Follow Us @soratemplates

Kamis, 11 Februari 2021

KENANGAN INDAH DI LANGIT CINTA

Jum’at


berkah, penuh rahmah. Matahari bersinar menerangi alam tanpa lelah. Kakiku terus melangkah menelusuri jalan kenangan indah. Bersama amak tercinta, yang kini sudah  tiada. Semoga kuburan beliau menjadi taman surga paling indah, sampai kiamat tiba.

.

Pikiranku melayang ke masa-masa sekolah dasar sampai sekolah menengah beberapa puluh tahun lalu. Hari itu, aku diingatkan Amak.

“Pulang sekolah nanti, jangan ngelayap kemana-mana ya, langsung pulang!

“Iya Mak.”

 

Setiap hari Jum’at, kedua orang tuaku mengajakku ke kebun karet dekat Jalan Lintas Sumatera. Mengumpulkan karet yang sudah disadap. Aku sudah paham betul, setiap hari Jum’at aku ke kebun membantu orang tua mengumpulkan karet. Pulang sekolah aku tidak pulang ke rumah. Namun langsung ke kebun, baju ganti, sandal, dan makan siang sudah dipersiapkan amak dan dibawa ke kebun.

 

Masih kuingat ketika di kebun banyak pacat (binatang kecil penghisap darah, seperti lintah). Biasanya sebelum masuk ke kebun, ayah menyiapkan tembakai diusapkan ke seluruh kali. Mungkin pacat tidak suka aroma tembakau yang pahit dan berbau.

 

Mengumpulkan karet tidak di satu, dua tempat, kadang tiga tempat, jarak antara satu tempat dengan tempat lain lumayan jauh. Dimulai jam 13.00 WIB sampai jam 16.00 WIB. Kemudian karet yang sudah dikumpulkan di bentuk  menjadi satu. Diikat dengan tali dari akar khusus yang tumbuh di pohon. Orang tuaku menamakan 'Aka lundang." Setelah karet menyatu, bisa diangkat dan diangkut. Kemudian diantarkan ke Saudagar karet di tepi jalan lintas Sumatera. Ditimbang dan dan ditaksir jumlah uangnya, baru dibayar saudagar karet. Kenapa hari Jum’at, karena uang hasil penjualan karet sangat dibutuhkan untuk belanja bahan makanan pokok di Pasar hari Sabtu.

 

 

“Hati-hati jalannya. Agak mendaki perbukitan, tapi kita hampir sampai. Nanti ayah menyusul setelah shalat Jum’at dan makan siang.” “Baik Mak,”sahutku pelan.

 

Nafas rasanya naik keubun-ubun, pendakian demi pendakian dilewati. Ada sebidang kebun karet milik kakak ayah. Tidak lama kemudian sampailah kami di kebun yang dituju.

 

“Alhamdulillah kita sampai.” Emak meletakkan beberapa ember hitam untuk mengumpukan karet, dan sebuah keranjang terbuat dari daun pandan. Kami menyebutnya “Kambuik Tali.” Sebagai wadah membawa makanan dan minuman.

 

Sebelum mulai membantu Amak mengumpulkan karet. Aku diajak Amak mengambil air wudhu’ di sungai kecil di bawah lahan perkebunan. Aku sangat bahagia, matahari bersinar  cerah, di tengah udara panas, kami menikmati jernih dan sejuk air sungai di bawah pohon karet. "Masyaa Allah...betapa indah suasana ketika itu.

 

“ Ayo Dar, kata Makku, kita segera shalat zuhur, siap itu makan, lanjut pengumpulkan karetnya. “ Baik Mak, kawatirnya hari keburu sore ya Mak?

“Iya, Amak kawatirnya hujan, jika hujan karet susah kita kumpulkan dan dibentuk, Jelas amakku.

 

Aku melangkah gontai sambil menyanyi dan menghirup wangi semerbak bunga-bunga hutan. Segarnya udara perbukitan tak tergantikan khas baunya oleh bunga-bunga dalam pot. Dedaunan menari ditiup angin ditambah kicau burung murai menambah indahnya suasana.

 

Selesai shalat dan makan, kami berdua mulai mengumpulkan karet satu demi satu hingga selesai. Ketika mau pulang di sepanjang jalan kami memetik jamur merang, mengambil pakis dan rebung untuk dimasak sore hari.

Di kebun yang kedua, kami ketemu ayah yang sudah selesai mengumpulkan karet. Kami bertiga lanjut mengumpukan karet di kebun yang ketiga. Sampai terdengar di masjid tilawah al-Qur’an menyambut shalat Ashar.

 

Setelah selesai mengumpulkan dan membentuk karet, diberi sedikit cuka agar segera karetnya membeku. Aku memilih mengambil buah lengkeng, langsat dan rambutan dekat pondok karet. Betapa manis buah-buahan itu, manis bukan kerena gratis, alias milik orang tua sendiri. Tetapi manis karena dimakan sambil memanjat pohon, dan kulitnya main lempar ke sana kemari.

 

Siap menjual karet ke Saudagar karet, kami pulang sambil membawa buah-buahan, bahan masakan, dan tentunya beberapa lembar uang untuk belanja di Pasar Sabtu. Tentunya kami pulang setelah selesai shalat Ashar di pondok kebun.

 

Malam hari dihabiskan dengan bercerita tentang pengalamanku di sekolah dengan amak dan ayah. Kadang tidur sampai jam 12 malam. Saking asyiknya bercerita tentang duniaku kepada kedua orang tua. Lagian hari Sabtu, biasanya pelajaran di sekolah hanya menggambar, jadi aku tidak perlu terlalu fokus membaca bahan pelajaran yang akan dipelajari esok hari.

 

“Alhamdulillah” pekik hatiku...dari kejauhan kulihat Mak pulang dari pasar. Tidak terbayang lezatnya makanan yang beliau bawa dalam keranjang. Biasanya keranjang anyaman plastik warna toska itu selalu berisi kue mangkok gula aren kesukaanku. Bahkan semenjak bayi aku lebih suka kue itu, bahkan sampai besarpun aku masih diketawakan Mak ketika minta belikan kue mangkok tiga (“Mak, nanti li kue tantuak tinto.” ) ketika bicaraku masih cadel.

 

Ibuuuu....ibu bangun shalat subuh kata anak sulungku..yang sudah selesai murajaah menjelang shalat subuh.

 

“Ya Rabb...ternyata aku bermimpi bersama dengan Amak. Terlepas arti dan interpretasi mimpi, bagiku menunggu Amak pulang dari pasar membawa oleh kue mangkok merupakan kenangan indah yang paling membahagiakan.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar