumnya tetapi ada kesempatan maka niat bisa ada. 


Mana tahu karena sering bersama, muncul berbagai perasaan, termasuk perasaan suka dan cinta secara berlahan. Lama-lama berkembang dan mencuat ke permukaan. 


Saya masih ingat sebuah pantun:

"Dari mana datangnya linta, dari sawah turun ke kali.  Dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati." Barangkali karena sering bersama dengan lelaki atau wanita bukan mahram ada  peluang saling memandang, saling melihat, dan saling bersimpati. Akhirnya suka, tertarik, rindu, dan bersemilah cinta di hati. 


Maka hati-hati dengan mata. Dalam agama setiap lelaki dan perempuan wajib menjaga atau menahan  pandangan (Ghadlul Bashar) dari melihat lelaki atau wanita yang bukan mahram. (QS. An-Nur ayat 30 dan 31). 


Agama kita juga mengatur sedemikian rupa sistem pergaulan lelaki dan perempuan. Lelaki dan wanita berinteraksi pada perkara-perkara yang dibolehkan. Seperti dalam urusan muamalah, kesehatan, dan pendidikan. Selebihnya kehidupan khusus bagi wanita yaitu dalam rumah sangat diutamakan.


Di samping itu, agama kita juga memerintahkan lelaki dan perempun menutup aurat secara sempurna, tidak dibenarkan ikhtilath (bercampur baur antara keduanya), dilarang khalwat (berdua-duaan) dan lainnya. Tujuannya agar laki-laki perempuan  mulia dan terjaga. Tidak saja mulia di mata Allah, juga mulia di mata manusia. 


Jika aturan Pencipta diabaikan lelaki dan wanita, dikawatirkan muncul berbagai permasalahan. Salah satunya kacaunya pergaulan, perselingkuhan, pengkhianatan, dan persoalan pernikahan yang runtutnya panjang sampai pada keturunan. 


Sahabat...situasi dan kondisi hari ini membuat kita harus ekstra hati-hati. Hidup di zaman fitnah mesti tingkatkan mawas diri. Berpegang teguh pada iman, Islam dan Ihsan dengan sepenuh hati. Jadikan semua aturan Allah dan Rasul sebagai pedoman hidup sampai mati. Hanya cara itu yang bisa menyelamatkan diri. 


Jika tidak hati-hati, waspada, dan istiqamah dengan agama. Bisa saja, peristiwa yang menimpa sang vokalis terjadi pada keluarga kita (semoga tidak ya Rabb). Soalnya tidak ada garansi iman kita kuat, lalu kita selamat.


Saat ini boleh jadi kita sedikit taat, mana tahu karena menghujat, Allah menguji kita dengan masalah yang sama, apakah kita masih kuat dan selamat, Wallahu A'lam bisshawab.


Maka fokuslah ke jalan yang kita tempuh. Benahi diri, anak, keluarga, dan umat secara sungguh-sungguh. Doakan mereka yang tersandung masalah, semoga Allah memberi solusi ampuh. 


Saya yakin mereka juga menyesal dengan apa yang terjadi. Hingga mereka dihujat, di caci maki, dan dihina secara pribadi. Semoga mereka menemukan solusi.


Satu hal yang disayangkan dari pernyataan penghujat, ada yang mengkaitkan tingkah dengan hijab pelakunya. Padahal keduanya berbeda. Hijab itu kewajiban agama, kebaikan dan ketaatan juga kewajiban agama. Ketika seseorang belum baik, belum taat, apakah ada toleransi untuk tidak berhijab?


Ketika belum siap berhijab karena belum merasa baik, apakah ada keringanan dalam agama untuk tidak berhijab? Menunggu baik dulu dalam memakai hijab, entah sampai kapan kita akan menjadi baik? Sementara umur kita terus melaju ke ujung usia. 


Jika selamanya ia belum bisa baik, apakah selama itu juga ia tidak berhijab. Justru memakai hijab menjadi salah satu cara untuk tunduk dan patuh pada aturan agama yang diyakininya. Persoalan yang menimpanya tidak ada kaitan dengan hijabnya. Sebab dia bukan nabi, bukan pula manusia sempurna. Biarlah itu menjadi urusan dia dengan Penciptanya. 


Sahabat...kita tidak tahu siapa yang mulia di sisi Rabb kita. Kita juga tidak bisa pastikan kita lolos dari hisab menegangkan di Yaumul Hisab, lalu masuk surga. Tidak satupun kita maksum dari dosa. Alangkah bijaksana, jika kita fokus pada diri dan dosa kita. Banyak istighfar dan berdo'a semoga kita terhindar dari peristiwa serupa, aamiin ya Rabbanaa. 


Semoga bermanfaat

Salam ukhuwah

Darimis.

Minggu, 21 Februari 2021

BIAR AKU SAJA, SAYANG

Minggu, Februari 21, 2021 0 Comments


Rindu itu berat, kamu tidak akan kuat, biar aku saja." 


Pernyataan Dilan dalam film itu sempat viral, dan menjadi kalimat yang terus diulang oleh penonton, selain penonton bahkan orang yang pernah mendengarkan kalimat itu. 


"Biasa aja, apa hebatnya ungkapan itu dari seorang pacar. Jika dari suami baru luar biasa. Aku setiap  mendapatkan kalimat  cinta dan rindu   dari Uda Malin, tidak seheboh itu. Hanya saja, hatiku rasanya berubah menjadi taman bunga yang paling indah, harum semerbak, lengkap dengan kupu-kupu beterbangan." Bisik Putri.


"Tidak sekadar ungkapan "I Miss You" yang dibutuhkan pasangan suami istri (pasutri), tetapi frase 'biar aku saja' tak kalah romantisnya. Tatkala aku dengar dari Bang Malin 'Biar aku saja, rasanya aku lepas dari terali. Mengapa tidak pekerjaanku diambil alih, pekerjaanku dibantu, tugasku diringankan. Hatiku seakan  terbang ke awan, dan tersenyum pada mentari.


"Bundo..sandal Habib putus, sudah Habib benarkan, tapi tidak mau Bunda" Tiba-tiba suara suara Habib membuyarkan lamunan Putri.  


"Mana sayang, sini Bunda lihat. Ini ya, sangkutan di bawahnya terlepas, tunggu ya Bunda perbaiki dulu"


"Sandalnya sudah bagus Bib.."


"Terima kasih Bunda."


"Sama-sama sayang."


"Halo, Wa'alaikumsalam, apa yang dapat dibantu Bu." Putri menjawab panggilan masuk di smartphone-nya. 


"Baibuk-ibuk baa lo kawan, ambo Nisa konco arek ang dulu. Lah lupo Jo ang di den. Tega ang lai." (Panggil ibu bagaimana nich teman. Saya Nisa teman akrab kamu dulu. Sudah lupa kami dengan saya. Teganya kamu).


"Maaf Nisa, bukan Putri lupa  lupa sama Nisa , tapi tidak ingat. Soalnya sudah 20 tahun, kita jarang komunikasi. Maafkan temanmu ini Sobat."


"Yo sekali ko den maafkan ang, bisuak kok ang ulang je lai, den coret ang dari daftar pertemanan  den lai." (Ya, sekali ini saya maafkan, besok kalau diulang lagi, saya coret kamu dari daftar pertemanan saya).


"Oke, saya setuju, saya juga begitu. Masak saya aja yang harus mengingat Nisa, Nisa juga harus ingat Putri dong. Biar balance gitu." 


"Jan tinggi-tingga na bahaso ang lai, balance tu dak mangaroti den de. Bahaso awak se la (jangan tinggi betul bahasamu, balance tidak mengerti saya. Bahasa kita saja)."


"Banyak aturan Nisa. Pokoknya Nisa harus ingat juga dengan saya, maksudnya."


Tu nan la ka joke na Kawan. Tuk ang aa nan ka indak lo, di nyawa-nyawa den agiahkan ma." (Itu sudah jelas kawan, Tuk Putri apa pun akan saya berikan, di nyawa di kasih tu)." Tukas Nisa.


"Apa kabarnya sekarang Nisa?. 


"Alhamdulillah sehat, den cubo lo bahaso Indonesia dulu. Pado ponek lo ang mangetik e beko ha ha."


Sebenarnya saya ingin curhat, semoga saja kamu menjaga rahasia. Tidak membocorkan rahasia saya kepada orang lain. Soalnya sekarang, tidak kawan atau lawan sama -sama ember, suka kepo, dan mancukia-cukia kada urang (mencongkel bobrok orang lain)." Kata Nisa dengan nada marah.


"Tenang Nisa...ambil nafas dalam-dalam, tahan, tahan, tahan 5 menit..lalu kamu tidak bernafas lagi...he he. 


"Nisa-nisa, aku masih seperti yang dulu, kalau dulu gila sekarang lebih gila lagi, he he bercanda." Seloroh Putri.


"Aku serius Putri."


"Baik, saya duarius (sangat serius, pen) sekarang. Silahkan cerita sepuasnya, pakai paket nelponkah?"


"Untuk curhat dari kemarin sudah Nisa siapkan 1000 menit. Tenang aja Putr."


"Okelah, kalau begitu."


"Begini Put, saya makan hati makan jantung beserta ampelanya sekarang. Mengapa tidak,  ucapan "I love you", "I Miss you", "My Honey" "Yayang Bab) hanya kalimat romantis yang  membanjiri waktu awal pernikahan. 


Setelah punya anak, kalimat itu langka sekali. Parahnya, suamiku kasar Put. Jika aku terlambat mengambilkan nasi yang diletakkan di piring tinggal dia suap sendiri, masih aja marah. Aku bertanya mengapa lambat pulang, dia marah lagi. Kami sering bertengkar Put. Kalau bukan karena anak-anak ingin rasanya aku pergi dari kehidupannya."


"Cerai...maksud Nisa?


" Ya iyalah Put...gak tahan hidup dengan suami seperti itu. Siapa coba yang tahan dengan lelaki kasar."


"Aku paham masalahmu Nisa, aku ikut prihatin. Lalu apa yang sudah kamu lakukan pada suamimu?"


"Kamu sendiri tahu gimana aku Putri. Aku tigak gampang direndahkan, apalagi dimarahi, ya aku balas, makanya keluarga kami sering bertengkar."


"Apakah suamimu berubah dengan cara itu."


"Bukan berubah Put, malah makin menjadi-jadi perangainya. Di situ aku bingung, apa yang dapat saya lakukan Putri."


"Menurut saya, marah dibalas marah, bukan solusi, ibarat api disiram bensin malah api makin berkobar, dan membakar kalian berdua. Kamu pernah bicara lembut pada suamimu?


"Itu persoalannya Putri. Mana bisa aku bicara lembut. Setiap bicara kedengaran oleh suamiku ngegas terus. Ini sudah yang paling lembut aku bicara. Bentar putri, mungkin ini suamiku pulang. Kapan-kapan aku cerita lagi ya.. Assalamu'alaikum.


"Wa'alaikumsalam, Insyaa Allah Nisa, kamu boleh calling aku, sesukamu. Asalkan jangan jam tidurku Ya." Kelasku.


"Ya Rabb...ternyata ada kisah rumah tangga sahabatku seperti  sinetron. Bisik hatiku.


Tidak cukup modal kenal, modal cinta bertabur nafsu, modal ganteng, atau cantik aja untuk mengokohkan bangunan rumah tangga. Namun iman, ilmu, tsaqogah Islam, dan karakter baik, dan kemampuan manajemen konflik, termasuk skill komunikasi sangat diperlukan pasutri. 


"Alhamdulillah ya Allah kau kirim suami paling baik sedunia padaku." Bisik Putri.


"Ungkapan Paksu 'Biar Aku Saja' di telingaku sangat romantis. Pernah suatu kali ada acara rihlah kelompok pengajian. Aku pergi, Paksu jadi ojek pribadi. Pulang-pulang semuanya berantakan. Piring kotor berpesta pora dekat kompor. Pakaian kotor lumayan banyak, kain yang akan disetrika nangkring di terali jendela. Sikon ini sangat membutuhkan kalimat romantis pasutri 'Biar aku saja".


Kalimat ini membuat aktivitas apapun di rumah tangga jauh lebih ringan, lebih mudah, dan cepat selesai. Artinya kalimat "Buat aku saja" suatu kalimat yang berkontribusi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan Rumah Tangga. Antara suami dan istri ada kata saling, saling mengerti, saling memahami dan saling lainnya. 


Ada benarnya juga kata dosenku pernah menyampaikan rumus rumah tangga dengan 3S2R (1) saling pengertian, (2) sarana hidup,. (3) seks sehat, (4) Restu orang tua, dan (5) Ridha Ilahi. (Ini sudah ditulis di buku Konseling Cinta yang insyaa Allah akan terbit). 

----------

Kehidupan pasutri adalah kehidupan syurga yang dimulai di dunia. Sangat merugi jika waktu singkat itu diisi dengan pertengkaran. Kita tidak tahu siapa diantara pasutri yang lebih dahulu pergi, dan menanti di taman syurga. Maka jadikan setiap kebersamaan  sebagai momentum paling romantis. 


Semoga Bermanfaat

Salam ukhuwah

DARIMIS

Sabtu, 20 Februari 2021

KARENA SI 'TIMMY'

Sabtu, Februari 20, 2021 0 Comments


Hampir setiap hari Fahri membujuk ibunya, agar ia diizinkan memelihara kucing. Berbagai cara ia coba agar ibunya mengizinkan. 


"Bu, coba lihat kucing di belakang rumah kita, bulunya indah, bersih,  tegap, gagah seperti singa. Fahri kasih ikan ya Bu?"


 "Berikanlah, letakkan ikan di atas kertas dulu, nanti dia bisa makan sendiri. Jangan ditungguin ya, kawatirnya dia malu-malu kucing."

 

"Memang dia kucing Bu, gimana caranya kucing itu malu-malu kucing pada orang. Setahu Fahri hanya orang yang malu-malu kucing pada orang lain, Fahri mau lihat ah."


Bu Maryam, tersenyum sendiri mendengar pernyataan Fahri. Sambil membenahi peralatan dapur yang masih berantakan. 


"Bu, Bang Habib ada anak kucing empat ekor, Fahri coba minta satu ekor kemarin. Abangnya mau ngasih ke Fahri Bu. Boleh Fahri memelihara kucing Bu, boleh ya....boleh ya....


"Fahri! bukan persoalan boleh atau tidak boleh, tapi apa niat dan tujuan Fahri memelihara kucing?" Tanya Bu Maryam.


"Niat dan tujuan Fahri baik kok Bu, agar Fahri punya teman."


Ya Allah, apa yang salah dengan pertanyaanku, hingga anakku tidak paham. Apakah pertanyaanku terlalu tinggi untuk anak kelas enam SD seperti Fahri. Aku sih paham, semua perbuatan tergantung niat, dan kita akan mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang kita niatkan. Jika niat shalat tahajud untuk mencari dunia, maka dunia akan dapat, pahala belum tentu. Niat menolong orang lain agar kita ditolong, itu juga akan dapat. Tapi tidak cukup hanya sampai di situ. Niat pelihara kucing untuk dijadikan teman, teman dapat, tapi pahala belum tentu.  Self-talk bertubi-tubi terjadi dalam diri Bu Maryam. 


"Baik, ibu paham dengan Fahri. Fahri memang suka memelihara hewan dari kecil. Tidak hanya Fahri, kakakmu juga suka memelihara hewan. Poin penting yang mau ibu jelaskan adalah Semua yang kita lakukan harus dilandasai niat dan tujuan yang jelas, agar bernilai ibadah, atau menjadi amal shalih.


Setiap perbuatan kita akan bernilai amal shalih, jika memenuhi dua syarat (1) niat melakukannya karena Allah semata, dan (2) cara melakukannya ittiba' 'alal Rasulullah (mengikuti cara Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam).


"Apapun perbuatan baik yang kita lakukan agar bernilai ibadah harus memperhatikan syarat itu. Ibu tidak mau, Fahri melakukan sesuatu karena ikut-ikutan."


Teman pelihara kucing, dirimu ikut pelahara kucing. Teman pakai hp dirimu ikut pakai hp. Akhirnya teman masuk jurang, dirimu pun ikut masuk lumpur...e jurang, ceramah Bu Maryam panjang lebar ke Fahri.


"Kok bisa masuk lumpur bu, jauh amat antara kucing dan lumpur?"


"Itu tamsil, ibarat atau perumpamaan, Fahri. Dirimu bisa saja seperti itu, jika kamu tidak punya prinsip hidup. Tidak ada independensi diri, dirimu mudah didikte oleh cara hidup orang lain. Kadang karena ingin senada seirama dengan life style orang lain, dirimu melanggar aturan Allah SWT, dan itu no problems menurut dirimu."


"Insyaa Allah, Fahri akan istiqamah Bu. Ibu tenang aja."


"Istiqamah memelihara kucing maksudnya? Tanya Bu Maryam


"He he, ibu cepat paham dengan Fahri. Bu... Kucing itu hewan kesayangan Rasulullah Bu. Nama kucing Rasulullah itu 'Mu'izzah atau Muezza artinya begitu berharga atau peduli pada seseorang."


"Super Sekali, hebat 👍 dirimu, Dari mana dirimu tahu nama kucing Rasulullah Muiz, apa namanya tadi?"


"Mu'izzah atau Muezza, sejenis kucing domestik Angora Bu. Fahri baca di internet seperti itu Bu. Boleh ya Fahri pelihara kucing? 


"Tanya Bapakmu Sono? 


"Ibu dulu yang membolehkan, kalau ibu membolehkan , ayah insyaa Allah setuju-setuju aja tu Bu."


"Tadi ibu jelaskan, apapun yang kita kerjakan harus niat karena Allah dan cara memelihara kucing harus sesuai dengan cara Rasulullah. Siiplah kalau begitu."


"Siiip gimana...maksudnya?


"Fahri senang, ibu izinkan Fahri memelihara kucing. Insyaa Allah niat Fahri ikhlas Bu. Ibu tinggal izinkan Fahri aja...betul...betul...betul...


"Terserah Fahrilah." Ibu setuju tidak, melarang juga tidak. Asalkan dua syarat terpenuhi. Fahri harus bertanggung jawab memelihara kucingnya. Jangan-jangan ibu yang menanggung, Fahri yang jawabnya.


 "Ashiaaaaap, terima kasih Bu." 


Sore itu, seekor anak kucing landing di rumah Bu Maryam. Fahri sibuk mencari kardus, papan, tempat air minum, piring, handuk kecil, tempat BAK dan BAK dll untuk kucing. Semuanya diletakkan di luar rumah.


Menjelang azan berkumandang, Fahri baru selesai mempersiapkan perangkat pemeliharaan kucing perdananya. 


Sebelum isya dan belajar sebentar, Fahri meminjam HP ayahnya. Dia searching nama-nama kucing jantan. Dari sekian banyak nama kucing, dia pilih satu nama. Nama yang nyangkut di hatinya "Timmy" artinya kucing lucu, imut, dan menggemaskan.


Itu bedanya generasi yang terlahir di era digital  '(digital native) dengan generasi X, Y, dan Z (generasi abjad terakhir, istilah Bu Maryam), generasi alfha, Betha, generasi millenial dll. Generasi sekarang, semuanya disearching, digoogling, dibrowsing, di diposting dan di ing ing ing lainnya. Kadang rela menjadi jemaah youtubiyah, facebookiyah, Instagramiyah, dan tiktokiyah dll. 


Setelah shalat isya dan sedikit murajaah hafalan, Fahri sudah mengantuk. 


"Hari belum jam sembilan, sudah ngantuk aja anak bujang Ibu" kata Bu Maryam.


"Cuapeknya minta ampun Bu,  Fahri tidur dulu Bu, Yah, Assalamu'alaikum."


"Wa'alaikumsalam" jawab Bu Maryam. 


BERSAMBUNG...

TERUS MENERUS MENULIS MESKIPUN TIPIS-TIPIS

Sabtu, Februari 20, 2021 0 Comments

K


esadaran akan dosa dan khilaf yang terus bertambah. Membuat diri ini selalu mencari cara untuk terus berbenah. Teruslah merafal istigfar dan mengulang taubat tanpa lelah. Semoga Allah Subhanahu Wata'ala memberi maghfirah dan hidayah. 


Terbersit di hati untuk aktif di dunia literasi. Tapi kesempatan kadang sulit dicari. Namun demikian, terus mencoba menulis tipis-tipis setiap hari. Agar kebaikan dan 'ilman nafi'an terinvestasi. 


Boleh jadi bagi sebagian pembaca tak berarti. Seperti angin berhembus, lalu pergi. Tapi, aku tetap yakin masih ada sahabat pembaca yang menyukai literasi. Kata guruku 'setiap tulisan memiliki segmen pembaca tersendiri.' 


Ilmu yang bermanfaat ('ilman nafi'an) atau pengalaman berarti, tidak boleh disimpan sendiri. Sampaikanlah meski satu ayat, atau tulislah meski satu baris perhari. Lama-lama bisa menjadi. Menjadi buku, pahala jariyah sekaligus menambah investasi ukhrawi (hanya berharap....🌺)


Menulis bukan persoalan harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Tetapi tentang kebaikan dan manfaat bagi sesama. Betapa banyak di luar sana saudara kita membutuhkan uluran tulisan kita (uluran tangan terlalu jauh....)


Wahai diri...jika benar dirimu beriman beramal shalihlah. Setiap manusia merugi kecuali orang beriman dan beramal shalih, saling menasehati  dalam kebenaran, dalam kesabaran, dan dalam marhamah. Bukankah begitu Rabbmu bertitah.


Wahai diri jika benar dirimu tahu (bukan berilmu ya he he) jadikanlah pengetahuanmu wasilah menebar faedah. Agar mudah dapatkan berkah. 


Wahai sobat...jika hatimu sudah bercahaya, maka berbagi cahaya dengan saudara² kita. Mungkin masih ada saudara kita  hidup dalam gulita. 


Sahabat...menulis bukan semata persoalan materi. Bukan pula karena obsesi ingin eksis atau viral di bumi. Sebab persoalan materi adalah urusan rezeki. Setiap hamba sudah ditetapkan rezekinya oleh Ilahi. Walaupun tidak diikhtiarkan kadang datang sendiri. Apalagi jika dicari dengan cara halal, berkahnya luar biasa sekali.  


Menulis adalah persoalan keselamatan. Apalagi di era kekinian. Arus informasi membanjiri dunia permedsossan.  Kadang datang sampah-sampah kemaksiatan. Hadir di beranda sosmed kita tanpa undangan (emangnya baralek...wk wk). Kalau tidak dibendung dengan tulisan tandingan. Medsos akan menenggelamkan anak dan generasi kita ke jurang kebatilan. Sementara diri ini masih nyaman duduk manis, sambil menikmati enaknya makanan. "Yang penting pelaku maksiat bukan anak gue, ponakan gue, adik gue...kakak gua, dan bukan siapa-siapa gue, ngapain gue pusingkan." 


Wahai diri...jangan sampai egoisme dirimu menambah persoalan umat. Jika engkau berkomitmen dengan syahadatainmu, banyak hal yang harus kamu ingat. Banyak pula yang dapat kamu perbuat untuk umat.


Surga Allah Subhanahu Wata'ala lebih luas dari langit dan bumi, terlalu sepi jika sobat isi sendiri. Apa salahnya ajak kami, sifaqir ilmu yang selalu mengemis kasih Ilahi. Diri yang selalu berlumur dosa, tapi tak tahu jalan kembali. Hawa nafsu senantiasa menggerogoti. Belum lagi godaan di sana-sini. Godaan setan lakhnatullah itu sudah pasti. Kadang kami butuh support, tausiyah, nasehat, dan motivasi. Tapi kemana harus kami cari...sementara tulisan indah full faedah sobat disimpan sendiri.....help me please saudaraku...!


Salam ukhuwah

Sobatmu

Darimis

ANTARA WANITA, EMAS , DAN DINAR

Sabtu, Februari 20, 2021 0 Comments


Wanita itu identik dengan perhiasan. Setiap wanita suka membeli, mengoleksi, dan memakai emas sebagai perhiasan.  Wanita millioner atau milyader perhiasannya di samping emas juga berlian. Bukan berarti wanita matrealistis ya Pak.  Fitrah wanita memang suka perhiasan. Bahkan wanita itu sendiri adalah perhiasan. "Dunia adalah perhiasan, sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah." (Hadits). 


Setiap lelaki shalih memilih menikah dengan wanita shalihah.  Lelaki tidak shalih pun cenderung mencari istri yang shalihah. Apakah wanita shalihah suka perhiasan? memang iya, karena setiap wanita fitrahnya demikian. Hanya saja wanita shalihah tidak terobsesi dengan perhiasan berupa emas atau berlian. Jika ada Alhamdulillah, jika tidak ada tetap Alhamdulillah.


Btw, ngomong-ngomong tentang emas sebagai perhiasan, kali ini  emak dasteran seperti saya mencoba merefleksi tentang emas dan Dinar. Namanya refleksi tentu bersifat subjektif individual, tidak representatif bagi penilai yang lain. 


Kita mungkin pernah membaca atau mendengar berita tentang pasar Mu'malat Depok. Transaksi jual beli di pasar tersebut tidak menggunakan mata uang rupiah, melainkan memakai koin dinar dan dirham.  Tulisan ini tidak ada kaitannya dengan berita ini. Hanya sekadar berpendapat tentang emas dan Dinar.


Samakah antara emas dan Dinar? Jawabannya, emas tidak sama dengan dinar Mak. Emas ya emas, dan Dinar ya dinar, antara Dinar dan emas terdapat perbedaan.  Meskipun emas dan Dinar berasal dari zat yang sama. 


Disebabkan emas dan Dinar berbeda, emak jangan coba belanja di warung atau di mall pakai Dinar. Pakailah rupiah, baik langsung maupun digesek. Tergantung jenis kartu yang ada di dompet Mak. Kartu ATM bisa, kartu Debet boleh, dan kartu kredit apalagi. Saya kurang paham Mak. Dalam dompet saya hanya ada kartu tanda penduduk...wk.wk.


Oh ya Mak,  jika emak ingin terlihat metropolis, kekinian, sosialita, modis, dan berkelas,  bisa saja pakai emas perhiasan. Bukan emas batangan ya Mak, entar dikejar orang, soalnya peminatnya banyak. Sekarang, Covid-19 belum berlalu, jangankan emas batangan, barang rongsokan di belakang rumah aja hilang Mak. Apalagi benda berharga seperti motor atau mobil. 


Bolehkah kita memakai Dinar untuk perhiasan?, itu sih terserah Mak. Mak boleh saja gantungkan dinar di leher, di telinga, di kaki, di kerudung sebagai ganti aksesoris. Suka-suka Mak pakainya kek gimana, horang kaya mah bebas Mak. 


Lalu emas itu apa? Dinar itu apa? Sabar Mak...ini yang mau saya tuliskan. Emas adalah logam mulia yang bernilai tinggi. Emas selalu hadir dalam wujud emas. Tidak akan disebut emas jika tidak berwujud Emas. Jika ada emas berwujud kue brownis atau bakso lava tidak disebut emas ya Mak. Emas juga tidak selalu berwarna kuning. Emas putih juga ada. Teman saya enggan memakai emas warna kuning, takut hilang, katanya. 


Selanjutnya Dinar adalah mata uang suatu negara yang memiliki nilai ekstrinsik emas. Dinar bisa berwujud emas secara langsung, bisa berwujud uang logam atau secarik uang kertas yang dijamin emas. Jaminan emas ini disimpan dengan aman di suatu tempat. Di mana disimpan? Ini sulit jawabnya Mak. Pokoknya disimpan. Siapa yang nyimpan? Negara yang nyimpan Mak. Jika saya yang nyimpan kawatirnya jiwa korupsi saya kambuh...he...he. 


Lalu apa perbedaan dinar dengan uang kertas? Keduanya beda Mak. Dinar sebagai mata uang dijamin emas, namun uang kertas ya uang kertas doang. Tak dijaminkan dengan emas, tidak memiliki nilai instrinsik emas,  nilainya tergantung undang-undang negara. Nilai uang kertas bisa menguap seperti asap, bisa terbang seperti layangan, dan bisa tidak bernilai sama sekali. Misalnya di negara mana tu Mak...saya lupa. 


Beda dengan Dinar, Dinar merupakan mata uang dengan nilai intrinisk Emas, sekaligus dilindungi undang-undang negara  melalui seperangkat sistem hukumnya. Meskipun emak keturunan Sultan, memiliki  emas bergudang-gudang, setiap gudang ada kuncinya seperti Qarun, lalu emak ingin mencetak uang logam bertuliskan kata Dinar, tidak disebut Dinar mak. Tahu penyebabnya?. Ya, mak pintar, karena tidak dilindungi dan diatur oleh UU negara. Hanya institusi negaralah yang pemberlakukan Dinar sebagai mata uang.


Mata uang kita bukan Dinar, tetapi rupiah. Mata uang Arab Saudi disebut Riyal, mata uang Malaysia namanya Ringgit, mata uang China dikenal Yuan, di Amerika disebut Dolar, Uni Eropa mata uangnya Euro. Semua ada mekanisme hukumnya Mak. Tidak bisa suka-suka kita. Jika Mak ngotot buat mata uang Dinar karena emas Mak sepuncak gunung Himalaya, tidak bisa Mak. Sepengetahuan saya sebagai emak dasteran, Dinar dan dirham merupakan mata uang resmi negara, khusus negara dengan sistem pemerintahan Islam. Seperti pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, masa Khulafaur Rasyidin dan masa pemerintahan Islam setelahnya. 


Itulah pendapat saya tentang  wanita, emas dan Dinar Mak. Jika emak and bapak punya pendapat lain, silahkan ditulis di kolom komentar ya Mak & Pak.


Semoga bermanfaat

Salam Ukhuwah,


Darimis

FOTO PROFIL

Sabtu, Februari 20, 2021 0 Comments

Foto Profil kadang penting kadang tidak

Sobat....jika terbersit tanya di hati, mengapa fotoku di medsos sulit dicari? Kucoba jawab di sini. Sebenarnya ada alasan yang mendasari. Meskipun menurutku menampilkan poto hukumnya "mubah", namun aku memilih untuk hati-hati. 

.

Sobat...bukan tidak konsisten dengan pilihan. Di beberapa platform media sosial masih ada foto profil ditampilkan. Seperti di Instagram @ darimis_mis, dan google scholar, dan sintaristekdikti masih ditampilkan, karena tuntutan. Di FB, blogger, researchgate, dan academia.edu tidak ditampilkan, karena beberapa alasan. Namun demikian, aku tetap mohon perlindungan,  semoga tidak apa-apa, foto itu hanya sebatas penanda, itu akunku atau bukan. 


Terlepas dari hukum, niat dan tujuan menampilkan foto profil di media sosial. Aku memilih tidak ada foto profil dengan alasan individual. Cukup fotoku dilihat oleh seorang yang spesial. Suami tercinta, yang dengannya aku berkomitmen untuk menjaga, setia dan sehidup sesurga,  semoga diijabah oleh Allah Yang Maha Mengenal. Aamiin.


Tanpa foto profil pun, akun medsos bisa dimanfaatkan dan diisi. Medsos bagiku hanya mesin pencari informasi terupdate, dan berbagai keterampilan yang diperlukan sehari-hari. Kadang dipakai untuk menitipkan tulisan-tulisan, seperti artikel cerpen, dan puisi.  Biasanya kucoba isi tulisan tentang nasehat diri, konseling, cinta, keluarga, kiat atau tips dan solusi. Silahkan dilike, dikoment, atau dishare  kembali. Agar kita sama-sama mengambil dan menebarkan manfaat untuk kebaikan hidup ukhrawi.


Sekadar nasehati diri, informasi, dan wejangan untuk anak-anak sendiri. Berulang kali kuceritakan kisah seorang Tabiin terkenal Uwais al-Qarni. Tentang agung dan mulianya birrul walidain. Uwais adalah pemuda berbakti, do'anya senantiasa diijabah Allah yang Maha Memberi. Dia tidak dikenal orang di bumi, Namun dicintai penduduk langit, sungguh kisah luar biasa sekali. Kisah selebram langit untuk konten edukasi.


Kesadaran atas hakikat diri dari Pencipta, hidup di dunia untuk beribadah semata, dan akan kembali kepada Pencipta. Membuatku harus berpikir keras untuk tetap terbangun dan waspada. Agar perjalanan hidupku tetap di rel dan ketentuan yang ada. Soalnya diriku gampang silau dan terpukau oleh pernik-pernik dunia.


Sahabat...

Maafkan, jika aku memposting sesuatu yang bukan sobat butuhkan. Konten yang tidak sobat inginkan. Banyak tulisan, dan membosankan. Tidak ada foto, dan laporan kegiatan harian. Jarang upload kepemilikan, dan prestasi membanggakan. 


Aku memanfaatkan sosial media seperti FB hanya untuk latihan. Sebab aku kurang pandai merangkai kata indah berkesan. Pemilihan diksi kadang berantakan. Ide tidak brilian. Maka medsos bisa dijadikan ajang latihan menulis dan menuangkan pikiran. Merefleksi berbagai kejadian. Dengan harapan skill menulisku mengalami peningkatan. 


Kembali ke foto profil. Sobat...aku memilih tidak ada foto profil. Wajahku bukan untuk dikomersil.  Imanku sering tidak stabil. Jika fotoku ada yang like, dikoment bagus,  aku kawatir tidak bisa menjaga iman yang seupil. Sifat ujub, sombong, dan seabrek penyakit hati bisa tampil.


Masih terkait foto profil di sosial media.  Suatu ketika aku tanya alasan anak sulungku, kenapa foto profil juga tidak ada di sosmednya?. Jawabannya "Foto dirinya terlalu mahal diletakkan di sosial media. Bukan mahal harganya, namun mahal maknanya." Pernyataan ini mungkin biasa. Namun bagiku sebagai ibu termasuk pernyataan luar biasa. Hal ini penting bagiku sebagai evaluasi hasil pendidikan  yang pernah kucoba. 


Seorang ibu sangat mendukung pilihan anaknya, asalkan setiap keputusan dan pilihan berbasis pemahaman. Paham niat dan tujuan perbuatan. Paham alasan mengapa  suatu perbuatan dilakukan atau ditinggalkan. Bukan berdasarkan keputusan dan pilihan spontan. Bukan berdasarkan banyak orang melakukan atau kebiasaan. Bukan pula karena ikut-ikutan teman atau trend zaman. 


Perbuatan itu kompleks, ada hakikat, kaedah, prediket, sifat, nilai, dan hukum syarak tentang perbuatan. Mengapa? karena di Yaumul Hisab semua insan berakal akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan. Tidak ada perbuatan yang terluput, hilang atau dilupakan. Hasil audit dan akuntabilitas amal di Yaumul Hisab itu sangat menentukan keselamatan di hari pembalasan.  


Jika alasan untuk menyembunyikan kecantikan  tidak menampilkan poto di sosial media, sah-sah saja. Alangkah bagusnya alasan itu diupgrade lagi, dengan niat dan tujuan  ketaatan dan meraih Ridha Allah semata. Firman Pencipta tentang sifat, karakter, dan kriteria wanita shalihah sungguh luar biasa. Wanita shalihah lebih memilih menjaga iffah, muru'ah dan izzahnya. Jika memilih bersosial  media hanya untuk tujuan beribadah. 


Media sosial atau teknologi informasi hanya alat atau piranti. Manfaat dan mudaratnya tergantung pengguna itu sendiri. Maka harus cerdas dan bijak menggunakan teknologi informasi. Ada filosofi, "Jika tidak menyebarkan kebaikan dan amal jariyah di medsos, lebih baik tidak bermedsos sama sekali.  


Intinya, mana foto profilku? Jawabannya di sini tidak ditampilkan, di tempat lain ada. Di hardisk eksternalku banyak, di google foto, dan google drive juga ada. Disimpan di cloud sekarang juga bisa. Meskipun rawan, tetapi hanya itu alat yang dapat digunakan untuk menyimpannya.


Jika ada sahabat yang punya info, tempat penyimpanan foto yang lebih aman, mohon saran. Tuliskan di kolom komentar, biar bisa di save dan diamalkan. 

Terima kasih, semoga bermanfaat.


Salam ukhuwah

Sobatmu


Darimis

Kamis, 11 Februari 2021

KENANGAN INDAH DI LANGIT CINTA

Kamis, Februari 11, 2021 0 Comments

Jum’at


berkah, penuh rahmah. Matahari bersinar menerangi alam tanpa lelah. Kakiku terus melangkah menelusuri jalan kenangan indah. Bersama amak tercinta, yang kini sudah  tiada. Semoga kuburan beliau menjadi taman surga paling indah, sampai kiamat tiba.

.

Pikiranku melayang ke masa-masa sekolah dasar sampai sekolah menengah beberapa puluh tahun lalu. Hari itu, aku diingatkan Amak.

“Pulang sekolah nanti, jangan ngelayap kemana-mana ya, langsung pulang!

“Iya Mak.”

 

Setiap hari Jum’at, kedua orang tuaku mengajakku ke kebun karet dekat Jalan Lintas Sumatera. Mengumpulkan karet yang sudah disadap. Aku sudah paham betul, setiap hari Jum’at aku ke kebun membantu orang tua mengumpulkan karet. Pulang sekolah aku tidak pulang ke rumah. Namun langsung ke kebun, baju ganti, sandal, dan makan siang sudah dipersiapkan amak dan dibawa ke kebun.

 

Masih kuingat ketika di kebun banyak pacat (binatang kecil penghisap darah, seperti lintah). Biasanya sebelum masuk ke kebun, ayah menyiapkan tembakai diusapkan ke seluruh kali. Mungkin pacat tidak suka aroma tembakau yang pahit dan berbau.

 

Mengumpulkan karet tidak di satu, dua tempat, kadang tiga tempat, jarak antara satu tempat dengan tempat lain lumayan jauh. Dimulai jam 13.00 WIB sampai jam 16.00 WIB. Kemudian karet yang sudah dikumpulkan di bentuk  menjadi satu. Diikat dengan tali dari akar khusus yang tumbuh di pohon. Orang tuaku menamakan 'Aka lundang." Setelah karet menyatu, bisa diangkat dan diangkut. Kemudian diantarkan ke Saudagar karet di tepi jalan lintas Sumatera. Ditimbang dan dan ditaksir jumlah uangnya, baru dibayar saudagar karet. Kenapa hari Jum’at, karena uang hasil penjualan karet sangat dibutuhkan untuk belanja bahan makanan pokok di Pasar hari Sabtu.

 

 

“Hati-hati jalannya. Agak mendaki perbukitan, tapi kita hampir sampai. Nanti ayah menyusul setelah shalat Jum’at dan makan siang.” “Baik Mak,”sahutku pelan.

 

Nafas rasanya naik keubun-ubun, pendakian demi pendakian dilewati. Ada sebidang kebun karet milik kakak ayah. Tidak lama kemudian sampailah kami di kebun yang dituju.

 

“Alhamdulillah kita sampai.” Emak meletakkan beberapa ember hitam untuk mengumpukan karet, dan sebuah keranjang terbuat dari daun pandan. Kami menyebutnya “Kambuik Tali.” Sebagai wadah membawa makanan dan minuman.

 

Sebelum mulai membantu Amak mengumpulkan karet. Aku diajak Amak mengambil air wudhu’ di sungai kecil di bawah lahan perkebunan. Aku sangat bahagia, matahari bersinar  cerah, di tengah udara panas, kami menikmati jernih dan sejuk air sungai di bawah pohon karet. "Masyaa Allah...betapa indah suasana ketika itu.

 

“ Ayo Dar, kata Makku, kita segera shalat zuhur, siap itu makan, lanjut pengumpulkan karetnya. “ Baik Mak, kawatirnya hari keburu sore ya Mak?

“Iya, Amak kawatirnya hujan, jika hujan karet susah kita kumpulkan dan dibentuk, Jelas amakku.

 

Aku melangkah gontai sambil menyanyi dan menghirup wangi semerbak bunga-bunga hutan. Segarnya udara perbukitan tak tergantikan khas baunya oleh bunga-bunga dalam pot. Dedaunan menari ditiup angin ditambah kicau burung murai menambah indahnya suasana.

 

Selesai shalat dan makan, kami berdua mulai mengumpulkan karet satu demi satu hingga selesai. Ketika mau pulang di sepanjang jalan kami memetik jamur merang, mengambil pakis dan rebung untuk dimasak sore hari.

Di kebun yang kedua, kami ketemu ayah yang sudah selesai mengumpulkan karet. Kami bertiga lanjut mengumpukan karet di kebun yang ketiga. Sampai terdengar di masjid tilawah al-Qur’an menyambut shalat Ashar.

 

Setelah selesai mengumpulkan dan membentuk karet, diberi sedikit cuka agar segera karetnya membeku. Aku memilih mengambil buah lengkeng, langsat dan rambutan dekat pondok karet. Betapa manis buah-buahan itu, manis bukan kerena gratis, alias milik orang tua sendiri. Tetapi manis karena dimakan sambil memanjat pohon, dan kulitnya main lempar ke sana kemari.

 

Siap menjual karet ke Saudagar karet, kami pulang sambil membawa buah-buahan, bahan masakan, dan tentunya beberapa lembar uang untuk belanja di Pasar Sabtu. Tentunya kami pulang setelah selesai shalat Ashar di pondok kebun.

 

Malam hari dihabiskan dengan bercerita tentang pengalamanku di sekolah dengan amak dan ayah. Kadang tidur sampai jam 12 malam. Saking asyiknya bercerita tentang duniaku kepada kedua orang tua. Lagian hari Sabtu, biasanya pelajaran di sekolah hanya menggambar, jadi aku tidak perlu terlalu fokus membaca bahan pelajaran yang akan dipelajari esok hari.

 

“Alhamdulillah” pekik hatiku...dari kejauhan kulihat Mak pulang dari pasar. Tidak terbayang lezatnya makanan yang beliau bawa dalam keranjang. Biasanya keranjang anyaman plastik warna toska itu selalu berisi kue mangkok gula aren kesukaanku. Bahkan semenjak bayi aku lebih suka kue itu, bahkan sampai besarpun aku masih diketawakan Mak ketika minta belikan kue mangkok tiga (“Mak, nanti li kue tantuak tinto.” ) ketika bicaraku masih cadel.

 

Ibuuuu....ibu bangun shalat subuh kata anak sulungku..yang sudah selesai murajaah menjelang shalat subuh.

 

“Ya Rabb...ternyata aku bermimpi bersama dengan Amak. Terlepas arti dan interpretasi mimpi, bagiku menunggu Amak pulang dari pasar membawa oleh kue mangkok merupakan kenangan indah yang paling membahagiakan.

  

Rabu, 10 Februari 2021

URGENSI GELAR AKADEMIK

Rabu, Februari 10, 2021 0 Comments

 


Sahabat...kali ini saya ingin berbagi tentang gelar. Gelar itu macam-macam. Ada gelar akademik, seperti Sarjana Pendidikan (S.Pd) tentu disesuai dengan bidang ilmunya. Magister Pendidikan (M.Pd), dan Doktor (Dr. Arau DR), gelar tamatan strata tiga. S3 tamatan luar negeri lebih waw lagi, pakai Philoshopy of Doktor (Ph.D), beda dengan dokter (dr) huruf de (d) dan er (r)nya kecil.

Ada lagi gelar keagamaan, seperti Haji (H), dan Hajjah (Hj) dll. Ada gelar adat, di Minangkabau Misalnya ada gelar Datuak..Sutan...Sidi...Pangulu, dll. Beda daerah dan kultur beda gelarnya...begitu kira-kira Sobat.

Dalam suatu diskusi, teman saya pernah bertanya. Seberapa pentingkah gelar? Terutama gelar adademik ya Sobat. Apakah gelar itu harus dipajang dan banggakan?  Apakah ketika tidak dibacakan dan tidak dicantumkan gelar oleh orang lain, harus kita ceramahi panjang kali lebar?

 “Gelar saya mana? Capek carinya...tau gak sih. S1 minimal tiga setengah atau empat tahun, S2 minimal satu setengah atau dua tahun, dan S3 minimal enam semester. Belum lagi biaya, waktu, tenaga, perasaan dan aneka pengorbanan. Besok atau kapan-kapan cantumkan gelar saya, ya!, Lagi pula gelar saya yang ditulis juga salah, saya M.Pd bukan M.Ag...bla...bla...bla.”

Sobat...pernahkah bertemu dengan orang seperti di atas, jika ada berarti pengalaman kita sama. Kita sama-sama mendengar orang lain, atau kita sendiri diceramahi, gegara kita keliru membuat gelar orang penting. Saya sendiri maklum, gelar begitu penting  baginya, dibandingkan harga diri kita yang dicabik-cabik di hadapan orang lain.

 

Saya juga menemukan ada orang yang bergelar S1 atau S2, namun di beberapa platform media sosial menulis bio sebagai akademisi. Hebat betul...akademisi gitu lho. Ada juga orang yang sudah profesor, ketika dipanggil Prof, dia bilang “Panggil saya Bapak saja. Gelar itu bukan pertanda saya hebat, tetapi kesempatan baik dari pencipta yang  harus saya syukuri.” Masyaa Allah...tawadhu’ benar, saya salut, bahkan beliau salah satu referensi hidup saya. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala senantiasa melindungi, menyayangi, dan memberkahi beliau sampai akhirat, aamiin.

Saya juga pernah dengar dari oknum entrepreneur  “Gelar akademik bukan hal yang penting. Banyak yang berhasil menjadi saudagar, pengusaha, bahkan pejabat lokal atau daerah tidak selesai S1dan tidak ada gelar. Toh...mereka berhasil, kaya raya, terkenal, dan hebat.”

Ini fakta nyata bukan hoax ya Sobat, karena buktinya tidak terbantahkan. Coba saja lihat di sekitar kita. Betapa banyak orang yang dinilai berhasil, tetapi tidak menyelesaikan bahkan tidak merasakan duduk di bangku perkuliahan. Jika hanya sampai di sini, maka gelar dianggap tidak penting. Lebih ekstrim lagi, komentar ini “Kuliah itu habisin uang, toh setelah kuliah dapat ijazah, cari kerja, ujung-ujungnya cari uang juga. Mendingan tamat SD langsung cari uang, atau jadikan uang orang tua untuk sekolah dan kuliah jadi modal jualan. Toh sianu...dan siana berpendidikan tinggi juga tidak kaya. Lebih kaya si Fulan dari dia, padahal si Fulan hanya tamat SMP.

Ada teman saya mengkritik pernyataan  di atas. Jika gelar akademik tidak penting, tidak perlu, atau tidak dibutuhkan. Beranikah mereka yang menganggap gelar tidak penting melarang anaknya? Bahkan semakin banyak harta mereka, semakin bagus pendidikan akademik anak-anaknya. Anak-anak mereka tidak saja dikuliahkan di perguruan tinggi pavorif dalam negeri, tapi kuliah di luar negeri juga ada...makul anak  Sultan.

Mungkin karena keterbatasan jarak tempat piknik saya, sejauh ini saya belum menemukan mereka yang dianggap berhasil dan sukses secara materi melarang anak mereka kuliah. Jika ada mungkin mereka orang tua yang membingungkan, dan jumlah paling satu atau dua.

Menurut pendapat saya sebagai Emak Dasteran. “Sebenarnya kuliah itu penting. Bukan karena gelar, tapi karena proses pendidikan atau proses pembelajaran di perguruan tinggi tersebut. Para lulusan perguruan tinggi biasanya disiapkan untuk menjadi analis. Berpikir kritis (critical thinking) atau memiliki daya analisis (analysis). Seorang sarjana minimal memiliki analisis terhadap suatu masalah dan mampu menemukan strategi yang tepat dalam menyelesaikannya. Berbeda dengan orang yang hanya tamatan SD atau SMP, paling mengandalkan pengalaman dan kebiasaan.

Jika diperhatikan pada konteks Indonesia, gelar akademik masih sangat dihargai. Bukan hanya dihargai oleh calon mertua ya Sobat, calon  induak samang”, boss, atau atasan tempat mereka memasukkan surat lamaran kerja juga menghargai. Biasanya yang pertama kali dilihat adalah ijazah, kemudian nilai yang tertera di transkrip nilai. Pengalaman  dan kemampuan kerja biasanya di urutan selanjutnya.

Bagaimana dengan gelar adat dan gelar keagamaan. Sepertinya semakin ke sini semakin kurang diperlukan. Gelar itu makin memudar seiring datangnya era revolusi industri. Walaupun ada yang masih menggunakan dan bangga menggunakannya. Bahkan ada yang berseteru dengan yang lain demi suatu gelar adat. Mungkin beranggapan  gelar adat itu dapat mendongkrak harga diri.

Beda lagi dengan gelar agama, sampai saat ini masih dihargai banyak orang. Misalnya gelar haji atau hajjah masih dianggap wah. Apalagi gelar haji atau hajjah itu saja yang dimiliki. Bangganya minta ampiuuun. Jika tidak dipanggil ‘Pak haji atau bu haji, bisa marah tujuh turunan kepada yang memanggil. Orang Arab Saudi bahkan Imam Besar Masjidil Haram tidak menggunakan gelar haji di awal namanya. Pada satu tulisan pernah saya baca, sejarah penggunaan gelar haji atau hajjah di Indonesia diinisisai  oleh penjajah Belanda. Bertujuan untuk membedakan orang Islam dengan orang non Islam.

Hal paling menggelikan bagi saya, ada yang menggunakan gelar M.Pd di undangan nikah, padahal belum tamat. Akhirnya ditanya Profesor yang membimbingnya, “M.Pd ., ini gelar Anda?” maksud apa?. Maksudnya itu Mantu Pak Dulah (M.Pd) Prof. Kami yang hadir tertawa semua.

Ada lagi yang tidak mau menuliskan  gelar di undangan nikah. Orang tuanya marah. Ortunya tidak rela undangan yang beredar tidak mencantumkan gelar akademik sang anak. Bagi orang tua, gelar anak adalah simbol keberhasilan dan kebanggaan mereka, yang telah berhasil mengantarkan anaknya ke level strata tertentu.

Kesimpulan, gelar apapun terutama gelar akademik, bisa dianggap penting, bisa juga dianggap biasa. Gelar dipakai di tempat-tempat  atau pada moment yang mengharuskan menggunakan gelar. Sebab gelar akademik hanya simbol bahwa seseorang pernah kuliah. Namun tidak selalu representatif terhadap kemampuan dan kompetensi. 

with love

Darimis