UTAMAKAN ESENSI DARI PADA GENGSI
Seorang ibu bergamis hitam, kerudung krem lebar, pakai tas, dan sepatu sederhana. Sebut saja namanya Mernisi. Penampilan beliau sangat bersahaja. Senyum indah selalu menghiasi wajah berseri yang terlihat tanpa polesan make up itu. Mungkin usianya hanya dua tahun di atas saya. Benar-benar menarik perhatian saya ketika itu.
Beliau duduk di bangku Bandara tepat di hadapan saya. Ketika pandangan mata saya bertemu mata beliau, beliau kembali tersenyum. Saya pun terpaksa membalas senyumannya. Beliau benar-benar menggugah rasa ingin tahu saya. Begitu banyak orang di bandara, ada muslimah modis, styling, trendy. Ada juga wanita tidak berhijab, pakai celana lejing, dan Khimar kekinian. Namun ibu Mernisi benar-benar menarik perhatian saya.
"Maaf, di sini ada orang? Tiba-tiba seorang ibu mengejutkan ibu Mernisi.
"Nggak ada Mbak, jawab ibu Mer dengan lembut.
"Mau kemana? "
"Insyaa Allah, ke Malaysia Mbak. Maaf jika boleh tahu mbaknya mau kemana? Tanya ibu Mer.
"Saya mau ke Surabaya."
"Semoga berjalanannya lancar dan selamat sampai tujuan ya mbak, aamiin. Kata ibu Mer.
"Iya, ngomong-ngomong anda TKW di Malaysia?
"Bukan mbak, saya ada urusan dan keperluan sedikit di Malaysia, jawab ibu Mer itu.
"Urusan TKW ya. Saya heran dech dengan TKW itu, penampilan tidak menarik, pakai baju sederhana, kurang bisa dandan, coba agak trend kekinian dan fashionable dikit, pasti banyak perusahaan yang mau menerima."
"Nggak kok Mbak, saya tidak sedang ada urusan dengan TKW, jawab ibu Mer dengan tenang."
"Lalu Anda ke Malaysia mo ngapain?
"Saya transit di Malaysia Mbak." Jawab ibu Mer singkat.
"Lho ngapain TKW transit di Malaysia segala. Emangnya tujuan anda sebenarnya kemana sih? Desak ibu berkaca mata dengan penuh tanda tanya.
"Dubai, Mbak."
"Anda TKW nya di Dubay ya." Desak ibu tersebut.
"Bukan Mbak, jawab ibu Mer.
"Anda aneh, jawabnya mutar-mutar, emang TKW gayanya bicaranya begitu. Makanya berurusan dengan TKW itu agak ribet. Saya kalau gak penting-penting males berurusan dengan mereka.
Ibu Mer terlihat tetap tenang. Dibiarkannya ibu berkaca mata itu ngomel sepuasnya. Dia menoleh ke jam dinding dan mengeluarkan laptop Apple dan satu notes kecil. Dia mulai mengetik di tengah bisingnya bandara.
Tiba-tiba smartphone ibu Mer berdering. "Assalamu'alaikum, iya ana masih di bandara Sukarno Hatta,......" Ibu Mer berdiri beberapa meter dari kami, dan bicara pelan, sehingga tidak kedengaran.
Saya tidak habis pikir mengapa ibu yang berkaca mata begitu ngotot menyatakan ibu Mer itu TKW. Sebenarnya ibu Mer ini siapa ya? Aku mulai bertanya dalam hati. Soalnya penasaran aja. Dikatai-katai dengan aneh-aneh, beliau tetap merespon dengan baik dan menyenangkan.
Saya beranikan diri berkenalan dengan ibu Mer, dari pada saya penasaran sampai di Kota Malang.
"Maaf Ibu, boleh kita kenalan. Nama saya Mis dari Padang."
"Nggih mbak, nama ana Mernisi saya asli Bogor. Senang berkenalan dengan Mbak Mis. Kata beliau.
"Panggil Uni Mis, juga boleh Mbak."
"Oh ya, sahabat ana dari Padang banyak mbak, ada beberapa teman juga ana panggil Uni"
"Maaf mbak, tadi saya dengar mbak mau ke Dubay ya, Masyaa Allah jauhnya. Sendirian mbak?
"Suami saya menunggu di Malaysia Uni. Kalau sendirian ke Dubaynya saya Nggak berani, dan tidak boleh juga kan perempuan safar lewat 24 jam sendirian Uni Mis."
"Setahu saya juga begitu Mbak, perempuan tidak boleh safar sendirian lewat 24 jam. Harus dengan mahram nggih mbak."
"Benar Uni."
"Jika berkenan bolehkan saya minta nomor handphone mbak Mernisi, pintaku dengan sedikit memelas.
"Tentu boleh Uni...biar saya yang catat dulu, nanti saya call Uni Mis." Kata beliau.
Kami saling tukar nomor handphone. Beliau juga memberikan sebuah buku karangan beliau sendiri, tentang perjuangan dakwah Intelektual ketika beliau studi doktoral di Inggris.
"Perhatian-perhatian pesawat Garuda dengan nomor penerbangan ...(tiba-tiba pengumuman keberangkatan pesawat yang akan saya tumpangi ke Juanda Surabaya bergema).
"Mbak Mernisi saya duluan, terimah kasih banyak atas kenalan, bincang-bincang, no hp, dan buku mbak Mernisi. Ungkap saya.
"Alhamdulillah, Masyaa Allah, sama-sama Uni. Saya senang kenalan dengan uni, semoga bukunya menginspirasi. Fi Amanillah."
"Aamiin Ya Mujiib, Fi Amanillah juga mbak Mernisi. Saya melambaikan tangan ke beliau berjalan ke arah jalur keberangkatan pesawat.
Ingin rasanya lama-lama berbincang dengan muslimah baik dan berpenampilan bersahaja itu, tapi waktu memisahkan kami.
Sepanjang penerbangan dari Bandara Sutta ke Juanda, saya gunakan membaca buku Mbak Mer, saya semakin kagum dengan sosok beliau. Muslimah bersahaja, anggun, intelektual, mudah senyum, baik, sopan, santun dan cerdas.
Saya merenungi peristiwa yang terjadi. Muslimah intelektual, cerdas, dan santun, banyak ilmu sekaliber mbak Mer dianggap remeh dan disepelekan orang, lantaran terlihat dari luar begitu sederhana, bersahaja.
Mengapa seseorang dinilai berdasarkan hal-hal yang nampak dari luar? Dari pakaian, tas, sepatu, gamis, kurudung, jam tangan, dan asesoris yang digunakan. Termasuk cara berdandan.
Jika semua yang dipakai seseorang barang branded, lengkap dengan asesoris ala princess, maka dianggap orang berkelas dan borjuis. Sebaliknya, jika pakaian luar, tas, sepatu, terlihat sederhana, muka polos kayak tembok bangunan. Maka dianggap tak berarti dan lebih pantas diremehkan.
"Astaghfirullah,"..begitu amat manusia sekarang ini. Mulia dan berkelasnya orang diukur dari barang yang dimiliki. Menilai orang dari pakaian, tas, sepatu, dan kenderaan yang dinaiki. Jika terlihat kere dan sederhana maka pantas dihina, disepelekan dan dipandang sebelah mata.
Saya kadang berpikir, betapa sulit memilih hidup sederhana di tengah derasnya arus materialis dan hedonisme ini. Ketika standar kemuliaan manusia diukur dengan kepemilikkan materi. Semakin banyak materi semakin dihormati. Semakin tidak ada materi semakin tidak dihargai.
Fakta ini semakin menguatkan hipotesis saya, bahwa sistem kapitalisme menggerogoti manusia modern dalam gaya hidup serba materi, membangun kerajaan materi, mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya demi kesenangan ragawi (hedonisme).
Sistem itu menggiring manusia untuk hidup konsumtif. Difasilitasi dengan kredit tanpa agunan, sehingga bisa beli barang mewah meskipun sedang memiliki uang. Pakai kartu kredit untuk belanja di mall-mall eksklusif. Bagi yang terpengaruh mereka ikuti gaya itu secara massif, tanpa selektif, dan evaluatif.
Apa yang terjadi? Manusia berbondong-bondong melengkapi atribut duniawi. Mengutamakan penaian sesama dan menapikan penilaian Ilahi. Kadang memaksakan diri beli mobil, motor bermerek, gamis mahal, tas branded dan asesoris ala pemuja materi. Mereka gak peduli, meskipun kemudian harus terjerat hutang ribawi.
Bagi saya, semua atribut duniawi, baik mobil, gamis, khimar, tas, sepatu, dan asesoris hanya sarana. Miliki seperlunya saja. Saya belajar hidup lebih realistis, menyesuaikan antara income dan pengeluaran. Tidak besar pengeluaran dari pada income-nya. Tidak memaksa diri untuk memiliki sesuatu, jika belum mampu. Lebih baik bersabar dulu. Tidak harus memaksa diri memiliki sesuatull jika harus menempuh jalan riba.
Menurutku, Islam membolehkan hidup kaya asal jangan lewat pintu riba, biar berkah dan rajin bersedekah. Kekayaan hanya wasilah (sarana) untuk lebih dekat kepada Allah. Lebih tawadhu', dermawan, dan berpihak pada umat yang lemah. Tidak lantas kekayaan itu membuat kita meremehkan orang lain, dengan pandangan sebelah mata. .
Kaya adalah amanah. Allah menitipkan harta kepada kita agar bermanfaat untuk agama dan umatnya. Kaya juga ujian, apakah kita lulus naik kelas keimanan dan ketaqwaan kita ketika diuji dengan kaya, atau malah hidup semakin pongah dan meremehkan ciptaan Allah Subhanahu Wata'ala.
Hidup sederhana itu bagiku pilihan. Sebab lebih ringan, dan tidak panjang angan-angan. Terhindar dari penyakit wahn. Apa itu wahn?, yaitu cinta dunia dan takut kematian.
Sementara kematian suatu kepastian. Hal terpenting adalah persiapan menghadapi kematian. Kuat iman, banyak pahala dan kuat ketaqwaan. Ketaqwaan adalah prediket mulia di sisi Pencipta, bukan harta bukan pula kaya, pangkat dan semua atribut dunia. Taqwa adalah esensi, sementara harta hanyalah wasilah hidup dan gengsi. Tidak mungkin gengsi mengalahkan esensi, jika kita mau berkaca dengan agama kita sendiri. Allahu Allah Bisshawab.
Semoga bermanfaat