Follow Us @soratemplates

Rabu, 10 Februari 2021

URGENSI GELAR AKADEMIK

 


Sahabat...kali ini saya ingin berbagi tentang gelar. Gelar itu macam-macam. Ada gelar akademik, seperti Sarjana Pendidikan (S.Pd) tentu disesuai dengan bidang ilmunya. Magister Pendidikan (M.Pd), dan Doktor (Dr. Arau DR), gelar tamatan strata tiga. S3 tamatan luar negeri lebih waw lagi, pakai Philoshopy of Doktor (Ph.D), beda dengan dokter (dr) huruf de (d) dan er (r)nya kecil.

Ada lagi gelar keagamaan, seperti Haji (H), dan Hajjah (Hj) dll. Ada gelar adat, di Minangkabau Misalnya ada gelar Datuak..Sutan...Sidi...Pangulu, dll. Beda daerah dan kultur beda gelarnya...begitu kira-kira Sobat.

Dalam suatu diskusi, teman saya pernah bertanya. Seberapa pentingkah gelar? Terutama gelar adademik ya Sobat. Apakah gelar itu harus dipajang dan banggakan?  Apakah ketika tidak dibacakan dan tidak dicantumkan gelar oleh orang lain, harus kita ceramahi panjang kali lebar?

 “Gelar saya mana? Capek carinya...tau gak sih. S1 minimal tiga setengah atau empat tahun, S2 minimal satu setengah atau dua tahun, dan S3 minimal enam semester. Belum lagi biaya, waktu, tenaga, perasaan dan aneka pengorbanan. Besok atau kapan-kapan cantumkan gelar saya, ya!, Lagi pula gelar saya yang ditulis juga salah, saya M.Pd bukan M.Ag...bla...bla...bla.”

Sobat...pernahkah bertemu dengan orang seperti di atas, jika ada berarti pengalaman kita sama. Kita sama-sama mendengar orang lain, atau kita sendiri diceramahi, gegara kita keliru membuat gelar orang penting. Saya sendiri maklum, gelar begitu penting  baginya, dibandingkan harga diri kita yang dicabik-cabik di hadapan orang lain.

 

Saya juga menemukan ada orang yang bergelar S1 atau S2, namun di beberapa platform media sosial menulis bio sebagai akademisi. Hebat betul...akademisi gitu lho. Ada juga orang yang sudah profesor, ketika dipanggil Prof, dia bilang “Panggil saya Bapak saja. Gelar itu bukan pertanda saya hebat, tetapi kesempatan baik dari pencipta yang  harus saya syukuri.” Masyaa Allah...tawadhu’ benar, saya salut, bahkan beliau salah satu referensi hidup saya. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala senantiasa melindungi, menyayangi, dan memberkahi beliau sampai akhirat, aamiin.

Saya juga pernah dengar dari oknum entrepreneur  “Gelar akademik bukan hal yang penting. Banyak yang berhasil menjadi saudagar, pengusaha, bahkan pejabat lokal atau daerah tidak selesai S1dan tidak ada gelar. Toh...mereka berhasil, kaya raya, terkenal, dan hebat.”

Ini fakta nyata bukan hoax ya Sobat, karena buktinya tidak terbantahkan. Coba saja lihat di sekitar kita. Betapa banyak orang yang dinilai berhasil, tetapi tidak menyelesaikan bahkan tidak merasakan duduk di bangku perkuliahan. Jika hanya sampai di sini, maka gelar dianggap tidak penting. Lebih ekstrim lagi, komentar ini “Kuliah itu habisin uang, toh setelah kuliah dapat ijazah, cari kerja, ujung-ujungnya cari uang juga. Mendingan tamat SD langsung cari uang, atau jadikan uang orang tua untuk sekolah dan kuliah jadi modal jualan. Toh sianu...dan siana berpendidikan tinggi juga tidak kaya. Lebih kaya si Fulan dari dia, padahal si Fulan hanya tamat SMP.

Ada teman saya mengkritik pernyataan  di atas. Jika gelar akademik tidak penting, tidak perlu, atau tidak dibutuhkan. Beranikah mereka yang menganggap gelar tidak penting melarang anaknya? Bahkan semakin banyak harta mereka, semakin bagus pendidikan akademik anak-anaknya. Anak-anak mereka tidak saja dikuliahkan di perguruan tinggi pavorif dalam negeri, tapi kuliah di luar negeri juga ada...makul anak  Sultan.

Mungkin karena keterbatasan jarak tempat piknik saya, sejauh ini saya belum menemukan mereka yang dianggap berhasil dan sukses secara materi melarang anak mereka kuliah. Jika ada mungkin mereka orang tua yang membingungkan, dan jumlah paling satu atau dua.

Menurut pendapat saya sebagai Emak Dasteran. “Sebenarnya kuliah itu penting. Bukan karena gelar, tapi karena proses pendidikan atau proses pembelajaran di perguruan tinggi tersebut. Para lulusan perguruan tinggi biasanya disiapkan untuk menjadi analis. Berpikir kritis (critical thinking) atau memiliki daya analisis (analysis). Seorang sarjana minimal memiliki analisis terhadap suatu masalah dan mampu menemukan strategi yang tepat dalam menyelesaikannya. Berbeda dengan orang yang hanya tamatan SD atau SMP, paling mengandalkan pengalaman dan kebiasaan.

Jika diperhatikan pada konteks Indonesia, gelar akademik masih sangat dihargai. Bukan hanya dihargai oleh calon mertua ya Sobat, calon  induak samang”, boss, atau atasan tempat mereka memasukkan surat lamaran kerja juga menghargai. Biasanya yang pertama kali dilihat adalah ijazah, kemudian nilai yang tertera di transkrip nilai. Pengalaman  dan kemampuan kerja biasanya di urutan selanjutnya.

Bagaimana dengan gelar adat dan gelar keagamaan. Sepertinya semakin ke sini semakin kurang diperlukan. Gelar itu makin memudar seiring datangnya era revolusi industri. Walaupun ada yang masih menggunakan dan bangga menggunakannya. Bahkan ada yang berseteru dengan yang lain demi suatu gelar adat. Mungkin beranggapan  gelar adat itu dapat mendongkrak harga diri.

Beda lagi dengan gelar agama, sampai saat ini masih dihargai banyak orang. Misalnya gelar haji atau hajjah masih dianggap wah. Apalagi gelar haji atau hajjah itu saja yang dimiliki. Bangganya minta ampiuuun. Jika tidak dipanggil ‘Pak haji atau bu haji, bisa marah tujuh turunan kepada yang memanggil. Orang Arab Saudi bahkan Imam Besar Masjidil Haram tidak menggunakan gelar haji di awal namanya. Pada satu tulisan pernah saya baca, sejarah penggunaan gelar haji atau hajjah di Indonesia diinisisai  oleh penjajah Belanda. Bertujuan untuk membedakan orang Islam dengan orang non Islam.

Hal paling menggelikan bagi saya, ada yang menggunakan gelar M.Pd di undangan nikah, padahal belum tamat. Akhirnya ditanya Profesor yang membimbingnya, “M.Pd ., ini gelar Anda?” maksud apa?. Maksudnya itu Mantu Pak Dulah (M.Pd) Prof. Kami yang hadir tertawa semua.

Ada lagi yang tidak mau menuliskan  gelar di undangan nikah. Orang tuanya marah. Ortunya tidak rela undangan yang beredar tidak mencantumkan gelar akademik sang anak. Bagi orang tua, gelar anak adalah simbol keberhasilan dan kebanggaan mereka, yang telah berhasil mengantarkan anaknya ke level strata tertentu.

Kesimpulan, gelar apapun terutama gelar akademik, bisa dianggap penting, bisa juga dianggap biasa. Gelar dipakai di tempat-tempat  atau pada moment yang mengharuskan menggunakan gelar. Sebab gelar akademik hanya simbol bahwa seseorang pernah kuliah. Namun tidak selalu representatif terhadap kemampuan dan kompetensi. 

with love

Darimis

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar