Jum’at
berkah, penuh rahmah. Matahari bersinar menerangi alam tanpa lelah. Kakiku terus melangkah menelusuri jalan kenangan indah. Bersama amak tercinta, yang kini sudah tiada. Semoga kuburan beliau menjadi taman surga paling indah, sampai kiamat tiba.
.
Pikiranku
melayang ke masa-masa sekolah dasar sampai sekolah menengah beberapa puluh
tahun lalu. Hari itu, aku diingatkan Amak.
“Pulang
sekolah nanti, jangan ngelayap kemana-mana ya, langsung pulang!
“Iya
Mak.”
Setiap
hari Jum’at, kedua orang tuaku mengajakku ke kebun karet dekat Jalan Lintas
Sumatera. Mengumpulkan karet yang sudah disadap. Aku sudah paham betul, setiap hari
Jum’at aku ke kebun membantu orang tua mengumpulkan karet. Pulang sekolah aku
tidak pulang ke rumah. Namun langsung ke kebun, baju ganti, sandal, dan makan siang
sudah dipersiapkan amak dan dibawa ke kebun.
Masih
kuingat ketika di kebun banyak pacat (binatang kecil penghisap darah, seperti
lintah). Biasanya sebelum masuk ke kebun, ayah menyiapkan tembakai diusapkan ke
seluruh kali. Mungkin pacat tidak suka aroma tembakau yang pahit dan berbau.
Mengumpulkan karet tidak di satu, dua tempat, kadang tiga tempat, jarak antara satu tempat dengan
tempat lain lumayan jauh. Dimulai jam 13.00 WIB sampai jam 16.00 WIB. Kemudian
karet yang sudah dikumpulkan di bentuk
menjadi satu. Diikat dengan tali dari akar khusus yang tumbuh di pohon. Orang tuaku menamakan 'Aka lundang." Setelah karet menyatu, bisa diangkat dan diangkut. Kemudian diantarkan ke Saudagar karet di tepi jalan
lintas Sumatera. Ditimbang dan dan ditaksir jumlah uangnya, baru dibayar
saudagar karet. Kenapa hari Jum’at, karena uang hasil penjualan karet sangat
dibutuhkan untuk belanja bahan makanan pokok di Pasar hari Sabtu.
“Hati-hati
jalannya. Agak mendaki perbukitan, tapi kita hampir sampai. Nanti ayah menyusul
setelah shalat Jum’at dan makan siang.” “Baik Mak,”sahutku pelan.
Nafas
rasanya naik keubun-ubun, pendakian demi pendakian dilewati. Ada sebidang kebun
karet milik kakak ayah. Tidak lama kemudian sampailah kami di kebun yang
dituju.
“Alhamdulillah
kita sampai.” Emak meletakkan beberapa ember hitam untuk mengumpukan karet, dan
sebuah keranjang terbuat dari daun pandan. Kami menyebutnya “Kambuik Tali.” Sebagai
wadah membawa makanan dan minuman.
Sebelum
mulai membantu Amak mengumpulkan karet. Aku diajak Amak mengambil air wudhu’ di sungai kecil di bawah lahan perkebunan. Aku sangat bahagia, matahari
bersinar cerah, di tengah udara panas, kami menikmati jernih dan sejuk air sungai di
bawah pohon karet. "Masyaa Allah...betapa indah suasana ketika itu.
“
Ayo Dar, kata Makku, kita segera shalat zuhur, siap itu makan, lanjut
pengumpulkan karetnya. “ Baik Mak, kawatirnya hari keburu sore ya Mak?
“Iya, Amak kawatirnya hujan, jika hujan karet susah kita kumpulkan dan dibentuk,
Jelas amakku.
Aku
melangkah gontai sambil menyanyi dan menghirup wangi semerbak bunga-bunga
hutan. Segarnya udara perbukitan tak tergantikan khas baunya oleh bunga-bunga dalam pot. Dedaunan menari ditiup angin ditambah kicau
burung murai menambah indahnya suasana.
Selesai
shalat dan makan, kami berdua mulai mengumpulkan karet satu demi satu hingga
selesai. Ketika mau pulang di sepanjang jalan kami memetik jamur merang,
mengambil pakis dan rebung untuk dimasak sore hari.
Di
kebun yang kedua, kami ketemu ayah yang sudah selesai mengumpulkan karet.
Kami bertiga lanjut mengumpukan karet di kebun yang ketiga. Sampai terdengar di
masjid tilawah al-Qur’an menyambut shalat Ashar.
Setelah
selesai mengumpulkan dan membentuk karet, diberi sedikit cuka agar segera
karetnya membeku. Aku memilih mengambil buah lengkeng, langsat dan rambutan
dekat pondok karet. Betapa manis buah-buahan itu, manis bukan kerena gratis,
alias milik orang tua sendiri. Tetapi manis karena dimakan sambil memanjat
pohon, dan kulitnya main lempar ke sana kemari.
Siap
menjual karet ke Saudagar karet, kami pulang sambil membawa buah-buahan, bahan
masakan, dan tentunya beberapa lembar uang untuk belanja di Pasar Sabtu. Tentunya
kami pulang setelah selesai shalat Ashar di pondok kebun.
Malam
hari dihabiskan dengan bercerita tentang pengalamanku di sekolah dengan amak
dan ayah. Kadang tidur sampai jam 12 malam. Saking asyiknya bercerita tentang
duniaku kepada kedua orang tua. Lagian hari Sabtu, biasanya pelajaran di
sekolah hanya menggambar, jadi aku tidak perlu terlalu fokus membaca bahan
pelajaran yang akan dipelajari esok hari.
“Alhamdulillah”
pekik hatiku...dari kejauhan kulihat Mak pulang dari pasar. Tidak terbayang
lezatnya makanan yang beliau bawa dalam keranjang. Biasanya keranjang anyaman
plastik warna toska itu selalu berisi kue mangkok gula aren kesukaanku. Bahkan
semenjak bayi aku lebih suka kue itu, bahkan sampai besarpun aku masih
diketawakan Mak ketika minta belikan kue mangkok tiga (“Mak, nanti li kue
tantuak tinto.” ) ketika bicaraku masih cadel.
Ibuuuu....ibu
bangun shalat subuh kata anak sulungku..yang sudah selesai murajaah menjelang
shalat subuh.
“Ya
Rabb...ternyata aku bermimpi bersama dengan Amak. Terlepas arti dan
interpretasi mimpi, bagiku menunggu Amak pulang dari pasar membawa oleh kue
mangkok merupakan kenangan indah yang paling membahagiakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar