Manusia hanya mampu berencana dan berikhtiar sekuat tenaga untuk meraih keberhasilan, namun manusia tidak mampu menjamin keberhasilan. Manusia wajib berusaha tapi tidak wajib berhasil, sebab hasil semata-mata urusan Sang Pencipta, yang mengatur semua urusan. Sangat patalogis ketika kita mengharuskan keberhasilan. Sebab kata ‘harus”, “mesti” “pokoknya” adalah pemaksaan kehendak atas diri, orang lain dan keadaan agar senantiasa berpihak pada keinginan dan harapan kita. Kata itu sangat membebani fisik dan psikis, seolah kita dapat menentukan dan mengendalikan takdir kita.
Setelah berusaha seoptimal mungkin, selebihnya kita serahkan urusan tersebut kepada Allah Subhanahu Wata’ala,
Rabb Yang Maha Menentukan. Kita hanya wajib berikhtiar dan tawakkal, selebihnya
biarlah Allah yang menentukan. Jika kita berhasil meraih suatu impian itulah
yang terbaik, namun jika belum berhasil meraih impian itu juga baik. Semua urusan
mukmin itu kebaikan. Ketika belum berhasil dia ridha, ikhlas, dan bersaba, itu
baik baginya. Jika berhasil meraih impian, dia bersyukur, bersyukur juga maslahat baginya.
Tawakkal itu lebih indah dari pelangi setelah rintik hujan turun ke bumi.
Tawakkal menjadi amunisi kelelahan jiwa setelah bekerja keras melewati setiap
jengkal proses. Tawakkal membuat kita semakin yakin pada Pencipta, bahwa kita insan
lemah, tak berdaya, memiliki kemampuan terbatas, dan sangat membutuhkan
pertolongan dan kemudahan dari Allah Subhanahu Wata’ala. Lalu alasan apa
sebenarnya yang membuat kita membangkang terhadap perintah-Nya, menolak
kebenaran yang Dia dan Rasul sampaikan, dan meremehkan setiap manusia atas
keberhasilan yang kita peroleh.
Keindahan tawakkal dapat kita pelajari dan kita renungkan betapa Allah Maha
Pengatur semua kejadian. Dia membuat segala sampai. Dia juga yang mengatur
jalan taqdir yang kadang menurut manusia tidak masuk akal. Untuk lebih memahami
tawakkal, yuk kita simak kisah berikut.
Abu Hurairah Raḍiyallahu 'Anhu, dari Rasulullah Sallallahu 'Alaihi
wa sallam bahwa beliau pernah mengisahkan ada seorang dari Bani Israil meminjam uang seribu dinar kepada Bani Israil
lainnya. Orang yang meminjamkan berkata:
“Datangkanlah saksi-saksi! Aku ingin mempersaksikan peminjaman ini kepada
mereka.”
Peminjam berkata, “Cukuplah Allah sebagai saksinya.” Orang yang meminjamkan
berkata lagi, “Datangkanlah seorang penjamin.” Peminjam berkata, “Cukuplah
Allah sebagai penjamin.” Orang yang meminjamkan berkata, “Kamu benar.” Kemudian
dia memberikan uang itu hingga tempo waktu tertentu. Kemudian orang yang
meminjam uang itu pergi ke laut untuk memenuhi hajatnya. Dia pun mencari perahu
untuk dianikinya guna mengantarkan uang pinjamannya yang sudah jatuh tempo
pembayarannya. Namun dia tidak menemukannya. Kemudian dia mengambil kayu dan
melubanginya. Lalu dia memasukkan ke dalamnya uang seribu dinar beserta secarik
tulisan yang ditujukan kepada pemilik uang. Kemudian ia melapisinya agar tidak
terkena air. Lalu dia membawa kayu ke laut. Dia berkata, “Ya Allah, sesungguhnya
Engkau mengetahui bahwa aku telah meminjam uang seribu dinar kepada si fulan.
Dia meminta penjamin dariku, kemudian kukatakan bahwa cukuplah Allah sebagai
penjamin, dan dia pun rela. Dia memintaku mendatangkan saksi, lalu kukatakan
bahwa cukuplah Allah sebagai saksi, dan dia pun rela.
Sesungguhnya aku telah berusaha untuk mendapatkan perahu yang akan
kugunakan untuk mengantarkan uangku kepadanya, namun aku tidak mendapatkannya.
Kini, kutitipkan uang itu kepada-Mu.” Kemudian dia melemparkan kayu itu hingga
tenggelam. Dia pun pergi. Walau demikian, dia tetap berusaha mencari perahu
yang menuju ke negerinya. Orang yang meminjamkan uang pergi untuk menanti,
barangkali ada perahu datang membawa piutangnya. Tiba-tiba dia menemukan kayu
yang berisi uang itu. Dia membawanya pulang sebagai kayu bakar untuk istrinya.
Tatkala dia membelahnya, dia menemukan uang dan secarik pesan.
Sementara itu, si peminjam pun datang membawa seribu dinar. Dia berkata,
“Demi Allah, sebelum aku datang sekarang, aku senantiasa berusaha untuk mencari
perahu guna mengantarkan uangmu kepadamu, namun aku tidak mendapatkan satu
perahupun sebelum aku tiba dengan menaiki perahu yang aku tumpangi ini.” Orang
yang meminjamkan berkata, “Apakah kamu mengirimkan sesuatu kepadaku?” Peminjam berkata,
“Aku telah sampaikan kepadamu bahwa aku tidak menemukan perahu, sebelum aku
mendapatkannya sekarang ini?” Orang yang meminjamkan berkata, “Sesungguhnya
Allah telah mengantarkan pinjamanmu yang kau taruh dalam kayu. Maka gunakanlah
uangmu yang seribu dinar itu dengan baik, maka bawalah kembali seribut dinarmu
itu." (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari).
Saat hati kita mau menerima dan merenungkan sepenggal kisah ini. Saat itu
hati kecil kita semakin yakin dan percaya bahwa Allah Maha Pengatur, Allah Maha
Adil dengan keadilan yang sempurna. Maka “Cukuplah Allah sebagai penolong dan
pembuka jalan.” Cukuplah Allah sebagai penyanggah utama atas semua kegiatan. Cukuplah Allah sebagai penjamin hasil dari
usaha yang kita lakukan dengan sungguh-sungguh.
Sungguh, bagi orang-orang yang bertawakkal (mutawakkilun), mereka tidak
bergantung kepada orang besar, orang penting, orang dalam, kedekatan emosional,
persaudaraan, keadaan, situasi, kondidi, dan kehebatan makhluk. Mereka hanya
bergantung kepada Allah Subhanahu Wata’ala sebagai Sang Pencipta dan Pengatur
semua keadaan.
Semoga bermanfaat
Sobatmu
Darimis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar