Sahabat...kali ini saya ingin berbagi tentang gelar. Gelar
itu macam-macam. Ada gelar akademik, seperti Sarjana Pendidikan (S.Pd) tentu
disesuai dengan bidang ilmunya. Magister Pendidikan (M.Pd), dan Doktor (Dr.
Arau DR), gelar tamatan strata tiga. S3 tamatan luar negeri lebih waw lagi,
pakai Philoshopy of Doktor (Ph.D), beda dengan dokter (dr) huruf de (d)
dan er (r)nya kecil.
Ada lagi gelar keagamaan, seperti Haji (H), dan Hajjah (Hj)
dll. Ada gelar adat, di Minangkabau Misalnya ada gelar Datuak..Sutan...Sidi...Pangulu,
dll. Beda daerah dan kultur beda gelarnya...begitu kira-kira Sobat.
Dalam suatu diskusi, teman saya pernah bertanya. Seberapa
pentingkah gelar? Terutama gelar adademik ya Sobat. Apakah gelar itu harus
dipajang dan banggakan? Apakah ketika
tidak dibacakan dan tidak dicantumkan gelar oleh orang lain, harus kita
ceramahi panjang kali lebar?
“Gelar saya mana?
Capek carinya...tau gak sih. S1 minimal tiga setengah atau empat tahun, S2
minimal satu setengah atau dua tahun, dan S3 minimal enam semester. Belum lagi
biaya, waktu, tenaga, perasaan dan aneka pengorbanan. Besok atau kapan-kapan
cantumkan gelar saya, ya!, Lagi pula gelar saya yang ditulis juga salah, saya
M.Pd bukan M.Ag...bla...bla...bla.”
Sobat...pernahkah bertemu dengan orang seperti di atas,
jika ada berarti pengalaman kita sama. Kita sama-sama mendengar orang lain,
atau kita sendiri diceramahi, gegara kita keliru membuat gelar orang penting. Saya
sendiri maklum, gelar begitu penting
baginya, dibandingkan harga diri kita yang dicabik-cabik di hadapan
orang lain.
Saya juga menemukan ada orang yang bergelar S1 atau S2, namun
di beberapa platform media sosial menulis bio sebagai akademisi. Hebat
betul...akademisi gitu lho. Ada juga orang yang sudah profesor, ketika
dipanggil Prof, dia bilang “Panggil saya Bapak saja. Gelar itu bukan pertanda
saya hebat, tetapi kesempatan baik dari pencipta yang harus saya syukuri.” Masyaa Allah...tawadhu’
benar, saya salut, bahkan beliau salah satu referensi hidup saya. Semoga Allah Subhanahu
Wata’ala senantiasa melindungi, menyayangi, dan memberkahi beliau sampai
akhirat, aamiin.
Saya juga pernah dengar dari oknum entrepreneur “Gelar akademik bukan hal yang penting.
Banyak yang berhasil menjadi saudagar, pengusaha, bahkan pejabat lokal atau
daerah tidak selesai S1dan tidak ada gelar. Toh...mereka berhasil, kaya raya,
terkenal, dan hebat.”
Ini fakta nyata bukan hoax ya Sobat, karena buktinya tidak
terbantahkan. Coba saja lihat di sekitar kita. Betapa banyak orang yang dinilai
berhasil, tetapi tidak menyelesaikan bahkan tidak merasakan duduk di bangku
perkuliahan. Jika hanya sampai di sini, maka gelar dianggap tidak penting.
Lebih ekstrim lagi, komentar ini “Kuliah itu habisin uang, toh setelah kuliah
dapat ijazah, cari kerja, ujung-ujungnya cari uang juga. Mendingan tamat SD
langsung cari uang, atau jadikan uang orang tua untuk sekolah dan kuliah jadi
modal jualan. Toh sianu...dan siana berpendidikan tinggi juga tidak kaya. Lebih
kaya si Fulan dari dia, padahal si Fulan hanya tamat SMP.
Ada teman saya mengkritik pernyataan di atas. Jika gelar akademik tidak penting,
tidak perlu, atau tidak dibutuhkan. Beranikah mereka yang menganggap gelar
tidak penting melarang anaknya? Bahkan semakin banyak harta mereka, semakin
bagus pendidikan akademik anak-anaknya. Anak-anak mereka tidak saja dikuliahkan
di perguruan tinggi pavorif dalam negeri, tapi kuliah di luar negeri juga ada...makul
anak Sultan.
Mungkin karena keterbatasan jarak tempat piknik saya,
sejauh ini saya belum menemukan mereka yang dianggap berhasil dan sukses secara
materi melarang anak mereka kuliah. Jika ada mungkin mereka orang tua yang
membingungkan, dan jumlah paling satu atau dua.
Menurut pendapat saya sebagai Emak Dasteran. “Sebenarnya
kuliah itu penting. Bukan karena gelar, tapi karena proses pendidikan atau
proses pembelajaran di perguruan tinggi tersebut. Para lulusan perguruan tinggi
biasanya disiapkan untuk menjadi analis. Berpikir kritis (critical thinking)
atau memiliki daya analisis (analysis). Seorang sarjana minimal memiliki
analisis terhadap suatu masalah dan mampu menemukan strategi yang tepat dalam menyelesaikannya.
Berbeda dengan orang yang hanya tamatan SD atau SMP, paling mengandalkan
pengalaman dan kebiasaan.
Jika diperhatikan pada konteks Indonesia, gelar akademik
masih sangat dihargai. Bukan hanya dihargai oleh calon mertua ya Sobat,
calon “induak samang”, boss, atau
atasan tempat mereka memasukkan surat lamaran kerja juga menghargai. Biasanya yang
pertama kali dilihat adalah ijazah, kemudian nilai yang tertera di transkrip
nilai. Pengalaman dan kemampuan kerja biasanya
di urutan selanjutnya.
Bagaimana dengan gelar adat dan gelar keagamaan. Sepertinya
semakin ke sini semakin kurang diperlukan. Gelar itu makin memudar seiring
datangnya era revolusi industri. Walaupun ada yang masih menggunakan dan bangga
menggunakannya. Bahkan ada yang berseteru dengan yang lain demi suatu gelar
adat. Mungkin beranggapan gelar adat itu
dapat mendongkrak harga diri.
Beda lagi dengan gelar agama, sampai saat ini masih
dihargai banyak orang. Misalnya gelar haji atau hajjah masih dianggap wah.
Apalagi gelar haji atau hajjah itu saja yang dimiliki. Bangganya minta
ampiuuun. Jika tidak dipanggil ‘Pak haji atau bu haji, bisa marah tujuh turunan
kepada yang memanggil. Orang Arab Saudi bahkan Imam Besar Masjidil Haram tidak
menggunakan gelar haji di awal namanya. Pada satu tulisan pernah saya baca,
sejarah penggunaan gelar haji atau hajjah di Indonesia diinisisai oleh penjajah Belanda. Bertujuan untuk
membedakan orang Islam dengan orang non Islam.
Hal paling menggelikan bagi saya, ada yang menggunakan
gelar M.Pd di undangan nikah, padahal belum tamat. Akhirnya ditanya Profesor
yang membimbingnya, “M.Pd ., ini gelar Anda?” maksud apa?. Maksudnya itu Mantu
Pak Dulah (M.Pd) Prof. Kami yang hadir tertawa semua.
Ada lagi yang tidak mau menuliskan gelar di undangan nikah. Orang tuanya marah.
Ortunya tidak rela undangan yang beredar tidak mencantumkan gelar akademik sang
anak. Bagi orang tua, gelar anak adalah simbol keberhasilan dan kebanggaan
mereka, yang telah berhasil mengantarkan anaknya ke level strata tertentu.
Kesimpulan, gelar apapun terutama gelar akademik, bisa
dianggap penting, bisa juga dianggap biasa. Gelar dipakai di tempat-tempat atau pada moment yang mengharuskan
menggunakan gelar. Sebab gelar akademik hanya simbol bahwa seseorang pernah
kuliah. Namun tidak selalu representatif terhadap kemampuan dan
kompetensi.
with love
Darimis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar